Aurora Clarissa adalah seorang gadis piatu yang dibesarkan di panti asuhan sejak ia masih bayi, dia tidak pernah tahu siapa orang tuanya.
Suatu hari ibu panti memaksa Aurora untuk menikah dengan salah satu putra donatur panti, bagi kebanyakan orang itu adalah sebuah keberuntungan bisa menikah dengan orang terpandang, tapi tidak dengan Aurora, pernikahan ini bagaikan neraka di hidupnya karena telah merenggut kebebasan dan masa mudanya.
Seperti apa kelanjutan dan perjalanan hidup Aurora?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Himeka15, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 19
Dion POV
Secara tiba-tiba gadis kecil ini mengecup keningku tanpa meminta izin saya terlebih dahulu, saya cukup terkejut dengan tindakan yang dilakukannya. Bagaimana bisa dia mengecup kening seseorang yang tidak pernah ia kenal sama sekali terlihat begitu santai walaupun dia dan mama bilang: "Aurora adalah istriku."
Aku tetap tidak percaya dan belum bisa menerima gadis itu adalah istriku. Aku merasa kami tidak pernah menikah dimana-mana pernikahan bisa dilaksanakan jika dua orang sepakat, akan ada cincin yang disematkan ke jari dan pasti ada upacara.
Ini tidak! Tiba-tiba saja gadis itu datang dan mengaku sebagai istriku. Bagaimana aku mau mengakuinya istri dia saja malah mengambil bantal dari kasurku dan memilih tidur di sofa.
Pasangan suami-istri harusnya tidur seranjang bukan kayak gini, apa dia tidak sudi tidur sama aku.
Dasar istri durhaka.
Baru satu hari dia di sini tapi berhasil membuat Dion kesal daripada aku memikirkan istri jadi-jadian itu lebih baik aku tidur.
Dion memejamkan mata agar bisa tidur namun, saya tidak bisa tidur nyenyak mungkin itu efek karena kebanyakan tidur siang ini. Dion memandang Aurora yang telah tertidur aku merasa lucu dengan posisi tidurnya yang agak aneh untuk seorang wanita.
Kakinya di atas sandaran sofa sambil memeluk guling, aku tertawa dalam benakku melihat gaya tidurnya yang lucu dan aku bersyukur ia tidak tidur satu ranjang denganku mungkin tubuhku ini akan tertimpa olehnya.
Aku terus memandang Aurora tidur sampai tanpa terasa aku pun juga telah masuk ke dunia mimpi.
***
Sinar matahari menerpa mataku sehingga aku membukanya pelan dan menyesuaikan cahaya pada netraku. Aku menggerakkan mataku sampai penglihatan terkunci pada satu objek yakni, Aurora masih tertidur dengan posisi yang bisa aku katakan sangat anti-mainstream untuk seorang gadis.
Aurora terlentang dengan kaki kirinya di atas sandaran sofa dan kaki kanannya turun ke bawah menyentuh lantai bahkan selimutnya udah menjauh sekitar 30 cm dari sofa.
Satu kata ingin aku utarakan padanya yaitu, aneh. Aku mendengar suara pintu terbuka dari luar sepertinya gadis itu tidak mengunci pintu tadi malam.
Mama masuk bisa ia lihat menantunya tertidur dengan gaya aneh dia cuma tertawa lalu mendekat padaku.
"Kau sudah bangun sayang?" tanya mama seperti biasanya padaku.
Mama menghela napas dan meringis pelan, "mungkin Aurora canggung satu ranjang denganmu hingga dia memilih tidur di sofa," ucapnya.
Aku membenarkan perkataan mama mana ada seorang gadis yang bisa tidur dengan sembarangan pria tanpa ia kenal sebelumnya. Mama bangkit berjalan ke sofa mama membangunkan Aurora dengan suara lembut yang tentu saja tidak akan membuat gadis itu bangun.
Mama menggoyangkan tubuhnya sampai Aurora terbangun dan ia langsung berdiri mungkin ia terkejut melihat keberadaan mama di sini.
Ibuku cuma tertawa kecil melihat ekspresi Aurora yang menunduk malu, tapi aku bisa lihat dari ekspresi wajahnya dia seperti ketakutan.
"Aurora, mama akan kasih tahu padamu bagaimana cara mengurus Dion," ujar mama pada Aurora.
Aurora mengangguk. Mama meminta tolong pada Aurora untuk membantu mengangkat tubuhku ke kursi roda, membawaku ke kamar mandi.
"Aurora tolong buka baju Dion," ucap mama.
Aurora berjongkok dia membuka bajuku ketika ia ingin menurunkan celanaku ia terasa canggung, tapi ia beranikan saja membukanya.
