Alexa tidak pernah menyangka hidupnya akan berubah dalam satu malam. Tanpa pilihan, ia harus menikah dengan Angkasa-pria yang nyaris asing baginya. Bukan karena permintaan keluarga, bukan pula karena cinta, tetapi karena sebuah alasan yang tak bisa dijelaskan.
Alexa terjebak dalam kehidupan yang tak pernah ia inginkan, tapi semakin ia mencoba memahami pria itu, semakin banyak hal yang tak masuk akal dalam pernikahan mereka.
Di balik sorot mata tajam Angkasa, ada sesuatu yang tersembunyi. Sebuah kebenaran yang perlahan mulai terungkap. Saat Alexa mulai menerima takdirnya, ia menyadari bahwa pernikahan ini bukan sekadar ikatan biasa-ada janji yang harus ditepati, ada masa lalu yang belum selesai.
Namun, ketika semuanya mulai masuk akal, datanglah pilihan: bertahan dalam pernikahan yang penuh teka-teki atau melepaskan segalanya dan menghadapi konsekuensinya.
Di bawah langit yang sama, akankah hati mereka menemukan jalan untuk saling memahami? Atau pernikahan ini hanya menjadi awal da
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon vin97, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Awal Pertemuan
Angkasa menatap kosong ke luar jendela mobil yang membawa keluarganya menuju Jakarta. Kota besar itu tampak begitu sibuk, dengan hiruk pikuk yang tak ada habisnya. Angkasa merasa cemas. Baru sebulan yang lalu, ia bersama ayah dan ibunya meninggalkan Bandung, kota yang telah ia kenal selama sepuluh tahun. Kini, mereka harus memulai hidup baru di Jakarta, tempat yang asing baginya.
Sesampainya di sekolah baru, Angkasa merasa semakin terasing. Dia bukan tipe anak yang mudah bergaul. Ia lebih memilih duduk sendirian di sudut kelas, membaca buku, atau menulis sesuatu di buku catatannya daripada bermain dengan teman-temannya. Ayahnya selalu berkata bahwa ia harus bisa beradaptasi dengan lingkungan barunya, namun Angkasa merasa tidak ada yang menarik untuk dijelajahi.
Suatu hari, di waktu istirahat, Angkasa duduk di bangku taman sekolah, membaca buku yang baru ia beli beberapa hari lalu. Ia ingin melupakan perasaan asing yang terus mengganggu pikirannya. Namun, tiba-tiba suara seorang anak perempuan menyapanya.
“Hey, buku apa yang kamu baca?” suara itu lembut, namun penuh rasa ingin tahu.
Angkasa mengangkat pandangannya sejenak, dan melihat seorang gadis berdiri di depannya. Gadis itu tersenyum ramah, matanya cerah dan penuh semangat. Angkasa hanya melirik sekilas, tidak menggubrisnya.
“Apa kamu tidak punya teman?” tanya gadis itu lagi, suara penuh rasa ingin tahu.
Angkasa menggelengkan kepala pelan dan kembali menunduk, mencoba fokus pada bukunya. Ia merasa tak nyaman dengan kehadiran gadis itu, merasa seolah ada sesuatu yang mengganggu dunia kecilnya yang penuh dengan buku dan kesendirian.
Namun gadis itu tetap tidak pergi. “Aku Alexa, dan aku bisa jadi temanmu kalau kamu mau. Kamu kelihatan sangat serius, nggak pernah main sama yang lain.”
Angkasa tetap diam, berusaha mengabaikan gadis itu. Tapi Alexa tidak mundur. Dengan perlahan, ia duduk di bangku sebelah Angkasa, masih tersenyum.
“Kenapa kamu di sini sendirian?” tanya Alexa dengan penasaran.
Angkasa merasa risih. Ia hanya ingin menikmati waktunya sendiri tanpa gangguan. “Aku tidak butuh teman,” jawabnya singkat, masih dengan suara rendah.
Alexa terdiam sejenak, tetapi senyumnya tidak hilang. Ia mencoba membaca ekspresi wajah Angkasa yang masih tak menunjukkan minat pada percakapan mereka. Namun, ia merasa ada sesuatu yang bisa ia lihat di balik sikap pendiam itu—sesuatu yang butuh teman untuk menyadarinya.
“Aku paham,” kata Alexa, “Tapi teman itu nggak selalu harus mengganggu. Kadang-kadang, kita cuma butuh seseorang yang mau ada, meskipun nggak banyak bicara.”
Angkasa mengangkat pandangannya lagi, kali ini sedikit lebih lama. Alexa tidak tampak seperti anak-anak lain yang selalu mencari perhatian. Dia hanya duduk di sebelahnya, menunggu tanpa memaksakan diri. Ada sesuatu dalam diri Alexa yang membuat Angkasa merasa sedikit lebih tenang, meskipun ia masih merasa canggung.
Beberapa hari berlalu, dan meskipun Angkasa tetap memilih duduk sendiri, Alexa selalu berusaha menyapa dan duduk di dekatnya. Tidak ada paksaannya, hanya percakapan kecil yang tidak terasa mengganggu. Alexa bercerita tentang hal-hal sederhana, tentang film yang ia tonton, atau tentang apa yang terjadi di sekolah. Lambat laun, Angkasa mulai terbiasa dengan kehadirannya, meskipun ia belum bisa benar-benar membuka diri.
Suatu sore, saat bel tanda pulang berbunyi, Alexa mendekati Angkasa yang duduk di bangku taman seperti biasa.
