Niat hati, Quin ingin memberi kejutan di hari spesial Angga yang tak lain adalah tunangannya. Namun justru Quin lah yang mendapatkan kejutan bahkan sangat menyakitkan.
Pertemuannya dengan Damar seorang pria lumpuh membuatnya sedikit melupakan kesedihannya. Berawal dari pertemuan itu, Damar memberinya tawaran untuk menjadi partnernya selama 101 hari dan Quin pun menyetujuinya, tanpa mengetahui niat tersembunyi dari pria lumpuh itu.
"Ok ... jika hanya menjadi partnermu hanya 101 hari saja, bagiku tidak masalah. Tapi jangan salahkan aku jika kamu jatuh cinta padaku." Quin.
"Aku tidak yakin ... jika itu terjadi, maka kamu harus bertanggungjawab." Damar.
Apa sebenarnya niat tersembunyi Damar? Bagaimana kelanjutan hubungan Quin dan Angga? Jangan lupakan Kinara sang pelakor yang terus berusaha menjatuhkan Quin.
Akan berlabuh ke manakah cinta Quin? ☺️☺️
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arrafa Aris, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19
Empat puluh lima hari berlalu ....
Setelah kejadian malam itu, Quin seolah tak ingin ambil pusing. Ia bahkan bersikap biasa saja seolah tak terjadi apa-apa.
Ia hanya fokus pada karir juga perannya sebagai asisten pribadi Damar. Mengurus serta menemani pria itu menjalani terapi lanjutan di rumah sakit.
Meski kadang merasa lelah, sang designer tetap bersemangat karena Damar sudah banyak mengalami perkembangan. Kini, pria itu sudah bisa berjalan tanpa menggunakan kruk.
*****
QA Boutique ....
"Oh God, sudah jam berapa ini?" gumam Quin.
Ia beranjak dari kursi kerja kemudian berbaring di sofa. Meluruskan pinggangnya yang terasa pegal lalu memejamkan mata.
"Quin, kami cari makan dulu, ya," izin Al bersama Gisha dan Jihan.
"Hmm, jangan lupa beliin boba coklat," pesan Quin.
"Siap, Bu boss," kata Al.
Sepeninggal Al, Gisha dan Jihan, Quin malah tertidur. Beberapa menit berlalu, ia kedatangan tamu yang tak lain adalah Damar.
"Bisa-bisanya dia ketiduran," gumam Damar. Meletakkan paper bag makanan di atas meja, kemudian melepas jasnya menutupi paha Quin.
Ia berjongkok. Menatap lekat wajah gadis itu kemudian mengelus kepalanya dengan lembut.
"Quin," panggil Damar. Akan tetapi sang asisten tak merespon. "Dia pasti dia kelelahan."
Damar perlahan berdiri. Memilih duduk di kursi sambil memandangi hasil desain Quin. Namun, seketika terusik saat ponsel gadis itu bergetar. Ia melirik sekilas sekaligus membiarkannya begitu saja.
"By the Way, ke mana Al, Gisha juga Jihan?" gumamnya bertanya sendiri.
Damar kembali beranjak lalu berjongkok memanggil Quin beberapa kali.
"Damar," ucap Quin lirih sesaat setelah membuka mata. "Sudah lama?"
Damar hanya tersenyum lalu membetulkan kaca matanya. "Nggak juga. Bangunlah, aku membawakanmu makan siang."
Perlahan Quin merubah posisi menjadi duduk. "Makasih Mr. Brewok. Maaf sudah merepotkanmu," sesal Quin lalu memeluk pria itu. "Biarkan seperti ini sebentar saja.''
Damar bergeming sekaligus merasakan eratnya dekapan Quin. Jantungnya pun ikut berdetak kencang.
"Ada apa? Kenapa kamu seperti ini?" bisik Damar.
"Nggak apa-apa, aku hanya lelah dan butuh sedikit sandaran." Quin mengurai dekapannya. Setelah itu, ia mengeluarkan box makanan dari dalam paper bag.
Tak lama berselang, ponselnya kembali bergetar. Akan tetapi, ia hanya membiarkan saja benda itu
"Kenapa nggak diangkat?"
"Biarkan saja, nanti berhenti dengan sendirinya. Sudahlah, ayo kita makan. Kebetulan aku sudah lapar. By the way, thanks ya, Mr. Brewok," ucap Quin lalu tertawa.
Damar ikut tertawa merasa lucu. Panggilan itu sudah mulai melekat pada dirinya dari Quin.
Setelah selesai makan, Quin membereskan sisa-sisa box makanan lalu membuangnya ke dalam tong sampah.
"Damar, mau nggak aku buatkan kopi," tawar Quin.
"Nggak usah, lagian aku sudah kenyang," tolak Damar.
Hening sejenak ....
Dalam keheningan itu, Quin menatap lekat wajah Damar. Memperhatikannya dengan seksama sehingga membuat pria itu mengernyit.
Tangan Quin terangkat melepas kaca mata Damar. Mengusap bulu lebat di wajah pria itu lalu memintanya tersenyum.
"Ada apa? Kenapa menatapku seperti itu lalu memintaku tersenyum? Bukankah kamu sudah sering melihatku tersenyum?" tanya Damar merasa bingung.
"Ya, tapi, aku sangat terpesona saat kamu tersenyum apalagi tertawa lepas. Lesung pipi ini menolakku lupa," bisik Quin merasa gemas menyentuh kedua lesung pipi Damar.
'Ah, Al benar, jika diperhatikan, dia memang tampan. Damn! Quin, apa yang sedang kamu pikirkan,' batin Quin.
"Come on, Quin. Jangan menatapku seperti itu. Kamu membuatku salah tingkah saja," tegur Damar lalu menurunkan kedua tangan Quin dari wajahnya.
