~Karya Original~
[Kolaborasi dari dua Author/BigMan and BaldMan]
[Update setiap hari]
Sebuah ramalan kuno mulai berbisik di antara mereka yang masih berani berharap. Ramalan yang menyebutkan bahwa di masa depan, akan lahir seorang pendekar dengan kekuatan yang tak pernah ada sebelumnya—seseorang yang mampu melampaui batas ketiga klan, menyatukan kekuatan mereka, dan mengakhiri kekuasaan Anzai Sang Tirani.
Anzai, yang tidak mengabaikan firasat buruk sekecil apa pun, mengerahkan pasukannya untuk memburu setiap anak berbakat, memastikan ramalan itu tak pernah menjadi kenyataan. Desa-desa terbakar, keluarga-keluarga hancur, dan darah terus mengalir di tanah yang telah lama ternodai oleh peperangan.
Di tengah kekacauan itu, seorang anak lelaki terlahir dengan kemampuan yang unik. Ia tumbuh dalam bayang-bayang kehancuran, tanpa mengetahui takdir besar yang menantinya. Namun, saat dunia menjerumuskan dirinya ke dalam jurang keputusasaan, ia harus memilih: tetap bersembunyi/melawan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BigMan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 25 - Kegaduhan di Kedai: Bagian 1
Langit mulai berubah warna, beranjak dari biru terang ke jingga keemasan. Angin sore bertiup lembut, menggugurkan beberapa helai daun kering yang melayang perlahan di udara. Di tengah dataran yang sepi, dua sosok berdiri berhadapan—Abirama dan putranya, Sora.
Abirama menghela napas, mengamati putranya yang masih tampak terengah-engah setelah sesi panjang yang baru saja mereka selesaikan. "Sudah cukup untuk hari ini," katanya, suaranya dalam dan mantap. "Kita pulang."
Sora mengangguk, meskipun pikirannya masih dipenuhi dengan kejadian aneh yang terjadi saat ia bermeditasi. Namun, ia memilih untuk tidak bertanya lebih jauh. Ayahnya terlihat enggan membahasnya, dan Sora tahu betul bahwa jika ayahnya belum siap memberikan jawaban, maka memaksa hanya akan sia-sia.
Mereka berjalan menyusuri jalan setapak yang membelah hutan, menuju desa kecil yang menjadi rumah mereka. Sora menikmati perjalanan itu—suara gemerisik dedaunan, aroma tanah lembab setelah salju mencair, dan cahaya senja yang merambat di antara pepohonan.
Saat mereka hampir mencapai desa, suara gemuruh samar mulai terdengar dari kejauhan. Bukan suara alam, melainkan suara manusia—tawa kasar, dentingan gelas, dan suara gaduh yang mengganggu ketenangan sore.
Ketika mereka memasuki jalan utama desa, Sora segera melihat sumber suara itu.
Di depan sebuah kedai kecil yang mulai menyalakan lentera malamnya, sekelompok pria berkumpul dalam lingkaran. Mereka terlihat seperti pendekar—dengan pakaian tempur yang sedikit lusuh, senjata yang tersandang di pinggang atau disandarkan di meja, serta ekspresi sombong yang khas dari orang-orang yang terbiasa menghadapi bahaya.
Beberapa di antara mereka tertawa keras, sementara yang lain menikmati minuman mereka dengan tenang. Namun, ada sesuatu yang terasa ganjil.
Di sisi lain jalan, di lapak dagang keluarga Liliane, Lilian dan ayahnya sedang merapikan barang dagangan mereka, bersiap untuk menutup lapak.
Di depan lapak, kedua pengawal keluarga Liliane berdiri dalam formasi yang jelas-jelas bukan posisi santai. Mata mereka tajam, mengawasi setiap gerakan para pendekar di kedai dengan kewaspadaan tinggi.
Sora merasakan ketegangan di udara.
Ia melirik ayahnya, berharap mendapatkan jawaban, tetapi ekspresi Abirama tetap datar. Seolah-olah ini bukan urusannya.
Liliane yang melihat kedatangan Sora tersenyum tipis, lalu kembali membereskan beberapa kantong berisi biji-bijian.
Sora segera menghampirinya.
