Pernikahan yang didasari sebuah syarat, keterpaksaan dan tanpa cinta, membuat Azzura Zahra menjadi pelampiasan kekejaman sang suami yang tak berperasaan. Bahkan dengan teganya sering membawa sang kekasih ke rumah mereka hanya untuk menyakiti perasaannya.
Bukan cuma sakit fisik tapi juga psikis hingga Azzura berada di titik yang membuatnya benar-benar lelah dan menyerah lalu memilih menjauh dari kehidupan Close. Di saat Azzura sudah menjauh dan tidak berada di sisi Close, barulah Close menyadari betapa berartinya dan pentingnya Azzura dalam kehidupannya.
Karena merasakan penyesalan yang begitu mendalam, akhirnya Close mencari keberadaan Azzura dan ingin menebus semua kesalahannya pada Azzura.
"Apa kamu pernah melihat retaknya sebuah kaca lalu pecah? Kaca itu memang masih bisa di satukan lagi. Tapi tetap saja sudah tidak sempurna bahkan masih terlihat goresan retaknya. Seperti itu lah diriku sekarang. Aku sudah memaafkan, tapi tetap saja goresan luka itu tetap membekas." Azzura.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arrafa Aris, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 33 : Selalu saja kegelapan yang menyambutku ...
"Sayang, Nak Yoga ... berjanjilah pada ibu, jika kalian akan saling menyayangi dan saling mendukung walau apapun yang akan terjadi.
Ketahuilah Nak, kehidupan berumah tangga nggak selalu berjalan mulus. Kadang ada saja yang menjadi pemicu pertengkaran kecil, namun berusahalah bersikap bijak dalam menyelesaikan permasalahan itu. Apa kalian mengerti," tutur ibu menasehati keduanya.
Lagi-lagi Azzura dan Yoga saling berpandangan.
"Iya, Bu," jawab keduanya serentak.
Kamar rawat itu kembali hening sejenak. Baik Azzura maupun Yoga sama-sama larut dengan pikirannya masing-masing, menelaah kalimat penuh nasehat dari sang ibu.
Clek ...
Seketika keduanya tersadar lalu mengarahkan ekor matanya ke arah pintu yang terbuka. Tampak Farhan dan Aida dari balik pintu.
"Kalian sudah datang?" tanya Farhan dengan seulas senyum.
"Hmm ... dari tadi," jawab Yoga.
"Bu, bagaimana dengan kondisinya kesehatan ibu?" tanya Farhan.
"Seperti yang kamu lihat, Nak," jawab ibu dengan seulas senyum meski kondisinya semakin menurun namun ia tidak mau memperlihatkan jika ia masih menahan sakit.
"Oh ya, Kak. Kebetulan Kak Farhan dan Kak Aida ada di sini, kami berencana sekalian mengajak kakak weekend ke puncak nanti," terang Yoga sekaligus mengutarakan niatnya.
Farhan dan Aida saling berpandangan lalu menatap ibu dan Azzura kemudian Yoga.
"Apa kalian yakin?" tanya Aida.
"Ya," jawab Zu lalu terkekeh. "Lihatnya biasa saja dong, Kak. Kalian seolah menguliti kami saja," kelakar Zu.
Baik Yoga, Farhan, Aida dan ibu ikut tertawa lucu.
Dalam kebahagiaan yang kini mereka rasakan, ada kesedihan mendalam yang dirasakan ibu menatap senyum bahagia putrinya.
"Sayang ... teruslah tersenyum bahagia seperti itu. Sudah lama sekali sejak ibu mulai dirawat disini, senyum itu kembali terukir lepas di wajahmu. Maafkan ibu jika harus meninggalkanmu sewaktu-waktu. Kamu harus ikhlas, Nak," ucap ibu dalam batinnya
"Oh ya, sebaiknya kita makan bareng saja. Kebetulan kami beli makanan dengan porsi banyak seperti biasa," tawar Zu lalu turun dari ranjang.
Setelah itu ia dan Aida menata box makanan di atas meja, Sedangkan Yoga membantu ibu turun dari ranjang dan memindahkannya ke kursi roda.
Begitu selesai menata makanan, mereka pun makan bersama layaknya keluarga yang utuh. Lagi-lagi hati ibu menghangat, ia merasa seperti dikelilingi anak-anaknya.
"Ya Allah, aku seolah-olah seperti memiliki anak yang banyak. Farhan, Aida, Yoga mereka anak-anak yang baik."
Ibu begitu terharu melihat mereka satu persatu lalu tersenyum ditambah lagi Yoga dan Farhan yang saling melempar candaan bahkan tak segan menggoda Azzura dan Aida.
Setelah selesai menyantap makanan, mereka terlihat bersantai sejenak disertai obrolan kecil hingga azan magrib mulai terdengar, barulah Farhan dan Aida meninggalkan kamar rawat ibu.
Sepeninggal Farhan dan Aida, Azzura berpamitan lalu meraih paper bag mukenahnya.
"Yoga, aku titip ibu sebentar ya, aku ke mushallah dulu," izinnya.
"Baiklah," kata Yoga.
"Nak Yoga, ikutlah dengan Azzura, kalian shalat barengan saja, ibu nggak apa-apa sendiri," usul ibu lalu mengulas senyum menatapnya.
Melihat Yoga salah tingkah, Azzura kembali terkekeh lalu melempar candaan. "Suamiku, apa kamu nggak mau shalat bareng denganku?"
