Dante, pria kejam yang hidup di dunia kelam, tak pernah mengenal rasa iba. Namun segalanya berubah saat ia bertemu Lea, gadis lugu yang tanpa sengaja menjadi saksi pembunuhannya. Lea, seorang guru TK polos, kini menjadi obsesi terbesarnya—dan Dante bersumpah, ia tidak akan melepaskannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ayuwine, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
29
"Kenapa kau kabur dari pertolongan kakakku? Apa kau lebih nyaman bersamaku?" tanya Dante, menaik-turunkan alisnya dengan penuh godaan.
Lea hanya mendelik tajam, enggan menanggapi ucapan pria itu.
Dante terkekeh pelan. Gadis di sebelahnya ini benar-benar menarik perhatiannya terlebih dengan ekspresi wajah ketus yang ditunjukkannya saat ini.
"Bisa kutebak... Kakakmu yang kau anggap baik itu, dia menyukai Dion, kan?" ucapnya santai.
Lea sedikit terkejut, tapi pandangannya tetap terfokus pada kaca mobil, membuat Dante tidak bisa menangkap ekspresi keterkejutannya.
Bagaimana dia bisa tahu? Apa dia peramal? batinnya.
"Diamlah! Beberapa hari tidak bertemu, kau jadi semakin cerewet!" Lea mendelik kesal, berusaha menutupi kegugupannya.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Lea mengeliat. pagi ini dia sengaja bangun lebih awal dari siapapun, bahkan asisten rumah tangga pun belum datang.
Lea bersenandung,dengan riang dia mencincang ayam untuk di buat sup.
"ah....sudah beres...ini sangat harum..."lirih pelan dengan menghirup sup buatan nya tersebut.
"ya ampun...nona..nona bagaimana bisa memasak di dapur. Biarkan saya yang menyelesaikan nya nona. Nanti tuan marah." ucap sang asisten yang baru datang. Dia sangat kaget saat melihat gadis itu sedang berdiri di sana.
Lea menoleh,dia tersenyum manis.
"astaga!"
Asisten itu di buat kaget lagi saat melihat lea sudah memasak sup di dalam panci yang begitu besar.
Sumi. Asisten rumah tangga tersebut berlari ke dalam kulkas . Dan benar saja 4 ekor ayang sudah habis di buat sup oleh gadis itu.
Sumi di buat melongo dengan kelakuan gadis yang di sukai oleh tuan nya itu.
"apakah nona memasak sup ayam sendirian?"tanya sumi memastikan.
Lea hanya mengangguk dan tersenyum lebar.
"empat ayam?"tanya nya lagi dengan mengacungkan tangan dengan jari 4.
"betul!"jawab lea riang.
"astaga nona....bagaimana cara menghabiskan nya?"lirih sumi sambil meringis.
"ya ampun bibi. Di sinu banyak orang, kita bisa membagikan nya!"ucap lea dengan nada bingung.
"tunggu bi, aku mau mandi dulu,tolong siapkan semuanya kedalam mangkuk ."ucap nya dengan langsung belari kecil ke atas.
Dante berjalan menuju ruang makan dengan langkah santai, namun aroma sup ayam yang begitu kuat menyambutnya sejak dari pintu dapur. Keningnya langsung berkerut. Aroma itu bukan sekadar menggoda, tapi juga terasa... berlebihan?
Begitu dia tiba di ruang makan, matanya langsung tertuju pada deretan mangkuk besar yang sudah tersusun rapi di meja. Sup ayam dalam jumlah yang tidak masuk akal mengepul di dalamnya.
Dante melipat tangan di dada, menatap tajam ke arah Sumi yang sedang sibuk mengatur sendok dan mangkuk tambahan.
"Bibi Sumi." Suaranya datar, tapi penuh tekanan.
Sumi menegang seketika. Tangannya yang sedang merapikan piring langsung berhenti di udara. Dengan gerakan kaku, dia menoleh ke arah Dante.
"Iya, Tuan..." suaranya gemetar.
"Apa-apaan ini?" Dante menggerakkan dagunya ke arah panci sup yang masih mengepul di dapur. "Kau serius memasak sup sebanyak ini? Untuk siapa? Mau buka warung makan?"
Sumi menelan ludah. Wajahnya memucat. Dia ingin menjelaskan, ingin mengatakan bahwa ini semua ulah Lea, tapi tenggorokannya terasa terkunci.
Dante melangkah mendekat, matanya menyipit tajam. "Empat ekor ayam, Bibi? EMPAT? Apa kau kehilangan akal sehatmu?"
Sumi langsung menunduk dalam. "Saya... saya..." kata-katanya terhenti.
"Bukan hanya itu," Dante melanjutkan, suaranya semakin tajam. "Kau tahu aku tidak suka pemborosan. Kenapa kau memasak sebanyak ini tanpa izin?"
Sumi semakin panik. Keringat dingin mulai membasahi pelipisnya. "Tuan... saya..."
"Jawab!" suara Dante semakin menekan, membuat nyali Sumi semakin menciut.
Sumi benar-benar tidak bisa berbicara. Mulutnya terbuka, tapi tak ada suara yang keluar. Tangannya mulai gemetar, dan dia hanya bisa menunduk dalam, berharap bumi menelannya saat itu juga.
Tepat saat itu, Lea turun dari tangga dengan rambut masih sedikit basah, mengenakan pakaian santai. Dia bersenandung kecil sebelum matanya menangkap pemandangan di ruang makan.
