Ketukan palu dari hakim ketua, mengakhiri biduk rumah tangga Nirma bersama Yasir Huda.
Jalinan kasih yang dimulai dengan cara tidak benar itu, akhirnya kandas juga ... setelah Nirma dikhianati saat dirinya tengah berbadan dua.
Nirma memutuskan untuk berjuang seorang diri, demi masa depannya bersama sang buah hati yang terlahir tidak sempurna.
Wanita pendosa itu berusaha memantaskan diri agar bisa segera kembali ke kampung halaman berkumpul bersama Ibu serta kakaknya.
Namun, cobaan datang silih berganti, berhasil memporak-porandakan kehidupannya, membuatnya terombang-ambing dalam lautan kebimbangan.
Sampai di mana sosok Juragan Byakta Nugraha, berulangkali menawarkan pernikahan Simbiosis Mutualisme, agar dirinya bisa merasakan menjadi seorang Ayah, ia divonis sulit memiliki keturunan.
Mana yang akan menang? Keteguhan pendirian Nirma, atau ambisi tersembunyi Juragan Byakta Nugraha ...?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cublik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 05
“Walaikumsalam, Nak ini Mamak!” beritahu suara di ujung sana.
“Mamak apa kabar? Lagi dimana, kok ada sinyal?” tanyanya lirih takut membangunkan sang buah hati.
Nirma beranjak dari tempat tidur, membuka pintu kamar dan perlahan menutup lagi, netranya melihat Wak Sarmi yang tidur di ruang tamu beralaskan tilam. Ia memilih ke halaman belakang, duduk pada kursi kayu panjang yang bercahaya kan lampu belakang rumah.
“Mak, semuanya baik-baik saja ‘kan? tanyanya ingin memastikan kala tidak terdengar jawaban diseberang sana.
“Alhamdulillah baik,” ucap Mak Syam, ibunya Nirma, dengan nada tidak begitu menyakinkan.
“Nirma … Mbak mu sudah melahirkan,” terdengar nada bahagia, yang langsung menular ke putri bungsunya.
“Alhamdulillah, keponakan Ima cewek-cewek, apa cowok-cowok, Mak?” tanyanya antusias, ingin sekali mengetahui jenis kelamin bayi kembar Kakaknya. “Tapi, mengapa cepat sekali, Mak? Bukankah perkiraan dokter 2 atau 3 minggu lagi?”
“Iya Nak, Mbak mu melahirkan dadakan secara caesar di rumah sakit kota kecamatan. Kedua bayinya laki-laki. Nirma, ada yang ingin Mamak sampaikan.”
‘Mengapa perasaanku tak enak?’ detak jantungnya menjadi lebih cepat, apalagi mendengar nada ragu sang ibu.
“Sebetulnya ada apa? Dari tadi suara Mamak seperti menyembunyikan sesuatu, ingin memberitahu tapi ragu-ragu.” Nirma lebih erat lagi menggenggam ponselnya.
Terdengar helaan napas kasar nan panjang di ujung sana, menambah rasa cemas Nirma.
“Sebetulnya kelahiran si kembar disebabkan oleh mantan suamimu. Yasir hampir melecehkan Mbak mu Mala, untung saja suaminya cepat datang, kalau tidak … Mamak tak bisa membayangkan bagaimana nasib mereka,” suara Mak Syam terdengar bergetar.
“Astagfirullah.” Nirma membekap mulutnya, buliran air mata langsung mengalir deras, dengan nada bergetar ia mencoba berbicara. “Tolong ceritakan kronologinya Mak!”
“Mbak mu dan warga desa kita, pergi kondangan di kampung mantan suamimu, terus Mala kebelet buang air kecil, pergilah dia seorang diri ke kamar mandi yang letaknya jauh dari rumah si punya hajatan, begitu keluar … ternyata laki-laki bejat itu telah menunggu dan ingin melakukan hal tak senonoh.”
‘Badjingan kau Yasir! Benar-benar Keparat dirimu, sudah tak waras! Isi otakmu hanya selangkangan!’ tak sudah-sudah batin Nirma merutuk, memaki mantan suaminya.
“Nirma … Ima, kau dengar Mamak ‘kan?”
“Iya Mak.” Nirma menghapus kasar air matanya. “Lalu, Mbak Mala dan bayinya baik dan sehat ‘kan Mak?”
“Alhamdulillah sehat. Tapi, Mamak bingung Nak. Kalau misalkan Yasir dipenjara, kasihan Kamal nantinya, akan dicap anak narapidana.”
Deg.
Hati Nirma seperti disayat benda tajam, pikirannya menjadi bercabang, apa yang baru saja dikatakan oleh ibunya bagaikan anak panah menghujam dadanya.
“Mak ….” panggilnya lirih, mencoba untuk tegar serta berbesar hati. “Jangan pikirkan Kamal, Ima bisa mengatasinya! Bila bang Agam ingin memproses Yasir, karena tidak terima istrinya nyaris dilecehkan dan dicelakai, lakukan saja! Tuntut laki-laki biadab itu sampai dia mendapatkan hukuman setimpal!”
