Di usianya yang baru menginjak 17 tahun Laila sudah harus menjadi janda dengan dua orang anak perempuan. Salah satu dari anak perempuan itu memiliki kekurangan (Kalau kata orang kampung mah kurang se-ons).
Bagaimana hidup berat yang harus dijalani Laila dengan status janda dan anak perempuan yang kurang se-ons itu?.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kuswara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8
Usaha kecil-kecilan Laila berjalan cukup lancar. Sebagian uangnya pun bisa disimpannya. Menabung kecil-kecilan di dalam celengan. Namun sampai detik ini Laila selalu bersiap kalau harus pergi dari rumah. Namun sudah dua minggu berlalu, Teh Wulan dan Mang Wawan tidak pernah datang lagi. Wajah cemas itu selalu tampak setiap kali Arman mengambil kue.
"Kenapa selalu cemas begitu? Padahal kue-kuenya habis terus. Malahan sekarang semakin bertambah pesanannya."
"Apa iya saya terlihat sangat cemas?" tanya Laila.
"Tentu saja."
Laila memegangi wajahnya lalu menatap kejauhan.
"Menunggu seseorang?."
"Ah, tidak."
Tatapan mereka pun bertemu namun Laila segera memutusnya. Mengalihkan pandangannya ke arah lain. Arman tersenyum lebar, semakin senang bertemu dengan janda yang satu ini.
"Ya sudah aku bawa kuenya."
"Terima kasih."
Arman mengangguk dan segera mengendarai sepeda motornya. Sebenarnya Arman tahu apa yang menjadi kecemasan Laila. Tetapi laki-laki itu berpura-pura. Karena Arman sendiri yang membantunya, memberikan sejumlah uang pada Teh Wulan dan Mang Wawan supaya tidak menganggu hidup Laila dan kedua anaknya. Arman begitu peduli dengan hidup dan perjuangan Laila yang beserta anak-anaknya yang begitu gigih.
Laila segera bergegas menjemput anak-anak karena sesuai arahan dari guru les untuk tidak selalu menunggui anak-anak di tempat les. Para orang tua diharapkan mempercayakan anak-anak para guru les yang ada di sana.
Sebelum membawa anak-anaknya pulang, Laila diminta menghadap pemilik les. Katanya ada beberapa hal yang mau disampaikan.
"Mohon maaf sebelumnya, setelahnya beberapa kali pertemuan sepertinya Salwa tidak bisa menangkap dengan baik. Berbeda dengan Adiknya yang begitu pintar, cepat tanggap untuk apapun."
"Saya sudah katakan diawal mengenai putri pertama saya. Memang seperti itu kondisinya, makanya pihak sekolah pun tidak memberinya kesempatan karena sudah tahu seperti ini. Tapi saya mohon, biarkan Salwa tetap di sini bersama yang lainnya, tetap belajar."
"Tidak apa-apa, biarlah Salwa datang ke sini dan saya akan tetap mengajarinya. Saya hanya menyampaikan evaluasi mengenai Salwa."
"Terima kasih."
"Setiap anak memiliki keistimewaan yang berbeda, mungkin Salwa memiliki sesuatu yang tidak dimiliki anak lain."
"Terima kasih sudah mengerti."
Usai bicara dengan pemilik les baru Ibu Laila pulang bersama kedua anaknya. Tapi kali ini mereka mampir ke toko yang ada di sebelah balai kesehatan. Ada yang harus dibeli Ibu Laila untuk kebutuhan tugas Salwa dan Halwa. Kedua anaknya begitu senang dengan tugas yang diberikan gurunya untuk dikerjakan di rumah. Mengisi waktu senggang anak-anak.
Setibanya di rumah, Salwa dan Halwa langsung mengerjakannya. Membiarkan Ibu Laila sibuk dengan pesanannya.
Handphone dan televisi memang tidak dimiliki Laila. Tapi beberapa kali Laila melihat toko kue yang menjual bolu dengan aneka rasa. Namun yang menarik perhatiannya segala olahan yang berbahan dasar bakunya dari pisang. Pisang di kampungnya sedang melimpah, ada beberapa petani pisang yang memberinya harga murah.
Laila sendiri rela membeli terigu kemasan demi mendapatkan resep bolu yang sesuai keinginannya meski harus mau membayar mahal. Selisih harganya sampai empat ribu rupiah.
"Semoga saja berhasil" gumam Laila setelah menyiapkan bahan-bahan dengan peralatan seadanya. Tidak ingin memaksakan kehendak karena uang yang dimilikinya belum cukup.
Dengan tangan yang mulai terampil Laila mengaduk semua bahan-bahannya menjadi satu. Ternyata membutuhkan tenaga ekstra sampai-sampai tangannya terasa begitu pegal. Tidak lupa Laila pun bekerja menggunakan instingnya.
