Pernikahan yang diawali dengan perjodohan dan tak saling cinta, biasanya berakhir dengan sebuah cinta diantara keduanya. Namun ternyata apa yang Salma alami berbeda dengan kisah romansa pada umumnya.
Dua puluh tahun menikah dengan Aidil dan dikaruniai dua orang putra ternyata tak membuat Aidil bisa membuka hatinya untuk Salma. Hingga di suatu malam, akhirnya Salma mengetahui jika suaminya memiliki wanita idaman lain dalam pernikahan mereka.
Manakah yang akan Salma pilih? Bertahan demi anak-anaknya atau memilih berpisah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon pinkanmiliar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19. Takdir Cinta yang Kupilih
Pukul empat pagi Salma terbangun dari tidur panjangnya. Salma melirik kearah sebelahnya dan tidak mendapati Aidil ada disana.
Sejak pernikahannya bermasalah, Aidil lebih memilih tidur di ruang kerjanya. Salma tidak masalah dengan itu. Bagi Salma, bersama Aidil membuatnya hanya mengingat kepahitan tentang pengkhianatan yang dilakukan pria itu.
Salma membersihkan diri lebih dulu sebelum keluar kamar. Setelah membersihkan diri, Salma menuju ke dapur untuk menyiapkan sarapan pagi.
Hari masih petang namun Salma sudah berkutat dengan pekerjaan rumah. Sebenarnya di rumah besar itu ada beberapa asisten. Namun Salma lebih suka mengerjakan semuanya sendiri. Meski tidak semua pekerjaan rumah di pegang oleh Salma.
Evita yang juga sudah bangun mengintip dari balik dinding dekat dapur. Evita tersenyum.
"Syukurlah dia sudah kembali seperti dulu," gumam Evita.
Evita berjalan menghampiri Salma.
"Baunya harum. Kau masak apa?" tanya Evita berbasa basi.
"Sebaiknya mamih tidak mengatakan pada mas Aidil jika semalam mamih memakan ayam goreng." Salma tidak menjawab dan malah bicara hal lain.
"Hmm, aku tahu. Kalau begitu selesaikan masakanmu. Aku akan membangunkan Aidil." Evita berlalu dari dapur.
Evita menuju ke ruang kerja Aidil. Ia sudah tahu jika putranya pisah ranjang dengan Salma.
Evita masuk tanpa mengetuk pintu. Ia melihat anaknya meringkuk diatas sofa ruang kerjanya.
"Huft! Ya Tuhan, bagaimana bisa semuanya jadi begini. Aidil, bangun Nak!" Evita menggoyangkan tubuh Aidil.
Mata Aidil mulai mengerjap. Aidil melihat ibunya ada di depannya.
"Mamih?"
"Apa kau akan membiarkan Salma melakukan ini?"
"Melakukan apa, Mih?"
"Salma sudah menemui pengacara. Dia benar-benar akan mengajukan gugatan perceraian padamu."
"Mamih sudah tahu?" Aidil cukup terkejut.
Evita memutar bola matanya malas.
"Mamih memata-matai Salma?" Aidil menggeleng pelan.
"Sebaiknya kau pikirkan cara agar Salma membatalkan gugatan itu. Lalu, bagaimana dengan properti yang akan kau berikan pada adiknya Salma?"
"Aku sudah menyiapkan surat kepemilikan propertinya. Sebaiknya mamih saja yang menyerahkannya pada Salman."
Evita menghela napas. "Baiklah. Suruh dia datang ke rumah untuk makan siang. Sekarang kau bersihkan dirimu dulu dan bersiap." Evita menepuk pelan bahu putranya kemudian berlalu.
Evita kembali menemui Salma di meja makan. Ia melihat Salma telah menyelesaikan makanan yang dimasaknya.
"Nanti siang, undanglah adikmu untuk makan siang disini. Ada yang ingin kuberikan padanya sebagai hadiah karena ia telah lulus dengan baik dan nilai memuaskan."
Salma tersenyum mendengarnya. "Baiklah, Mih."
"Panggil Aidil untuk sarapan bersama!" titah Evita.
Salma mengangguk kemudian menuju ke ruang kerja suaminya. Salma tak menemukan siapapun disana.
Salma pun menuju ke kamarnya. Dan benar saja, Aidil telah siap dengan setelan kerjanya. Aidil sedang memakai dasinya.
"Cepat atau lambat mamih akan memberitahu anak-anak soal perceraian kita sama seperti yang mamih lakukan pada ayahku."
Aidil terkejut mendengar penuturan Salma.
"Apa? Mamih bicara dengan ayah?"
"Kamu sendiri tahu seperti apa ibumu. Dia bukan hanya mengancam tapi akan melakukan hal itu."
"Sayang..."
"Apa mamih akan memberi properti pada Salman?"
Aidil menghela napasnya. "Iya. Properti atas nama Salman."
Salma mengangguk. "Baiklah. Mamih sudah menunggu di meja makan, ayo kita keluar!"
#
#
#
Menjelang siang, Salma berbelanja bahan makanan yang akan ia masak untuk makan siang. Sambil berbelanja, Salma menghubungi Salman untuk mengundangnya makan siang.