“Kau yakin?” suara Mak Syam terdengar parau, sudah dapat dipastikan ibu beranak dua itu tengah menangis. Wajar bila ia bingung, satu sisi mendukung penuh tindakan sang menantu, tapi dia juga meratapi nasib cucunya yang lain, Kamal.
“Sangat yakin Mak!” jawabannya tidak selaras dengan kata hati dan deraian air mata.
Beberapa menit kemudian panggilan di tutup, sang ibu beserta keluarga besan, malam ini akan menginap di rumah sakit kota kecamatan.
Nirma termenung seorang diri, menatap rembulan tidak ditemani ribuan bintang.
“Ya Allah, cobaan apa lagi ini?” tanyanya pilu dengan bahu bergetar.
“Apa boleh wanita hina ini meminta ya Tuhan? Kalau bisa, tolong cukup hamba saja yang Engkau hukum atas segala dosa masa lalu, tapi hamba mohon! Jangan Kamal ya Rabb.” Nirma tergugu, ia menaikkan lutut, menyembunyikan wajahnya di kedua paha.
“Apa aku bisa kuat melalui semua ini? Kepada siapa harus mengadu? Tak mungkin terus-terusan membebani keluargaku. Apa aku terima saja lamaran Juragan Byakta?” tanyanya pada diri sendiri.
Namun, logikanya langsung menepis keinginan terakhir itu. “Pernikahan bukanlah solusi, yang ada malah menambah masalah dikemudian hari. Apalagi alasan menikah lagi hanya dikarenakan ingin memiliki pelindung dan lari dari masalah. Aku tak boleh menjadi sosok pengecut lagi, sudah cukup kebodohanku di masa lalu.”
Nirma menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangan. “Ya Allah, semoga hamba bisa tetap teguh memegang pendirian, tak goyah karena keadaan. Cukup Kamal saja laki-laki dalam hidup hamba, jangan sampai ada sosok dewasa.”
Wanita bergelar ibu itu masih duduk sendirian, hatinya gundah gulana, gesture tubuhnya terlihat gelisah, tak dapat dipungkiri kalau dirinya dilanda kekhawatiran. Takut bila sampai ada yang mengetahui tentang mantan suaminya.
"Ya Rabb, hamba mohon tutuplah aib dia sebagai Engkau menyembunyikan aib hamba yang hamil diluar nikah, agar Kamal tak mendapatkan julukan mengerikan ya Allah."
Dapat dibayangkan olehnya, bagaimana jika lingkungan tempat tinggal dan kerja mengetahui kisah kelamnya, hamil diluar nikah, ditambah sekarang mantan suaminya seorang narapidana. Bukan hanya dirinya yang akan diserang, sang putra pun pasti terkena imbasnya. Bila cuma ia yang dihujat, maka masih bisa di tahan, tapi tidak dengan buah hatinya.
.
.
Pagi hari.
“Ima … Nirma! Kau tak berangkat kerja?” Wak Sarmi menggedor pintu kamar, waktu sudah menunjukkan pukul setengah 7, tidak biasanya majikannya itu terlambat bangun.
Kelopak mata berbulu mata lentik itu terlihat mulai mengerjap, sosok yang ia dekap hangat pun menggeliat, bukan cuma Nirma yang bangun, sang putra juga ikut terjaga.
"Selamat pagi anak, Ibuk." Ia mengecup pucuk kepala Kamal, bayi tampannya begitu baik budi. Jarang menangis kala bangun tidur, lebih sering mengoceh sendiri menunggu ibunya membuka mata.
"Pintarnya anak Ibuk." Semakin mengeratkan dekapan, menenggelamkan sang buah hati ke dadanya. "Hari ini main ke taman kota yuk!"
Seolah mengerti, bayi berbadan gemuk itu tertawa, yang mana giginya terlihat jelas dari celah bibir sumbing nya.
Nirma langsung beranjak, mengendong samping Kamal, begitu pintu kamar dibuka, Wak Sarmi langsung mengambil alih bayi ceria itu.
"Cucu Nenek, mandi yuk! Jangan macam ibumu, pemalas betul. Ayam telah berkeliaran mencari makan, ia belum jua bangun. Nanti rezekinya dipatok Ayam, baru tahu rasa," gerutunya bercanda.
Nirma hanya menanggapi dengan senyum masam. "Wak, biar Kamal mandi dengan Ima saja! Uwak siap-siap ya, sebentar lagi kita ke taman kota."
Wak Sarmi berhenti melangkah, ia berbalik badan. "Kau bolos kerja? Ada yang mengganggu mu lagi? Atau sudah terjadi sesuatu di kampung?"
"Sepertinya Uwak sangat cocok menjadi seorang paranormal, tebakannya lebih banyak betulnya dari pada meleset," Nirma terkekeh geli, yang langsung dibalas dengusan wanita berambut hitam campur uban, digelung rapi.
Tok.
Tok.
"Siapa yang datang pagi-pagi begini?" tanya kedua wanita itu serempak, dengan kening berkerut.
.
.
Bersambung.
restu dah dikantongi tinggal gasssss polllll resepsi yeeeeeeeee
Gak tahu aja mereka, kalau juragan Byakta dan Aji sudah mepersiapkan seminggu sebekum hari H.nya.