Tutorial membuat jera pelakor? Gampang! Nikahi saja suaminya.
Tapi, niat awal Sarah yang hanya ingin membalas dendam pada Jeni yang sudah berani bermain api dengan suaminya, malah berakhir dengan jatuh cinta sungguhan pada Axel, suami dari Jeni yang di nikahinya. Bagaimana nasib Jeni setelah mengetahui kalau Sarah merebut suaminya sebagaimana dia merebut suami Sarah? Lalu akankah pernikahan Sarah dengan suami dari Jeni itu berakhir bahagia?
Ikuti kisahnya di dalam novel ini, bersiaplah untuk menghujat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lady ArgaLa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 19.
Di sebuah taman, Uncle Andrew membawa Adam untuk bicara empat mata dengannya.
"Maaf, Pak. Tapi rasanya semua masih belum bisa saya terima dengan akal sehat," ujar Adam membuka percakapan.
Uncle Andrew mendesah lirih. "Apalagi yang kau ragukan, Nak? Apa yang Papa ceritakan adalah kisah yang sebenarnya. Kami tau kau kecewa karna kami kembali terlalu lama bahkan sampai kau sudah sebesar ini. Tapi percayalah, kami punya alasan kuat untuk itu."
"Justru itu, rasanya semakin di pikirkan semuanya menjadi semakin tak masuk akal," debat Adam.
"Lalu apa yang kau inginkan, Nak? Apa kau mau agar kita tes DNA saja agar kau yakin kalau aku adalah Papa kandungmu?"
Adam menunduk dan menggeleng lemah. "Entahlah, Pak. Saya bahkan tak terpikir sampai ke sana. Mungkin ... Saya hanya butuh waktu untuk bisa mencerna semuanya."
Uncle Andrew tampak manggut-manggut. "Baiklah, Nak. Ambillah waktu sebanyak yang kau mau. Jika nanti kau sudah siap, beritahu Papa dan kita akan pergi untuk tes DNA agar setidaknya keyakinan itu semakin kuat dengan adanya bukti yang nyata."
Adam mengangguk pasrah, namun sekelabat tanya kembali menghampiri kepalanya.
"Lalu siapa perempuan tadi?" celetuk Adam yang bingung harus memanggil apa pada Aunty Sonia.
Uncle Andrew tersenyum. "Maksudmu perempuan yang datang bersama Papa tadi? Ya, dia Sonia ... Mama kandungmu."
Adam mengangguk berulang kali. "Jika saja ini benar, pasti saya akan bahagia sekali akhirnya bisa merasakan di peluk oleh ibu kandung. Dan bukan ibu angkat."
Adam menyusut air matanya yang hampir menetes.
"Maafkan kami, Nak. Maafkan Papa, karna persaingan bisnis yang tak ada habisnya itu, kamu dan juga Mamamu harus rela berpisah demi kebaikan kalian masing-masing."
Adam mengangguk mencoba mengerti akan keadaan di luar nalar yang sedang datang padanya saat ini.
Hening tercipta beberapa saat, masing-masing mereka larut dalam lamunannya sendiri.
"Papa dengar ... kau sudah menikah, Nak?" celetuk Uncle Andrew tiba-tiba.
Adam mendongak. "Yah, itu benar."
"Its good, bolehkah Papa dan Mama bertemu istrimu?" tanya Uncle Andrew dengan penuh semangat.
Masa hidupnya sudah habis dia habiskan untuk terus memikirkan bisnis, dan kini betapa dia rindu akan kehangatan sebuah keluarga yang utuh, jauh dari bayang-bayang ketakutan akan musuh lagi.
Adam tersenyum getir. "Tidak, Pak. Dia bahkan tidak mencintaiku. Kemarin bahkan dia bilang kalau dia benci dan dia menyesal menikah denganku."
Air mata Adam tak terbendung, selalu dia berusaha tampak kuat namun nyatanya pertahanannya runtuh di hadapan orang yang baru dua kali dia temui namun sudah membuka ruang tersendiri di hatinya.
Uncle Andrew mendesah berat. "Maafkan Papa, ini semua karna Papa terlambat menjemputmu pulang. Kau harus terjebak dalam pernikahan yang bahkan tidak kalian inginkan."
"Tidak, Pak. Semua ini sudah harus takdir dari Gusti Allah, kita tidak bisa melawannya. Biarlah ... semua akan indah pada waktunya nanti," tukas Adam menyusut air mata yang sempat mengalir di pipinya.
"Baiklah, Papa hargai keputusan kamu, Nak. Tapi Papa harap, jika sekiranya sudah tak bisa di pertahankan lagi berpisahlah baik-baik. Papa akan jamin wanita itu tetap mendapat haknya walau dia sudah berpisah denganmu." Uncle Andrew menepuk pundak Adam.
Adam mengerutkan keningnya. "Bagaimana Bapak bisa tau masalah rumah tangga kami?"
