NovelToon NovelToon
Memori Kelabu

Memori Kelabu

Status: sedang berlangsung
Genre:cintapertama / Cinta Murni
Popularitas:2.4k
Nilai: 5
Nama Author: Subber Ngawur

Kenangan mungkin tak selalu berisi manis. Rasa pahit akan selalu menyertai. Amira sadar jika dirinya adalah orang yang telah memberi warna kelabu pada masa lalu kehidupan Vian. Kini rasa sesal tak lagi berlaku, sebab Vian telah melupakan semuanya. Semua boleh hilang, semua boleh terlupakan. Yang Amira harapkan hanya satu, Tuhan memberikan kesempatan untuk memperbaiki apa yang pernah ia sia-siakan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Subber Ngawur, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Keping ke-19

Mama Lisa mencoba bersabar, tiap kali Vian menggeleng dan menjelaskan kalau ia tidak apa-apa, justru jawaban sederhana itu yang membuat Mama makin cemas. Selama ini Vian terlihat sehat, dan tidak pernah mengeluh sakit.

Pertama masuk kamar untuk mengantar sarapan, Vian sudah rapi dengan kaos lengan panjang dan jeans. Di punggungnya sudah tersampir ransel. Mama sampai mengerutkan kening saat melihat Vian tersenyum. Seolah tidak ada apapun yang terjadi.

Setelah meletakkan roti isi dan susu di meja samping ranjang, Mama menatap Vian dengan desah napas lelahnya.

Vian heran. “Kenapa, Ma?”

“Kamu mau ke mana?” tanya Mama. Vian makin bingung. Ini kan bukan hari Sabtu atau Minggu. Harusnya Mamanya tahu kalau ia mau ke kampus. Vian juga heran, kenapa jam segini Mamanya belum rapi dengan seragam batiknya.

“Ke kampus lah, Ma. Kan ada kuliah hari ini.” Vian mencomot roti isi di meja. “Mama sendiri kok belum siap-siap ngajar?”

Mamanya menggeleng. “Hari ini Mama nggak masuk.” Wanita itu justru duduk di ranjang Vian, lalu menepuk sebelahnya. “Duduk sini.”

Mengernyit, Vian melirik jam tangannya yang sudah menunjukkan pukul 6.30. “Ma, ini sudah setengah tujuh lho.”

“Vian, duduk. Hari ini kamu nggak usah kuliah.”

Vian hendak mengelak, namun tak lagi bisa saat lengan kanannya sudah ditarik Mamanya dan sejurus kemudian sudah didudukkan di sebelah wanita itu. Kalau sudah begini Vian tidak punya pilihan kecuali menurut. Padahal barangkali sebentar lagi dosennya sudah datang.

“Kenapa, Ma?” tanya Vian.

“Mama mau tanya sesuatu sama kamu.”

“Tanya apa?”

“Kenapa waktu itu kamu sampai pingsan di rumah Amira?” Lisa tak berbasa-basi lagi. Rasa penasaran itu sebenarnya sudah tumbuh sejak kejadian itu, namun kondisi Vian tidak memungkinkan untuk dilontari pertanyaan.

“Tidak apa-apa kok, Ma. Cuma kecapekan saja.”

“Kamu sakit kepala hebat lho. Mama yakin itu bukan sakit kepala biasa.”

Vian masih saja cengar-cengir. Seolah kejadian itu tak pernah ada. Padahal dokter Adrian berkali-kali menelepon dan menanyakan keadaan Vian.

“Saya tidak apa-apa, Mama.” Vian menegaskan. “Dan tolong kasih tahu dokter Adrian agar tidak terlalu mencemaskan saya. Saya tidak apa-apa. Tapi kalau dokter Adrian ke sini sebagai calon Papa baru, saya akan senang hati menyambutnya.”

Mama geram. Saat seperti ini masih sempat-sempatnya pemuda itu bercanda. Mama mencubit lengan Vian, geregetan. Sudah berapa kali wanita itu menegaskan tidak ingin menikah lagi, tapi Vian ingin Mamanya bahagia. Dan sudah waktunya wanita itu bangkit dari masa lalu yang menyedihkan.

“Tidak semua orang seperti Papa kan, Ma?”

Mama tak menyahut, memalingkan wajahnya pada obyek lain. Tapi Vian bersumpah bisa melihat semu merah di wajah Mamanya. Mama mencintai dokter Adrian juga, Vian yakin itu. Tapi biarlah itu jadi urusan orang tua, Vian merasa obrolan pagi ini sudah banyak membuang waktunya. Saat melirik jam tangannya, waktu sudah mendekati pukul tujuh pagi.

“Astaga, Ma. Saya bisa terlambat.”

Saat Vian bangkit berdiri, Mama kembali menarik lengan Vian. “Mama sudah bilang hari ini kamu nggak usah ke kampus.”

“Ma...” Vian merajuk. “Nilaiku bisa buruk kalau sering absen.”

“Tapi kamu nggak sering, kok,” sahut Mama. “Sekarang kembali duduk.”