“Aku nggak ngerti kenapa kamu lebih suka sendirian, Angkasa. Tapi, kalau suatu saat kamu butuh teman, aku ada kok,” kata Alexa dengan tulus, sebelum ia bangkit dan melangkah pergi.
Angkasa menatap punggung Alexa yang menjauh, pikirannya kosong sejenak. Ia merasa sedikit bingung, tetapi ada perasaan hangat yang mulai muncul dalam hatinya. Perasaan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya—rasa percaya yang mulai tumbuh. Mungkin, hanya mungkin, dunia ini memang bisa jadi lebih baik jika ada seseorang yang mau berbagi.
Hari-hari berikutnya, Angkasa mulai membuka sedikit hatinya. Tidak lagi menutup diri sepenuhnya. Ia tak lagi menghindari Alexa, dan terkadang mereka mulai berbicara lebih banyak. Alexa tidak memaksanya, namun keberaniannya untuk mendekat, untuk menjadi teman tanpa mengharapkan lebih, perlahan mengubah cara pandang Angkasa terhadap dunia.
Pada akhirnya, mereka menjadi teman baik. Teman yang saling mengerti, meski tak selalu harus berbicara banyak. Angkasa menyadari bahwa kadang, memiliki seseorang yang mengerti tanpa harus banyak kata, adalah hal yang paling berarti. Dan Alexa, dengan cara yang sederhana namun penuh ketulusan, telah mengubah cara Angkasa melihat dunia—dunia yang tak selalu harus dijalani seorang diri.
--
Alexa menatap Angkasa yang mencoba menghentikannya.
"Kau akan pulang jam berapa jika berjalan kaki ?"
"Jangan keras kepala Alexa " ucap Angkasa.
Alexa berbalik dan menatap Angkasa.
"Siapa kau ? Kenapa kau berbicara seolah mengenali ku ?" Tanya Alexa.
Angkasa terdiam, ia menatap Alexa dengan dalam,hingga keheningan terasa diantara keduanya.
"Berhenti bersikap baik padaku setelah apa yang kau lakukan sekarang kau bersikap membantu ?" Ucap Alexa.
Drtt. Ponsel Alexa bergetar, sebuah pesan ojek online ia terima, hanya beberapa saat ojek online itu datang.
"Mbak Alexa ?" Tanyanya.
"Iya saya" ucap Alexa segera menaiki motor itu dan pergi.
Angkasa sendiri terdiam disana,mematung tanpa menahan Alexa kembali.
Sesuatu hal terjadi diantara keduanya, Alexa tak ingin pernah berteman baik dengan Angkasa, sedangkan Angkasa seolah menyimpan luka yang tak ia jelaskan terbuka sehingga menimbulkan kesalahpahaman diantara keduanya.
--
Alexa berjalan dengan hati-hati, memastikan setiap langkahnya tidak menimbulkan suara yang bisa mengganggu ketenangan malam. Pikirannya penuh kekhawatiran. Ia telah meminta ojek online untuk berhenti cukup jauh dari rumah, jauh dari perhatian ibunya maupun kakaknya. Tak ingin mereka tahu tentang kepergiannya malam itu.
Sesampainya di depan rumah, Alexa membuka pintu dengan perlahan, berharap tak ada suara berisik yang keluar. Namun, ia terkejut begitu melihat Nabila, kakaknya, sedang duduk di ruang tamu dan menatap ke arahnya.
"Kak.." suara Alexa bergetar, tidak bisa menahan rasa terkejutnya.
Nabila hanya diam sejenak, lalu mengajukan pertanyaan yang langsung membuat Alexa merasa gelisah. "Darimana kau?"
Alexa buru-buru memberi isyarat agar kakaknya lebih pelan berbicara. "Pelankan suaramu, kak," katanya dengan nada pelan, "Aku hanya keluar sebentar."
Namun, Nabila bisa melihat bahwa ada yang tidak beres. Ia bisa merasakan ada sesuatu yang disembunyikan oleh Alexa, tapi ia tak ingin mendesak lebih jauh. Dengan tatapan yang sulit dipahami, Nabila memutuskan untuk berdiri dan pergi tanpa banyak bicara.
"Kakak mau kemana malam begini?" Alexa mencoba bertanya, ingin tahu lebih banyak, namun Nabila tidak menggubris pertanyaannya. Ia hanya melangkah pergi, meninggalkan Alexa dalam kebingungannya.
Alexa merasa semakin cemas, tetapi baru saja ia merasa sedikit lega, suara ibunya memanggil dari ruang dalam. "Alexa."
Kaget, Alexa segera menoleh dan melihat ibunya berdiri di ujung tangga. Wajah ibunya tampak murung, seolah ada beban yang berat.
"Ibu?" jawab Alexa dengan suara cemas, mencoba untuk tidak menunjukkan ketegangan yang dirasakannya.
Ibunya menatapnya dengan tatapan penuh pertanyaan, seakan sudah mengetahui ada yang salah. "Nabila keluar lagi?" tanya ibu dengan nada datar namun penuh makna.
Alexa terdiam. Ia tidak tahu apa yang harus dijawab. Wajah ibunya tampak sedih, seperti memendam kecemasan yang dalam. Mungkin ibunya sudah tahu, atau setidaknya merasa ada yang tidak beres dengan Nabila. Tapi Alexa bingung, ia tak ingin menambah beban pikiran ibunya dengan kebohongannya. Namun, ia juga tak tahu bagaimana harus menjelaskan semuanya.
Dalam keheningan itu, raut wajah ibunya yang murung semakin terlihat jelas. Alexa merasa semakin terjebak di antara dua kebenaran yang tak ingin dihadapi: kepergian kakaknya dan kebohongannya sendiri.
To be continued