"Bukan hak sulit bagi keluarga kita untuk mengetahui hal seperti ini, Nak. Bahkan kalaupun kau ingin tau rahasia apapun yang sekiranya di simpan istrimu, Papa bisa membantumu. Yah, siapa tau itu bisa sedikit membantumu untuk mengambil keputusan atas rumah tangga kalian," kekeh Uncle Andrew bijak.
"Benarkah?" ucap Adam setengah tak percaya.
Terlalu lama bergelut dalam dunianya sendiri membuat Adam sampai tidak tau sejauh mana teknologi dan dunia sudah berkembang sejauh ini. Bahkan ponsel yang dia pakai pun masihlah ponsel jadul jaman nenek moyang.
"Tentu saja," ujar Uncle Andrew mantab.
Adam mendesah berat, bahkan bahunya sampai ikut melorot ke bawah.
"Mungkin kita bisa membahas ini nanti, saya masih terlalu takut membayangkan semuanya," tukas Adam lelah.
Lagi uncle Andrew menepuk pelan pundak Adam.
"Baiklah, kabari Papa kapanpun kau butuh bantuan ya, Nak. Nanti akan Papa berikan ponsel untukmu agar kita bisa lebih mudah terhubung, dan Papa harap kau tidak menolaknya."
Adam mendongak dan mengangguk pasrah, pikirannya sedang ruwet saat ini jadi dia tak berniat menambah masalah lagi dengan berdebat hanya karna perihal sebuah ponsel.
"Ayo kita kembali, yang lain pasti sudah menunggu kita dengan penasaran. Oh ya, apakah Papa boleh sampaikan hal ini pada Mamamu?" tanya Uncle Andrew sembari melangkah beriringan dengan Adam.
"Ah, sebaiknya jangan dulu. Sampai nanti saya siap, saya harap ini hanya menjadi rahasia kita berdua dulu," tukas Adam pelan.
Terlalu banyak masalah dan dia ingin menyelesaikannya satu persatu terlebih dahulu.
"Baiklah." Uncle Andrew mengangguk dan merangkul pundak kokoh Adam dalam lingkup tangannya, membuat Adam merasa begitu nyaman walau tak di ungkapkan secara langsung.
****
Acara berkumpul di rumah Sarah sudah selesai, sesuai yang Sarah katakan kalau nasi goreng Adam sangat lezat dan membuat mereka semua ketagihan. Bahkan mereka mewanti-wanti kalau nanti akan memesan nasi goreng Adam lagi saat ada acara di rumahnya.
"Apa Nak Adam tidak punya wa?" tanya Nyonya Ellen sedikit kecewa karna berencana akan memesan nasi goreng Adam dalam waktu dekat untuk acara di rumahnya.
Adam menggeleng sopan. "Tidak, Nyonya. Saya cuma punya nomor telepon, ini hape saya."
Adam merogoh kantongnya dan mengeluarkan sebuah ponsel jadul kecil yang sudah di ikat karet karna baterenya yang menggelembung.
Uncle Andrew menatapnya miris namun tak berani berkata apapun. Dalam hatinya hanya berharap agar Adam lekas bisa menerima dia dan keluarganya agar mereka bisa memenuhi tanggung jawabnya sebagai orang tua dengan mencukupi semua kebutuhan Adam.
Nyonya Ellen menatap Sarah. "Sarah, karna masakannya enak kamu harus bayar dia mahal. Supaya dia juga bisa beli ponsel yang lebih bagus dari itu. Kan lumayan, jaman sekarang semua orang lebih suka membeli secara online siapa tau dengan begitu dagangan Nak Adam jadi lebih terkenal."
Sarah mengangguk setuju dengan mulut masih penuh nasi goreng. " Ya, ya Momy benar. Setelah ini Sarah akan bantu Bang Adam buat promosikan dagangannya. Nasi goreng ini harus di kenal oleh dunia, hahahha."
"Hei, telan dulu makananmu baru bicara." Tuan Bryan menyentil telinga putrinya pelan.
"Ah, Dad. Dady nggak seru," gerutu Sarah mengusap telinganya yang sebenarnya tidak sakit, hanya sekedar mencari perhatian saja pada orang tuanya.
"Ow, Dad. Kau menyakiti putriku, berarti malam ini kau harus tidur di luar sampai putriku memaafkanmu," ujar Nyonya Ellen mengelus kepala Sarah.
Tuan Bryan mendelik tak percaya. "Ah, beginilah kalau hidup di kelilingi wanita."
Tawa mereka pecah mendengar banyolan seorang Tuan besar seperti Bryan, suasana hangatnya sebuah keluarga sangat kental terasa walau ada dari mereka yang belum saling mengenal satu sama lain sebagai keluarga.
Tapi tentu saja, di balik tawa itu akan ada sepasang mata yang menatap tidak suka dan menyimpan sejuta dendam dalam hatinya pada mereka.
"Tertawalah, sebelum nanti aku buat kalian menangis darah."