"Halo, Dek."
"Iya, Mbak. Ada apa?"
"Apa siang ini kamu sibuk?"
"Hmm, sepertinya tidak. Ada apa, Mbak?"
"Mamih mengundangmu makan siang."
"Hmm, baiklah. Aku akan datang. Mbak ada dimana?"
"Aku sedang berbelanja. Aku ingin memasak makanan kesukaanmu."
"Wah, terima kasih banyak, Mbak. Aku sangat merindukan masakan mbak Salma."
"Baiklah. Aku tunggu kedatanganmu."
Panggilan berakhir. Salma tersenyum dan kembali memilih bahan makanan.
Pukul dua belas siang, Salman tiba di kediaman Pramudya. Salma menyambut sang adik dengan senyum mengembang.
"Ayo masuk! Mamih sudah menunggumu."
"Apa mas Aidil juga ada di rumah?"
"Sebentar lagi dia datang."
Acara makan siang pun berlangsung. Obrolan kecil terjadi diantara Salman dan Aidil.
Usai makan siang, Evita mengambil berkas kepemilikan properti di kamarnya. Kemudian ia memberikan berkas itu pada Salman.
"Karena kau sudah menepati janjimu, maka aku juga akan menepati janjiku. Ini sebuah properti di pusat kota. Nilai jualnya tidak main-main. Lambat laun ini bisa menjadi investasi yang bagus untukmu. Jadi, tolong gunakan dengan baik."
Salman menerima berkas itu. "Terima kasih banyak, Nyonya. Dan mas Aidil. Aku janji aku akan menggunakan ini dengan baik."
Aidil menepuk bahu Salman. "Kau bilang kau ingin membuka klinik praktek sendiri. Gunakanlah tempat itu untuk tempatmu praktek. Aku yakin kau akan mendapat banyak pasien."
"Iya, Mas. Sekali lagi terima kasih."
Salman berpamitan pada Evita dan Aidil. Salma mengantar adiknya hingga ke depan rumah.
"Aku sangat senang kau bisa meraih impianmu. Kau yakin akan membuka praktek sendiri?" ucap Salma memegangi kedua bahu adiknya.
"Iya, Mbak."
"Jika butuh bantuanku, katakan saja!"
"Tidak, Mbak. Selama ini mbak sudah banyak berjasa untukku. Aku tidak mau merepotkan mbak lagi."
"Jangan bicara begitu. Kau adalah adikku. Semua yang aku lakukan adalah untukmu dan juga ayah." Mata Salma mulai berkaca-kaca. Rasa haru menyelimuti Salma saat ini.
"Apa mbak baik-baik saja? Apa terjadi sesuatu?" tanya Salman yang merasa ada yang tak beres dengan kakaknya.
Salma menggeleng. "Tidak. Mbak baik-baik saja. Mbak hanya sangat bahagia karena bisa melihatmu mencapai cita-citamu. Pergilah! Bukankah jam istirahatmu sudah habis?"
"Iya, Mbak. Kalau begitu aku pergi." Salman masuk ke dalam mobilnya dan segera melesat pergi.
Salma memegangi dadanya yang terasa sesak. Ia mengingat semua perjuangannya agar Salman bisa menggapai cita-citanya.
Semua hal yang keluarganya terima adalah berkat Salma.
"Aku akan melakukan apapun agar kau bisa bahagia, Salman. Aku rela mengorbankan hidupku demi kamu. Semoga kamu selalu mendapat kebahagiaan." Tangis Salma akhirnya pecah.
Salma menatap bangunan besar yang sudah ia tempati selama 20 tahun.
"Mungkin sudah saatnya aku keluar dari rumah ini. Sudah cukup semua yang aku lakukan di rumah ini. Semua yang aku lakukan adalah untuk ayah dan Salman. Sekarang saatnya aku memulai semuanya untuk diriku sendiri."
Salma mengusap air matanya. Ia mengatur napas sebelum masuk kembali ke rumah suaminya.
Salma bertemu Aidil yang akan kembali ke kantor.
"Terima kasih atas apa yang Mas lakukan untuk Salman." Salma merasa perlu berterimakasih pada Aidil.
"Tidak perlu begitu. Kau sudah banyak berkorban untuk keluarga ini."
"Benar. Aku sudah melakukan banyak hal untuk keluarga ini. Jadi, sudah saatnya aku hidup untuk diriku sendiri."
"Apa maksudmu?"
Salma menatap lekat Aidil. "Izinkan aku keluar dari rumah ini. Aku ingin menenangkan diriku setelah semua yang kamu lakukan padaku."
"Sayang..." Aidil menatap Salma sendu.
"Aku akan kemasi barangku dan tinggal di apartemen. Mas carilah alasan yang bagus untuk mamih."
dewasa banyak ilmu yg d dapat dr cerita ini tentang kesabaran kedewasaan dalam ambil sikap meski cerita nya sederhana
Tapi ya sudahlah jk mmg sdh hrs ending.Terima kasih utk ceritanya kak
Di tunggu next ceritanya..semangat