Polygamy Or Divorce

Tiga bulan kemudian, hubungan antara Jhonny dan Anna semakin dekat. Bahkan, pria tampan berusia tiga puluh tahun itu telah siap mempersunting Anna. Namun, sepertinya sang gadis pujaan hatinya itu masih enggan menerima tawaran untuk menjadi seorang istri. Jhonny tidak gentar, dia tetap memberikan semua perhatian, kasih sayang, dan cintanya kepada Anna. Bukan tanpa sebab Anna menolak ajakan Jhon untuk menikah, Anna tidak ingin kehilangan Evan dan lagipula semua ini hanyalah sandiwara bagi seorang Anna.

Di dalam hotel, Anna dan Evan saling tatap. Mereka baru saja berseteru tentang kedekatan Anna dan Jhonny, bahkan Anna menceritakan jika Jhon mengajaknya menikah. Tentu saja Evan tidak terima, dia sudah merusak masa depan Anna dan bahkan berjanji menikahi gadis itu.

"Lalu bagaimana, Mas? Jika kau terus mengundur waktu untuk menceraikan Zahra, maka Jhon pasti akan terus memintaku agar mau menikah dengannya."

"Aku juga sedang berpikir, Anna. Diamlah dulu!" ucap Evan turut bingung.

Anna tersenyum jahat. "Mas, jika kau menghamili aku, maka aku yakin, kak Zahra pasti akan menerimaku menjadi madunya, atau mungkin dia akan meminta cerai."

Evan mengerutkan dahinya, jujur dia memang merindukan kehangatan Anna. Sudah hampir satu bulan Zahra menolak untuk disentuh, istrinya itu beralasan jika dia kelelahan karena bekerja. Evan pun menyetujui ide gila dari Anna, tanpa basa basi dia langsung mendorong tubuh Anna dengan pelan hingga gadis itu terjatuh di atas ranjang.

Mata Anna berbinar karena Evan mau mengikuti rencananya, dia memejamkan mata dan membiarkan Evan melakukan hal yang di inginkan.

Di tempat lain, Zahra sedari tadi melirik jam dinding yang menunjukkan pukul sebelas malam. Dia khawatir karena Evan belum juga kembali dari kantor, bahkan ponsel suaminya itu tidak aktif.

"Kenapa Mas Evan belum pulang?" ucap Zahra sambil menggigit kukunya karena kekhawatiran.

Saat Zahra masih mondar-mandir di dalam kamar, matanya terhenti pada sebuah kalender. Dia mendekati kalender tersebut dan dirinya baru ingat jika dia telat datang bulan.

"Bulan ini aku belum mens, apa mungkin —" Zahra tersenyum lebar, dia memegang perutnya yang masih rata. Pernikahannya dan Evan sudah hampir menginjak satu tahun, dan tentu saja Zahra sangat bahagia jika mendapati dirinya sedang hamil.

"Besok aku akan membeli testpack, semoga saja hasilnya membahagiakan." Zahra terlihat bahagia, tetapi sedetik kemudian senyumannya surut. Dia kembali memikirkan keberadaan Evan.

Rasa kantuk pun menyerang setelah cukup lama Zahra menunggu Evan. Dia memilih untuk merebahkan tubuhnya di atas ranjang, tak lama kemudian memejamkan mata dan dia pun tertidur karena rasa lelah.

***

Keesokan paginya, Zahra terbangun dari tidur setelah dia mendengar suara kicauan burung. Dirinya melihat ke arah jendela dan ternyata hari sudah siang.

"Ya ampun, sudah siang! Mas Evan—" Zahra menghentikan ucapannya, dia melirik ke samping dan ternyata Evan sudah bersamanya.

"Sejak kapan Mas Evan pulang?"

Zahra membuang rasa penasarannya, dia bergegas membangunkan Evan. Namun, semua itu dia urungkan karena melihat Evan yang terlelap dalam tidur dan pria sepertinya kelelahan. Zahra tersenyum tipis, dia menyentuh pipi Evan dan terkejut.

"Mas? Kau demam? Badanmu panas sekali.'' ucap Zahra khawatir, dia segera mengambil ponselnya dan menghubungi dokter pribadi keluarganya.

Sekitar tiga puluh menit, Dokter pun tiba dikediaman Zahra. Dia langsung memeriksa keadaan Evan dan berkata jika Evan kelelahan, pria itu harus banyak beristirahat. Setelah memberikan obat dan vitamin, Dokter tersebut pun berpamitan pergi.

Zahra mengantarkan Dokter tersebut sampai depan pintu.

"Saya sarankan agar Nona memberikan bubur, buah seperti jeruk, atau rebusan sayur hijau untuk Tuan agar segera pulih. Jangan lupa obat dan vitaminnya juga diminum,"

"Terima kasih, Dokter Zein. Saya pasti akan mengurus suami saya dengan benar." sahut Zahra menekan kata suami membuat Zein tersenyum hambar. Pria itu berpamitan pergi karena urusannya dirumah Zahra telah selesai.

Setelah Zein pergi, Zahra kembali masuk ke dalam kamarnya. Dia menatap Evan yang masih terbaring di atas ranjang, bahkan pria itu belum juga bangun. Perlahan, langkah kaki Zahra membawanya menuju ranjang. Dia duduk di tepi dan mengelus rambut suaminya itu.

"Mas, apa yang kau pikirkan hingga kau jatuh sakit seperti ini? Aku yakin kau bukan hanya kelelahan tetapi juga punya beban pikiran." ucap Zahra yang mengetahui sifat suaminya.

Saat hendak pergi ke kamar mandi, Evan menarik tangan Zahra hingga membuat gadis itu menoleh.

"Mas, kau sudah bangun?"

"Zahra, kenapa kepalaku pusing sekali. Dan tubuhku terasa menggigil,"

Zahra melihat ke arah AC, dia mengambil remote AC tersebut lalu menurunkan suhunya dan kembali menatap Evan.

"Apa masih menggigil?"

"Tidak terlalu, tapi entah kenapa sepertinya panas dingin."

"Kau sedang demam, Mas. Sebaiknya kau istirahat dan jangan dulu pergi ke kantor. Kesehatan lebih penting dari apapun."

Evan menghela napas berat, dia mengangguk sambil memegang kepalanya yang terasa pusing.

'Mungkin aku terlalu memikirkan tentang kelanjutan hubunganku dengan Zahra dan Anna.' batin Evan sambil melirik Zahra yang sudah masuk ke dalam kamar mandi.

Bersambung