Setelah beberapa lama berkutat di dapur, bolu kukus yang dibuatnya telah jadi. Bisa dikatakan tidak sempurna tapi tidak gagal juga kalau dilihat dari penampakannya.
"Bu, ada Pak Arman" ucap Halwa berdiri di pintu dapur.
"Itu apa?."
"Bolu pisang."
"Aku mau."
"Sebentar Ibu menemui Pak Arman dulu."
Halwa mengikuti Ibunya menemui Arman. Sekalian membantu membawakan kantung plastik berukuran kecil.
"Pak Arman" Halwa sudah terbiasa menyapa laki-laki itu. Menaruh kantung plastik yang dibawanya.
"Halwa."
"Ibu membuat bolu."
"Bolu apa?."
"Kata Ibu bolu pisang. Pak Arman mau?."
Arman menoleh perempuan yang berdiri di dekat Halwa.
"Memangnya Pak Arman dikasih kalau mau?."
Dengan polosnya Halwa mengangguk. "Boleh 'kan, Bu?."
"Boleh."
"Ajak duduk Pak Arman nya, Ibu mau potong dulu bolunya." Ibu Laila masuk ke rumah bersamaan dengan Salwa yang keluar.
Ibu Laila sudah bergabung lagi dengan mereka. Menghidangkan beberapa potong bolu di atas piring.
"Perdana saya buat ini. Belum tahu rasanya sepertinya. Manis atau kemanisan atau justru hambar."
"Baik, sama-sama kita akan mencoba rasanya."
Keempat orang itu masing-masing mengambil satu potong kecil lalu sama-sama memasukkan ke dalam mulut.
"Enak, Bu." Salwa dan Halwa segera merespon. Yang kemudian disusul oleh Arman.
"Iya, ini sangat enak."
"Tapi kasar tidak lembut."
"Ini sudah bagus untuk seorang pemula seperti kamu. Apalagi kamu mengerjakannya dengan bahan dan perlengkapan seadanya."
Laila mengangguk sambil menelan bolu yang memasuki kerongkongannya.
Arman pun pamit pada penghuni rumah setelah menghabiskan dua potong bolu. Seketika kepalanya dipenuhi banyak rencana untuk membantu Laila. Tentu saja bantuan yang dapat diterima Laila.
Setengah enam sore Arman kembali ke rumah Laila, hanya ingin memberikan sesuatu yang dapat membantu Laila dalam membuat berbagai macam kue sederhana namun bernilai tinggi. Yang nantinya dapat dinikmati banyak orang.
"Apa ini?" tanya Laila saat menerimanya.
"Kumpulan resep-resep." Arman tersenyum.
"Tapi..."
"Ini sudah mau maghrib, tidak enak kalau ada yang melihat saya masih di sini. Kamu bisa baca-baca dulu kalau sudah ada bahannya bisa mencobanya."
"Terima kasih."
Laila langsung mengunci pintu setelah berada di dalam rumah.
Di waktu santainya sebelum tidur, Laila membuka setiap halamannya. Membaca apa yang tertulis di sana. Sangat rapi, detail dan dapat dipahami Laila yang baru belajar membuat kue. Rasanya sudah sangat tidak sabar ingin membuat kue baru lagi. Andai saja semuanya lengkap mungkin saat ini juga Laila langsung mengeksekusinya. Tapi Laila cukup bersabar, menanti hari dirinya akan bisa membuat kue lagi. Sekarang harus bekerja keras dulu, mengumpulkan apa yang dibutuhkannya.
*****
Teh Linda mendatangi rumah Laila. Membeli kue sekaligus membayar kekurangannya yang kemarin-kemarin.
"Tidak banyak sih, Laila. Cuma lima puluh ribu."
"Kalau sekarang tidak ada, nanti sore baru ada."
"Ya udah nanti sore aku ke sini lagi."
"Iya, Teh."
Laila selalu bersemangat dalam membuat kuenya. Bukan hanya Ibu Ratna saja yang membeli kue padanya. Ada Bu Desi yang beberapa waktu lalu membelinya, katanya informasi dari Ibu Ratna. Sekarang ada Teh Linda.
Dari mulut ke mulut kue kacamata dan kue nagasari buatan Laila mulai diketahui banyak orang. Terutama penduduk kampung Telaga.
"Memangnya mau kalian apa kan kue-kue ini?" tanya Teh Linda pada beberapa ibu-ibu yang dikepalai Teh Yayuk. Kue buatan Laila sudah ada di tangan mereka.
"Ada deh, nanti juga kamu bakal tahu."
"Terserah kalian deh, yang jelas tidak akan ada sangkutannya sama aku 'kan?."
"Aman."
Bersambung....
jangan lupa dateng aku di karya ku judul nya istri kecil tuan mafia
jangan lupa mampir di beberapa karyaku ya😉