Tubuhku tidak tertutup oleh apa pun selain popok yang mungkin telah menguning.
"Aurora sekalian lepas diaper," teriak mama dari luar.
Aurora merobeknya dari sisi kiri lalu kanan setelah itu membuangnya ke tong sampah terletak di sudut kiri. Mama kembali sambil membawa obat pencahar, ia minta pada Aurora untuk mengangkat tubuhku sedikit agar mama bisa memasukkan obat pencahar ke anusku.
Aku didudukkan di atas kloset dan membuang air besar, setelah itu tubuhku dibersihkan dengan air hangat selama mama membersihkan tubuhku Aurora begitu fokus memperhatikan bagaimana cara mama mengurus aku.
Selesai tubuhku dibersihkan mama menyuruh Aurora membentangkan perlak di atas kasur, aku dibawa keluar lalu dibaringkan di perlak itu. Mama mengambil perlengkapan untuk bayi besarnya ini.
"Setelah mengelap tubuhnya segera pakaikan dia diaper. Dion tidak bisa mengendalikan buang air kecil sama besar persis seperti bayi sehingga ia harus memakai popok," jelas mama yang berhasil membuatku malu sekaligus sedih.
"Pakaikan diaper sama macam pakai ke bayi?" tanya Aurora.
"Iya, sama."
Mama memakaikan diaper dan pakaian padaku, terus aku didudukkan di kursi roda dengan sabuk pengaman agar tubuhku tidak merosot ke bawah. Mama menaruh gel di rambutku dan menyisirnya.
"Aurora, kau bisa mandi biar mama bawah Dion ke bawah untuk sarapan," ucapnya.
Mama mendorong kursi rodaku ke bawah, aku sangat malu sekaligus risih terhadap Aurora dia sudah melihat seluruh tubuhku ini termasuk alat kebanggaanku yang cuma bisa dibalut dengan popok.
Aku merasa harga diriku terinjak-injak bagaimana tatapan mata Aurora yang memandang kasihan padaku dan aku sangat membencinya.
"Dion, bagaimana menurutmu tentang Aurora?" tanya mama padaku yang tentu tidak akan bisa aku gubris pertanyaannya.
Mama mulai mengeluarkan suaranya yang mengatakan jika Aurora adalah istri yang akan mampu merawatku dengan tulus aku memutar malas bola mataku ini mendengar pujian untuk Aurora yang mama lontarkan.
Kami masuk ke ruang makan dimana papa dan Michael telah duduk sambil menikmati sarapan mereka.
"Dimana Aurora?" tanya papa.
"Dia lagi mandi," jawab mama singkat seraya memasangkan baby slabber di leherku.
Mama menyuapi bubur seperti biasanya karena cuma makanan itu saja yang bisa aku makan setelah kecelakaan itu merenggut gerak motorik tubuhku.
"Aurora cantik kan?" tanya papa tidak tahu pada siapa.
"Biasa aja," jawab Michael.
"Papa bertanya pada kakakmu bukan kamu," balas papa ketus.
"Aku mewakili kakak bicara," sambung Michael yang tidak mau kalah.
"Papa membawanya kemari karena merasa cuma dia yang pantas menjadi menantu keluarga ini," ujar papa dengan raut wajah serius.
"Masih banyak gadis lain yang pantas jadi menantu keluarga ini, tapi mengapa papa memilihnya?" Michael melontar pertanyaan tanpa getir.
Aku cukup fokus pada obrolan mereka dan aku penasaran jawaban apa yang akan papa katakan.
Papa meminum kopi dengan tenang setelah itu ia meletakkan gelasnya papa tersenyum tipis, "suatu hari nanti kalian akan tahu jawabannya," ucapnya tenang.
Aku menggerutu mendengar jawaban papa begitu ambigu hingga membuatku pusing menafsirkan perkataan papa tadi.
"Yah yah cukup ikan terbang aja yang tahu jawabannya," sambung Michael bercanda sekaligus sinis mungkin ia kesal juga seperti aku.
Pembicara terhenti karena Aurora telah masuk ke ruang makan.
"Selamat pagi papa! Pagi Michael!" Aurora menyapa mereka dengan suara halus.
"Silakan duduk sayang," balas papa.
Aurora duduk di sampingku dan menikmati sarapan yang telah disiapkan, kami pun sarapan tanpa ada obrolan apa pun.
POV End
Segi penokohan ya unik biasanya pemeran utama selalu digambarkan secara sempurna tanpa cela. Tapi di cerita ini setiap tokoh memiliki kekurangan masing-masing.