"Haaah ... andai saja aku beneran suamimu, tanpa kamu ajak, aku yang mengajakmu lebih dulu," batinnya sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
"Baiklah, kalau begitu aku dan Azzura tinggal Ibu sebentar ya," kata Yoga dan dijawab dengan anggukan kepala ibu.
Sesaat setelah berada di luar kamar rawat, Yoga meliriknya. "Syukurlah dia nggak seperti kemarin yang terlihat gelisah. Kehadiran kak Farhan dan Kak Aida cukup membantunya melupakan sejenak kegelisahannya."
**********
Sementara, Close masih saja betah di ruangan momy Liodra dan sejak tadi pula ia tampak merenung. Mungkin karena sudah lelah, akhirnya ia memutuskan pulang ke rumahnya.
Saat langkah kakinya melewati meja barista, ia melirik sejenak ke arah Nanda yang terlihat sibuk melayani pembeli.
Setelah itu, ia kembali melanjutkan langkahnya ke arah parkiran. Baru saja ia duduk di kursi kemudi, ponselnya bergetar. Dengan malas ia merogoh kantong celananya lalu menatap layar benda pipih itu.
"Laura," lirihnya lalu meletakkan ponselnya begitu saja di tempat khusus. Setelah itu ia mulai melajukan kendaraannya menuju rumahnya.
Di sepanjang perjalanan, pikirannya kembali larut memikirkan ucapan istri dan sahabatnya itu.
"Dari tatapan sahabatnya itu, terlihat banget jika dia membenciku. Sama halnya Azzura, gadis itu bukan hanya menatap benci tapi juga jijik padaku," desisnya.
Tak lama berselang, ponselnya kembali bergetar, ia pun kembali melirik benda pipih itu dan menghela nafas dengan kasar.
Entah mengapa ia pun seolah tak bergairah menjawab panggilan dari kekasihnya itu.
Sedangkan yang sedang menghubunginya merasa dibuat jengkel bukan kepalang.
"Close ke mana sih?!! Sejak tadi dihubungi nggak dijawab. Kenapa hari ini dia bersikap aneh setelah gadis barista itu keluar dari ruangannya," gerutunya dengan perasaan dongkol lalu melempar ponselnya ke atas kasur.
Sedetik kemudian, ia menyeringai mengingat ucapan Azzura yang menyarankan dirinya supaya menjebak kekasihnya itu.
"Aku rasa tidak ada salahnya mencoba. Toh ... istrinya sendiri yang menyarankan. Jika di lihat-lihat, sepertinya gadis barista itu memang nggak mencintai Close," gumamnya lalu menghempaskan tubuhnya ke atas ranjang.
Meninggalkan Laura yang kini tampak menimbang-nimbang rencananya, orang yang ada dalam benaknya kini sudah tiba di kediamannya.
Lagi-lagi Close menghela nafas kecewa ketika menatap rumahnya dari balik kaca depan mobil.
"Seperti biasa, selalu saja kegelapan yang menyambutku," desisnya lalu turun dari mobilnya menghampiri pintu rumah kemudian mengelus motor istrinya yang masih terparkir sejak kemarin.
Setelah membuka pintu, ia menghampiri saklar lampu lalu menyalakan semua lampu di kediamannya itu kecuali kamar Azzura karena lampu di kamar itu tak pernah Azzura matikan.
"Ternyata dia belum pulang juga, sebenarnya di ibunya itu di rawat?" gumamnya lalu menaiki anak tangga menuju kamarnya untuk membersihkan dirinya.
Beberapa jam berlalu tepatnya jam 22.00 ...
Karena merasa bosan berada di rumahnya sendirian, ditambah lagi Azzura tak kunjung pulang, akhirnya ia memutuskan ke Club malam.
Tak berselang lama ia meninggalkan rumah, Azzura dan Yoga baru saja tiba.
"Yoga, makasih ya," ucap Zu lalu ingin membuka pintu namun ia urungkan karena Yoga memanggilnya.
"Zu ... ingatlah untuk selalu bersikap tenang. Aku yakin kamu pasti bisa. Besok setelah pulang kerja, jangan lupa temui aku lagi untuk konseling," pesan Yoga. "Semangat demi ibu," lanjutnya menyemangati Azzura.
"Insya Allah ... sekali lagi makasih ya," ucapnya. "Ya sudah kamu lanjut pulang dan hati-hati di jalan."
Yoga hanya mengangguk lalu mengulas senyum. Setelah memastikan mobil Yoga menghilang, barulah ia menghampiri pintu rumah lalu menekan password.
Begitu pintu terbuka, Azzura pun melangkah masuk lalu mendaratkan bokongnya di sofa ruang tamu untuk beristirahat sejenak.
"Tumben dia nggak ada di rumah," desis Zu. "Pasti dia pergi dengan gundiknya itu lagi. Cih ... manusia laknat menjijikkan," umpat Zu lalu membaringkan tubuhnya di atas sofa empuk itu.
Mungkin karena merasakan lelah yang amat sangat, akhirnya ia malah tertidur di sofa itu dengan nyenyak.
Ia pun tak akan tahu apa yang akan terjadi dan apa yang akan suaminya lakukan padanya nanti sepulang dari club' malam.
❤️❤️❤️ Wanita kuat tidak akan mudah menyerah, dia mungkin pernah menyendiri, menangis atau bahkan seharian berada di tempat tidur. Tetapi ia tetap bangun dan berusaha tegar kembali. ❤️❤️❤️
...****************...
Jangan lupa masukkan sebagai favorit ya 🙏 Bantu like dan vote setidaknya readers terkasih telah membantu ikut mempromosikan karya author. Terima kasih ... 🙏☺️😘