Keningnya berkerut melihat Sumi yang menunduk ketakutan dan Dante yang berdiri dengan wajah penuh amarah.
"Hei, ada apa ini?" Lea bertanya santai, berjalan mendekat.
Dante menoleh tajam ke arahnya. "Apa lagi kalau bukan soal ini?" Ia menunjuk sup yang memenuhi meja. "Bibi Sumi memasak sup dalam jumlah gila-gilaan. Empat ekor ayam, Lea! Ini keterlaluan!"
Lea terdiam sejenak, lalu menoleh ke arah Sumi yang masih menunduk. Sejurus kemudian, ia terkekeh pelan, lalu menepuk bahu Sumi. "Bibi, kenapa diam saja? Kau takut?"
Sumi hanya mengangguk kecil, nyaris tak berani bernapas.
Lea menahan tawa, lalu menoleh ke arah Dante dengan ekspresi polos. "Dante, itu aku yang memasaknya, bukan Bibi Sumi."
Dante terdiam seketika. Ia menatap Lea tanpa berkedip, mencoba mencerna apa yang baru saja dikatakan gadis itu. "...Kau?" tanyanya, nyaris tidak percaya.
Lea mengangguk riang. "Iya, aku. Kau suka sup ayam, kan? Jadi aku pikir, kenapa tidak memasak lebih banyak sekalian?"
Dante masih terdiam, lalu menatap kembali Sumi yang masih membeku di tempatnya. Dalam hatinya, ia mulai merasa bersalah.
Sumi, yang akhirnya merasa beban berat telah terangkat, hanya bisa menghela napas lega, hampir saja kakinya lemas karena ketakutan tadi.
Lea tersenyum jahil. "Kau sudah memarahi orang yang salah, Dante."
Dante mendengus kesal, lalu mengusap wajahnya. "Tuhan, aku benar-benar perlu segelas kopi sebelum menghadapi kalian berdua."
Lea terkikik, sementara Sumi hanya bisa mengelus dadanya, bersyukur karena amarah Dante akhirnya bukan untuknya.
Lea berjalan dengan langkah ringan, membawa satu per satu mangkuk sup ayam ke arah para pekerja yang ada di rumah besar itu. Senyumnya lebar, matanya berbinar seperti anak kecil yang baru saja berhasil membuat sesuatu untuk pertama kalinya.
"Ini untukmu, ambil yang banyak, ya!" ucap Lea riang saat menyerahkan mangkuk kepada salah satu tukang kebun.
Para pekerja awalnya tampak ragu, tapi setelah melihat semangat Lea, mereka mulai menerima dengan senang hati. Aroma sup ayam yang lezat memang menggoda, dan tak ada alasan untuk menolak rezeki ini.
"Nona Lea, ini benar-benar enak!" seru salah satu penjaga keamanan setelah mencicipi satu sendok supnya.
Lea tersenyum bangga. "Tentu saja! Aku memasaknya sendiri, tahu!"
Di sudut ruangan, Dante bersandar di dekat pilar, memperhatikan pemandangan itu dengan tatapan tajam. Ada sesuatu yang mengganggu pikirannya. Lea... gadis yang selama ini bersikap ketus dan penuh kebencian padanya, kini tersenyum begitu lebar di hadapan orang lain. Seolah-olah dia adalah gadis yang periang dan hangat.
Namun, Dante bukan orang bodoh.
Dia melihat bagaimana senyum itu terlihat terlalu cerah. Bagaimana cara Lea tertawa terlalu riang, seakan mencoba menutupi sesuatu. Seolah dia ingin meyakinkan dirinya sendiri bahwa dia baik-baik saja.
Dante melangkah mendekat, melipat tangan di dada. "Kau sangat menikmati ini, ya?"
Lea menoleh cepat, senyumnya masih melekat di wajahnya. "Tentu saja! Kau lihat kan? Semua orang menyukainya!"
Dante menyipitkan mata. "Aku tidak bicara soal supnya."
Lea terdiam sejenak, lalu terkekeh pelan. "Apa maksudmu?"
Dante mendekat sedikit, menurunkan suaranya agar hanya Lea yang bisa mendengarnya. "Kau bersikap seolah kau sangat bahagia di sini. Padahal, kita berdua tahu kau tidak nyaman berada di dekatku."
Senyum Lea menegang.
Dante mendengus pelan. "Lucu sekali. Kau membenciku, tapi kau bersikap manis di hadapan orang lain. Apa itu caramu melarikan diri?"
Lea menggigit bibirnya. Ada perasaan tidak nyaman menjalar dalam dirinya. Entah kenapa, Dante bisa membaca dirinya lebih baik daripada yang dia inginkan.
Tapi dia tidak mau kalah.
Lea tersenyum lagi, kali ini lebih lebar. "Dante, sebaiknya kau makan saja supnya sebelum dingin. Daripada sibuk mengurusi perasaanku."
Dante menatapnya beberapa detik sebelum akhirnya menghela napas. "Lakukan sesukamu, Lea. Tapi jangan berpikir aku tidak tahu apa yang sebenarnya kau rasakan."
Lalu, tanpa berkata lagi, Dante berjalan pergi.
Lea menatap punggung pria itu dengan rahang mengatup rapat. Tangannya mengepal di sisi tubuhnya.
Dante benar.
Dia memang tidak nyaman di sini. Dia membenci pria itu.