Vian mendesah, lalu terpaksa menurut.

“Mama tanya sekali lagi, kenapa kamu sampai pingsan di sana?”

Vian diam. Saat mata Mama menatap dalam ke arahnya, pemuda itu seakan tak punya pilihan lain kecuali menjawab.

“Ingatan saya sudah kembali, Ma,” terang Vian dengan suara berat. Ia sendiri sulit menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi, saat duduk di beranda Amira kemarin, mendadak seperti ada episode film yang bergerak di depan matanya. Menyangkut Amira dan Papanya. Dan seketika itu sakit luar biasa menyerang kepalanya.

“Kamu ingat apa?” Mama tersentak saat mendengar pengakuan Vian. Wanita itu membenahi posisi duduknya hingga sepenuhnya menghadap ke arah Vian.

“Tidak banyak, Ma. Saya cuma ingat kalau ternyata Amira itu pacar saya ketika SMA.” Vian tertunduk. Merasa ada yang ngilu di bagian dadanya. Kenapa harus Amira lagi yang membuatnya jatuh cinta? Sungguh, mengingat masa lalu dengan Amira sangat membuatnya tertekan. Bagaimana mungkin sosok gadis sewenang-wenang itu adalah Amira? Kelebat perlakuan Amira di masa lalu mendadak muncul di kepalanya, membuat barisan giginya bergemelatuk. Rasa benci itu seketika membuat dadanya menyesak. Tak sampai di situ, saat mengingat sosok Papa yang pengkhianat, Vian pun sadar bahwa Amira juga tak ada bedanya.

“Maksud kamu... Amira itu pacar kamu masa SMA dulu.”

Vian mengangguk.

“Mama nggak suka lihat kamu sama Amira, Vian. Kalau yang kamu maksud itu Amira yang sering memperlakukan kamu dengan buruk.”

“Mama tahu dari mana?”

“Teman-teman kamu banyak yang cerita. Ketika kamu masih koma usai kecelakaan.”

“Oh...”

“Dulu kamu tertutup. Nggak pernah cerita apapun termasuk ketika kamu punya pacar, kamu nggak pernah mengenalkannya pada Mama.”

Vian tidak ingat itu. Yang jelas, ketika siuman dulu, hanya ada Mama di sisinya. Dan Mama yang paling perhatian padanya.

Mama bangkit, meraih gelas susu dan memberikannya pada Vian. “Habiskan sarapanmu, lalu istirahat saja.” Usai mengatakan itu Mama beranjak, hampir meninggalkan kamar ketika Vian memanggilnya, “Ma…”

Mama sudah sampai di bibir pintu saat itu, menoleh reflek. “Kenapa?”

“Amira berubah,” gumam Vian dengan suara lemah. Tatapannya menunduk, terfokus pada gelas susu yang digenggamnya.

“Maksud kamu?” tanya Mama, geram. Itu sebabnya Vian tak ingin sampai mengangkat kepala. Ia tahu Mamanya menahan emosi. Vian hanya bisa mengeratkan genggaman pada gelasnya.

“Maksud kamu?” Mama mengulang tanya, dengan volume suara lebih keras dari sebelumnya.

“Amira sudah tidak seperti dulu, Ma. Dia baik. Lebih baik,” tegas Vian, meski masih belum menatap balik wajah Mamanya.

“Kalau yang kamu maksud adalah cinta buta, Mama nggak akan biarkan kamu terus merasakan itu.” Mama pergi setelahnya.

“Ma…” Vian meletakkan susunya dan mengejar Mama yang sudah melewati pintu kamarnya. Sungguh, ia tidak berniat membela Amira. Bahkan sakit hatinya pada gadis itu masih tersisa sampai sekarang. Dan jika saat ini ia mengejar Mamanya itu karena ia tak ingin Mamanya sampai membuat masalah dengan kemungkinan melabrak Amira atau tindakan lain.

Lagipula, Amira yang sekarang seperti orang baru. Bukan Amira yang dulu.

“Ma…”

Mama sampai di dapur saat Vian berhasil menyusulnya. “Kenapa?” tanya Mama. Wanita itu tengah menyiapkan teh untuk sarapan paginya sendiri. Setelah menyeduh dan menuangkan air panas, wanita itu memasukkan dua blok gula sebelum mengaduknya.

“Saya mau bicara sebentar…”

“Lama juga nggak apa-apa. Toh sekarang Mama nggak kerja.” Mama meletakkan tehnya di meja makan, lalu menarik kursi dan duduk di sana. “Kamu mau teh juga?”

Vian menggeleng, ia hanya duduk di depan Mamanya. Ia tidak selera makan atau minum teh. Ia hanya ingin bicara.

1
Anita Jenius
5 like mendarat buatmu thor. semangat ya.
Subber Ngawur: terima kasih 🥰
total 1 replies
Anita Jenius
Salam kenal kak
Subber Ngawur: halo, salam kenal
total 1 replies
Lucky ebj
ceritanya menarik,, bikin penasaran
Subber Ngawur: Terima kasih sudah mampir baca 🥰
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!