Quin tergelak kemudian berkata, "Sepulang kantor, mau ya, aku rapikan brewokmu ini sekaligus mencukur rambutmu. Kamu sudah seperti tarzan saja."
"Hmm, ledek saja terus. Yakin mau merapikan brewokku juga rambutku? Aku takut kamu akan jatuh cinta kepadaku setelah melihat perubahannya," bisik Damar merasa gemas.
Mendengar ucapan itu, tawa Quin semakin pecah sambil menggoyangkan kedua tangannya.
"Quin, Damar!" panggil Al yang baru saja tiba bersama Gisha juga Jihan. "Puas banget ketawanya. Apa yang lucu?"
"Nih, es boba pesananmu," timpal Gisha lalu meletakkan cup es boba coklat di atas meja sofa.
"Terima kasih." Quin melirik Damar. "Buat kamu dan bawa ke kantor saja," kata Quin lalu mengambil jas Damar di bahu sofa.
Sesaat setelah berada di parkiran, Quin memakaikan kembali jas itu kepada Damar.
"Sudah, kembalilah ke kantor. Sekali lagi makasih untuk makan siangnya."
"Sama-sama Quin. So, es bobanya aku bawa saja nih ke kantor?" kata Damar dan dijawab dengan anggukan oleh Quin. "Ya sudah, aku berangkat sekarang."
"Hmm ... hati-hati. Sampai bertemu di rumah." Begitu Damar masuk ke dalam mobil, ia melambaikan tangan.
Beberapa jam berlalu ....
Saat tengah fokus menatap layar laptop, Quin mendengus kesal saat seseorang memanggilnya. Pandangannya kini beralih ke depan.
"Ada apa?!" tanya Quin ketus sekaligus tetap bergeming di tempat.
"Kenapa nggak menjawab panggilan dariku?!" cecar Angga seraya menghampiri.
"Aku ketiduran," jawab Quin santai.
"Ketiduran atau asik berduaan dengan Damar?!"
"Jika iya, memangnya kenapa?"
Angga bergeming sembari memandangi sang tunangan. Ia menghela nafas lalu berkata, "Sayang, aku membawakanmu makan siang."
"Terima kasih. Sayangnya, aku sudah makan. Lagian, ini sudah lewat jam makan siang."
"Kalau begitu, temani aku makan," pinta Angga.
"Maaf, aku masih ada pekerjaan yang harus di selesaikan." Quin beranjak lalu ingin melangkah. Namun, Angga mencekal pergelangan tangan gadis itu.
"Please!" mohon Angga. Namun, Quin tetap menolak. "Sayang."
Quin melepas cekalan tangan Angga. Memilih turun ke lantai satu sekaligus bergabung dengan Al.
Emosi seketika menggerogoti segenap jiwa raga Angga lalu mengumpat, "What the fu*ck!"
Merasa percuma berada di situ, akhirnya ia menyusul ke lantai satu.
"Sayang," panggil Angga.
"Ada apa? Sudah selesai makannya? Kok, cepat banget," tanya Quin lalu menghentikan aktifitasnya sejenak.
"Nggak, aku nggak nafsu makan soalnya kamu nggak menemaniku."
"Lalu?"
"Aku akan kembali ke kantor saja."
Tak ada tanggapan dari Quin melainkan melanjutkan kembali aktifitasnya. Angga mengusap wajahnya disertai hela nafas kecewa.
"Sayang, apa kamu nggak mau mengantarku hingga ke parkiran?"
Quin menghela nafas lalu berbalik. Ada sedikit rasa iba di hatinya. "Ayo," ajak Quin.
Ia pun mengantar Angga hingga ke parkiran. Setelah kendaraan itu mulai menjauh, barulah Quin kembali ke butik.
"Maag-nya bisa kambuh jika dia melewatkan makan siangnya," gumam Quin merasa bersalah. "Sepulang kerja, sebaiknya aku ke apartemennya saja. Hitung-hitung untuk menebus rasa bersalahku tadi."
.
.
.
Sore harinya ....
"Quin, kami duluan, ya," izin Al, Gisha dan Jihan.
"Oke, sampai jumpa lagi besok," sahut Quin seraya melambaikan tangan.
Sepeninggal partnernya itu, Quin menghubungi Damar.
"Ya, Quin, ada apa?" tanya Damar dari seberang telefon.
"Damar, hari ini aku pulangnya agak malaman."
"Apa ada acara?" tanya Damar lagi.
"Nggak, aku ingin mampir sebentar ke apartemennya Angga," jawab Quin apa adanya.
"Oke, nggak masalah. Tapi, pulangnya jangan terlalu malam juga," pesan Damar."
"Siap, Mr. Brewok," kata Quin lalu memutuskan panggilan telefon.
Setelah dirasa sudah tak ada yang ketinggalan, Quin pun meninggalkan butik.
Sebelum benar-benar tiba di apartemen Angga, ia mampir sebentar di salah satu restoran untuk membeli makanan.
Setibanya di apartemen, Quin menatap nanar pintu unit Angga. Menekan password lalu membuka benda itu.
Sebelum ke kamar, ia meletakkan paper bag makanan di atas meja. Setelah itu, sang designer lanjut menapaki anak tangga menuju kamar.
Keningnya mengerut disertai dada yang tiba-tiba terasa sesak. Ia merasa seperti dejavu karena mendengar suara khas itu lagi.
"Oh God, aku merasa seperti dejavu." Quin mengusap pelan dadanya menahan sesak.
Sesaat setelah berada diambang pintu kamar, Quin menarik nafasnya dalam-dalam lalu bergumam, "Calm down, Quin."
Dengan tangan bergetar, ia memutar handle pintu. Seketika ia mematung menyaksikan adegan dewasa itu secara live.
...----------------...