"Lilian," panggilnya.
Lilian menoleh dan tersenyum lebih lebar. "Oh, Sora. Kau baru pulang?"
"Iya," jawab Sora, lalu melirik sekilas ke arah kedai. "Siapa mereka?"
Lilian berhenti sejenak, lalu ikut melirik ke arah kedai dengan ekspresi yang sulit diartikan. "Aku tidak tahu pasti," katanya akhirnya. "Tapi mereka datang sejak tadi siang. Sepertinya orang-orang dari luar desa."
Sora mengangkat alis. "Seorang Pendekar?"
Liliane menggeleng. "Entahlah. Tapi sejak mereka datang, Paman Kouji dan Kyohei jadi lebih waspada. Bahkan ayah memintaku untuk segera pulang lebih awal."
Sora mengerutkan kening. Ia tahu ayah Lilian bukan orang yang mudah khawatir. Jika beliau sampai meminta Lilian pulang lebih awal, berarti ada sesuatu yang benar-benar mengkhawatirkan.
"Tapi..." Liliane menundukkan suara, menatap Sora dengan sedikit keraguan. "Ada sesuatu yang aneh dari mereka."
Sora menatapnya dengan penuh minat. "Maksudmu?"
Lilian menggigit bibirnya, seolah ragu untuk mengatakan sesuatu. "Mereka... tidak hanya datang untuk minum atau beristirahat," ucapnya pelan. "Aku mendengar mereka menanyakan sesuatu tentang pengiriman barang ayah."
Sora semakin penasaran. "Apa yang mereka tanyakan?"
Lilian ragu sejenak sebelum menjawab, "Mereka ingin tahu kapan pengiriman berikutnya akan dilakukan dan ke mana tujuannya. Ayah bilang mereka tidak terlihat seperti pelanggan biasa. Cara mereka bertanya... seperti sedang menyelidiki sesuatu."
Sora kembali melirik ke arah kedai.
Di sana, salah satu pendekar—seorang pria tinggi dengan rambut acak-acakan dan bekas luka di pipinya—membanting cangkir kayunya ke meja dengan suara nyaring. "Hah! Jadi ini desa terpencil yang katanya punya banyak harta tersembunyi?!" serunya, tertawa kasar. "Aku cuma melihat petani dan pedagang biasa di sini!"
Beberapa temannya tertawa, tetapi ada yang hanya diam, memperhatikan keadaan di sekitar mereka dengan sorot mata tajam.
Salah satu dari mereka, seorang pria dengan mata sipit dan senyum dingin, menoleh ke arah Sora dan Lilian. Tatapannya penuh selidik, seolah menimbang sesuatu.
Sora merasakan bulu kuduknya meremang.
Lilian ikut melihat pria itu dan segera berbisik, "Kita jangan terlalu lama di sini."
Sora mengangguk, tetapi pikirannya masih dipenuhi berbagai pertanyaan. Siapa sebenarnya orang-orang ini? Dan mengapa mereka tertarik pada urusan keluarga Liliane?
Sementara itu, Kouji dan Kyohei tetap diam di tempat mereka, tetapi tangan mereka perlahan bergerak ke gagang senjata masing-masing.
Malam semakin mendekat. Sesuatu terasa tidak benar.
Sora tetap berdiri di dekat lapak Lilian, sesekali melirik ke arah kedai tempat para pendekar berkumpul.
Suasana di sana semakin ramai, gelas-gelas kembali dituang dengan minuman keras, dan obrolan kasar mereka menggema di sepanjang jalan desa yang mulai sepi.
Abirama, yang sejak tadi diam, melangkah ke depan tanpa banyak bicara. "Sora, kita pulang."
Nada suaranya datar, tetapi Sora bisa merasakan perintah yang tidak bisa dibantah. Ia mengangguk ke arah Lilian, lalu mengikuti ayahnya menyusuri jalanan desa yang mulai diselimuti bayangan malam.
Sora mengikuti langkah ayahnya dengan diam, meskipun pikirannya terus mengulang percakapan di kedai. Saat mereka melintasi jalan utama, suara tawa dari para pendekar masih terdengar, tetapi kali ini lebih merendah—seperti sengaja dibuat agar bisa didengar oleh mereka.
