" Menikah dengan siapa?! om pamungkas?!!" suara Ratih meninggi, di tatapnya semua anggota keluarganya dengan rasa tak percaya.
" Pamungkas adalah pilihan terbaik untukmu nduk.." suara papanya penuh keyakinan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mengacuhkan
" Kau pulang malam lagi..!" terdengar suara Hendra memarahi Ratih.
" Aku ini bukan anak kecil mas?! aku keluar untuk hal positif?!" balas Ratih.
" Hal positif apa? toko dan cafemu kan hanya sampai sore?! kau kenal laki laki ya?!" suara Hendra lantang,
membuat Pamungkas yang mendengarnya merasa tak nyaman.
" Mas harusnya bertanya baik baik, bukan bicara sekeras ini padaku?!"
" aku sudah cukup banyak melihatmu pulang terlambat!
tugasku sebagai kakakmu mengingatkan!"
suasana hening tiba tiba,
karena merasa khawatir pertengkaran semakin membesar Pamungkas keluar dari kamar.
Betapa terkejutnya Ratih melihat Pamungkas berdiri di depan pintu kamar.
" Kalian mau membangunkan papa mama kalian?" suara Pamungkas yang dalam dan berat itu membuat kedua keponakannya sontak memandangnya.
" Bicarakan besok pagi, sekarang pergilah ke kamar masing masing." perintah Pamungkas tegas.
Ratih yang sempat terperangah dengan kehadiran Pamungkas itu membuang pandangannya dan buru buru melangkah ke kamarnya tanpa bicara apapun.
" Lihat itu om? dia semakin susah di nasehati sekarang?!" ujar Hendra masih berdiri di tempat.
" Menasehati tidak keras begitu Hendra, belajarlah untuk berbicara lebih pelan pada adikmu," nasehat Pamungkas.
" Masuklah ke kamarmu sekarang, kita bicara besok pagi!" tegas Pamungkas.
Matahari sudah merangkak naik saat Pamungkas turun untuk menyapa kakak dan kakak iparnya.
" Datang jam berapa tadi malam Pam?" tanya Adi,
" jam sembilan an mas.. makan dulu dengan Hendra di jalan.."
" Sarapan dulu Pam, jangan pergi dulu.." ujar Ana pada Pamungkas yang sudah rapi.
" Nanti saja mbak.. apa Hendra sudah turun?" Pamungkas duduk di ruang tengah, dia mengambil koran hari ini dan membolak baliknya.
" Kau sudah lama tidak pulang, telfonpun jarang.. ku kira kau sudah kecantol perempuan timur.."
Ana meletakkan secangkir kopi di meja,
" minum kopimu.." imbuh Ana,
" Lha.. repot saja mbak?"
" tidak.. kebetulan mak Karso sedang pulang, putrinya melahirkan.."
" oh.. syukurlah mak Karso sudah dapat cucu.." ucap Pamungkas tak sengaja membuat Adi dan Ana saling memandang.
" Mas sama mbak tidak perlu berkecil hati..
setelah bengkel berjalan, Hendra pasti akan berpikir untuk menikah..
aku akan membimbingnya agar lebih bertanggung jawab.." ujar Pamungkas menghibur kedua kakaknya.
" Usia kami sudah seharusnya menimang cucu Pam.. tapi entahlah anak anak kami..
sepertinya semua sudah malas menikah.." keluh Ana,
" Mbak Ana tenang saja.. aku akan mendampingi kalian untuk mendidik Hendra setelah ini,
sabarlah sebentar.." Pamungkas menenangkan.
" Ngomong ngomong Ratih kok belum turun?" tanya papanya,
" Biasanya pagi pagi sudah turun dan mengganggu mu ma?" lanjut si papa bertanya,
" Iya, apa dia tidak enak badan ya? beberapa hari ini di pulang malam terus..?" sahut mamanya.
Pamungkas melipat korannya kembali, dan meminum kopi yang sudah di suguhkan kakak iparnya.
" Memangnya Ratih sibuk apa sekarang mbak?" tanya Pamungkas setelah meminum kopinya.
" Dia membuka cafe dan taman Baca Pam.."
" kenapa tidak melamar jadi tenaga guru saja, dia kan lulusan sastra indonesia?"
" anak itu semenjak bercerai makin sulit di pahami maunya..
kami takut, kalau terlalu mengaturnya.. dia akan pergi dari rumah ini..".
Pamungkas menyandarkan punggungnya ke sofa,
" Biarkan saja mbak, asal tidak melebihi batas.."
" banyak yang datang pada kami, untuk meminta Ratih.."
" meminta Ratih?"
" iya.."
" lalu..bagaimana dengan Ratih?"
tanya Pamungkas hati hati,
" kau nasehatilah dia Pam, mumpung kau pulang.. Hendra saja mau mendengarmu, ya masa Ratih tidak?"
Pamungkas diam tak menjawab, ia terlihat sedang menimbang nimbang perkataan kakak iparnya.
" Ratih sudah besar mbak..." jawabnya setelah lama berpikir,
" kami juga sudah tua Pam..."
Pamungkas lagi lagi terdiam.
Ratih enggan keluar, apalagi dia tau dirumah ini ada Pamungkas.
Rasa kesalnya setahun lebih belum hilang karena laki laki itu pergi begitu saja tanpa ada perkataan apapun.
perempuan itu membolak balikkan tubuhnya di atas tempat tidur meski jam di dinding sudah menunjukkan waktu yang sudah tidak lagi pagi.
" Ah.. sudahlah..!" keluhnya bangkit,
ini hari sabtu, cafenya hanya buk setengah hari, tidak ada gunanya ia mengurung diri di kamar.
" Anggap saja tidak ada orang itu.." ucapnya berjalan menuju kamar mandi.
setelah mandi dan berbenah diri, Ratih segera turun.
" Ratih tidak sarapan ma, pa, makan di cafe saja.." pamitnya pada papa mamanya yang sedang berbincang dengan Pamungkas.
Setelah mencium tangan kedua orang tuanya dia pergi begitu saja, tak menyapa, juga tak menyalami Pamungkas.
Kedua orang tua Ratih tertegun,
" Astaga Ratih?! kau tidak sopan ada om mu?!" peringat Ana keras, berharap putrinya itu kembali dan bersikap sewajarnya pada Pamungkas,
namun nyatanya tidak, perempuan itu tetap melenggang dengan santai keluar dari rumah.
Pamungkas yang sempat tertegun dengan sikap dingin Ratih, dengan segera mengembalikan kewajarannya.
" Sudahlah mbak.. tidak apa apa, namanya juga Ratih.." ujar Pamungkas mengulas senyum tenang,
" bisa bisanya dia mengacuhkanmu?"
" tidak.. kami sudah bertemu kok tadi malam.." jawab Pamungkas mempertahankan senyumnya.
emang kamu pikir si ratih itu ga punya hati apa.....
luka karna dikhianati sama org terdekat itu susah sembuhnya, kamu malah ngerecokin si ratih mulu
slading online juga nih
istri rasa ponakan itu perlu pemahaman yang besar 😆😆