“Hei, lihat pedang itu.” Suara pria dengan bekas luka di pipinya terdengar nyaring, diikuti dengan dengusan meremehkan. “Itu bukan pedang biasa, kan?”
Salah satu dari mereka, pria bermata sipit yang sebelumnya mengamati Sora, menyandarkan tubuhnya ke meja dengan gerakan malas. “Menarik,” katanya sambil tersenyum tipis. “Sedari siang ku perhatikan, tak ada orang di desa ini yang membawa senjata sebagus itu.”
Sora melirik sekilas ke arah ayahnya, tetapi Abirama terus berjalan tanpa menunjukkan reaksi. Ia tidak menoleh, tidak melambat, dan tidak mengucapkan satu kata pun.
Pria dengan bekas luka itu tampak tidak puas dengan sikap diam Abirama. “Oi! Aku sedang berbicara padamu!” katanya dengan nada lebih keras, tetapi Abirama tetap tidak menggubris.
Kouji yang sejak tadi mengamati dari dekat akhirnya melangkah maju sedikit, posisinya berubah lebih tegas. Kyohei juga merapat, tangannya perlahan bergerak ke gagang pedangnya.
Sora bisa merasakan ketegangan semakin meningkat, tetapi Abirama tidak terprovokasi sedikit pun. Tanpa berkata-kata, ia terus berjalan melewati kedai, seakan-akan para pendekar itu hanyalah angin lalu yang tidak layak diperhatikan.
Pria bermata sipit itu menahan rekannya dengan satu gerakan tangan. “Sudahlah,” katanya, senyumnya masih melekat. “Kita tidak perlu buru-buru.”
Pria dengan luka di pipi menggeram, tetapi akhirnya membiarkan mereka berlalu.
Saat mereka menjauh, Sora mencuri pandang ke arah ayahnya. “Mereka jelas memperhatikan pedang ayah” gumamnya pelan.
Abirama tetap diam. Kemudian, ia melangkah lebih dulu, lalu berhenti sejenak di dekat sebuah pohon besar yang berada tidak jauh dari rumah mereka.
Tanpa suara, ia melepaskan pedangnya dari punggung dan menyembunyikannya di balik akar besar yang tersembunyi di bawah bayangan pohon. Gerakannya cepat dan terlatih, seolah ini bukan pertama kalinya ia melakukan hal tersebut.
Setelah memastikan pedangnya tersimpan dengan baik, Abirama melanjutkan langkahnya.
Begitu mereka tiba di rumah, Kimiko sudah menunggu di depan pintu. Mata tajamnya langsung mengamati ekspresi suami dan anaknya. “Apa yang terjadi?” tanyanya pelan, namun tegas.
Abirama masuk lebih dulu, sementara Sora mengikuti dari belakang. Setelah menutup pintu, Abirama akhirnya menjawab, “Ada sekelompok pendekar yang berkumpul di kedai. Mereka tidak berasal dari desa ini.”
Kimiko mengangkat alis, lalu melirik Sora, seolah meminta penjelasan lebih lanjut.
“Mereka terlihat tertarik dengan keluarga Liliane,” ujar Sora, masih mengingat percakapan dengan Lilian. “Mereka menanyakan tentang pengiriman barang ayahnya, dan Lilian bilang mereka tidak terlihat seperti pelanggan biasa.”
Kimiko menyipitkan mata. “Mereka hanya bertanya, atau ada tanda-tanda lain?”
Sora menggeleng. “Aku tidak tahu pasti. Tapi, Paman Kouji dan Kyohei terlihat lebih waspada dari biasanya.”
Abirama menyandarkan tubuhnya ke dinding, menatap Kimiko sejenak sebelum berkata, “Jika mereka memang hanya orang asing yang mampir, kita tak perlu khawatir. Tapi kalau mereka punya tujuan lain, kita harus lebih berhati-hati.”
Kimiko menyilangkan tangan di dada. “Aku ingin kalian tidak terlibat dengan mereka.”
Meski hatinya sedikit menolak, Sora akhirnya mengangguk. "Baik, ibu."
1. Disiplin >> Lulus.
2. .... ?
Lanjut thoorr!!! /Determined//Determined/