Tentang keseharian seorang gadis biasa dan teman-temannya. Tentang luka.
Tentang penantian panjang, asa dan rahasia.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Alunara Jingga, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Penerimaan
Aku saat ini berada di salah satu kota di Jawa Barat. Aku bertemu orang-orang baik selama perjalananku beberapa waktu lalu. Dua gadis cantik dan menyenangkan, mereka yang kemudian memotivasiku menjadi pribadi lebih baik, Atikah dan Piga. Bersama mereka, aku perlahan menata hidupku. Aku tak membawa alat komunikasi satu pun. Aku mengabari keadaanku pada Mas Azis saja, itupun dengan ponsel Atikah, mewanti wanti agar tak menghubungi nomer Tika.
Pertemuan tak terencana kami terjadi di Stasiun Gubeng, aku yang saat itu bingung hendak melangkah kemana, dipertemukan dengan mereka yang baru pulang berlibur di kota pahlawan. Ributnya perdebatan mereka menarik perhatianku, mereka membahas liburan mereka selanjutnya. Satu orang ingin ke Bali satu lagi ingin ke Banyuwangi. Aku tertawa kecil, mereka mengingatkanku pada sosok Ryan dan Amri, mereka akan terus berdebat jika tak dilerai, takkan ada yang mau mengalah, dan tentu saja, mengingatkanku pada diriku sendiri dan Ojik. Aku meringis, kombinasi antara rindu dan jengkel.
"Kenapa nggak ke Lombok?" Aku mencoba masuk ke percakapan mereka, setengah berharap aku tak di timpuk karena sok kenal dan sok dekat.
Keduanya menoleh, bingung. "Hai, saya Ara. Maaf ya, nimbrung," tuturku seraya tersenyum dan mengulurkan tangan.
"Hai juga, aku Tika" gadis berkacamata dengan rambut panjang itu menyambut uluran tanganku.
"Aku Piga, panggil aja Piga. Kamu dari mana mau kemana?" tanya gadis satunya, ia bertubuh mungil dengan hijab menutup kepalanya. Benar-benar mengingatkanku akan sosok Rindu. Hatiku berdesir ngilu.
"Saya dari Lombok, entah mau kemana. Saya ga punya tujuan, cuma pengen jalan aja," jawabku.
Keduanya melongo seolah tak percaya, mungkin keduanya mengira aku orang gila yang kabur perawatan. Bagaimanapun, ini sudah menjelang magrib dan aku mengaku tak punya tujuan.
"Bisa gitu? Yaudah yok, ikut kita aja, ya gak, Pii?"
"Boleh aja sih kalo dianya ga keberatan," jawab Piga, aku mengangguk dan meminta tolong dipesankan tiket lewat aplikasi serta tak lupa memberikan uang sesuai jumlah ongkos yang tertera.
Kereta kami masih satu jam lagi, usai menjalankan kewajiban, kami berbicara tentang banyak hal, aku menceritakan keadaanku pada mereka. Entah mengapa, aku sangat percaya walau itu adalah pertemuan pertama kami.
"Ini mah ditinggal pas lagi sayang-sayangnya," celetuk Tika yang mendapat tepukan keras dari Piga, ia hanya meringis sedang aku tertawa keras.
"Ga apa, jangan ditampol, kasian. Lagian yang diucapin Tika bener kok" aku melerai mereka.
Kami meneruskan bercerita sembari menunggu jam keberangkatan, perjalanan kami selanjutnya akan lumayan lama, sepuluh jam. Ternyata mereka ini mahasiswi, tak satu kampus, namun kampus mereka berdekatan. Terdengar menyenangkan menjadi mahasiswa. Mereka terkejut karena aku tujuh tahun lebih tua dari mereka, aku bahkan sampai mengeluarkan kartu identitas.
"Sungkem kamu, Pii. Dari tadi nggak sopan bener kita jadi manusia." Tika menyikut lengan Piga, aku kembali tertawa. Sungguh, mereka ini mood booster.
"Yeeee emang cuma aku? Kamu juga sungkem yaa! Eh, tapi emang kamu manusia?"
"Sembarangan! Emang dikira apaan?! Kuda lumping?!" Tika bersungut.
Ingatanku kembali ke masa kini. Aku memandang persawahan didepanku, menghirup udara bersih tanpa polusi di pagi ini. Hari ini dua bulan sudah aku di tempat yang tak pernah terpikir olehku, bahkan membayangkan pun aku tak pernah. Minggu depan aku ada jadwal mengajar di salah satu perguruan tinggi negeri di daerah ini. Aku menerima tawaran Reyhan, ternyata Rey adalah tetangga sekaligus sepupu Piga. Saat pertama kali menjejakkan kaki di kampung asri ini, aku merasa tak asing dengan wanita paruh baya yang tengah menyapu halaman di rumah depan.
"Budeeee, Pii udah balik nih!" Piga tiba-tiba berlari memeluk wanita yang dipanggil bude itu.
"Assalamualaikum!" Sang Bude mencubit gemas pipi chubby Piga, sementara dia hanya nyengir.
"Waalaikumussalam, hehehe. Bude aku bawa temen lho, jomlo semua. Kali-kali A Rey jodohnya salah satu dari mereka." Aku mendelik sementara Tika sudah menoyor kepalanya.
Tunggu, A Rey? Reyhan? Ku pandangi sekali lagi wajah Bude, ah aku ingat sekarang.
"Ibuk? Ini Ara, Buk." Aku menyalami Ibuk yang ternyata langsung mengenaliku. Kami berbincang lama, aku mengatakan ingin mencari suasana baru, tanpa harus menceritakan semua masalah yang ingin ku lupakan. Sampai akhirnya beberapa hari lalu, Rey menawarkan menjadi dosen pengganti di salah satu PTN. Kakak iparnya mencari pengganti sementara karena akan mengajukan cuti melahirkan. Aku mengiyakan, karena memang sejalan dengan ilmu yang ku kuasai, matematika ekonomi.
Kampus yang akan menjadi tempat mengajarku ini termasuk dekat dengan kampus Piga dan Tika, dan kami sepakat untuk mengontrak satu rumah untuk ditinggali bertiga agar memudahkan mobilisasi kami. Dan selama dua bulan tinggal disini, aku seperti menemukan energi baru. Penampilanku pun berubah, aku yang identik dengan rambut pendek, jeans, kaos dan kemeja flanel, serta sepatu kets kini mulai menutup aurat.
Menelaah arti dari penerimaan dan ikhlas, mencoba untuk terus belajar menerima takdir dan jalan Tuhan. Ibuk yang menjadi guru pendidikan agama di sebuah sekolah menengah atas membimbingku dengan penuh kesabaran. Sifatku yang meledak-ledak memang terkadang kambuh, namun beliau dengan sabar terus membimbingku, pun dengan Tika dan Piga, selalu setia menjadi pendengar keluhku.
Di kaki gunung ini, aku menemukan kedamaian. Aku mengambil beberapa gambar dan berencana memasukkan ke blog jika saatnya nanti. Hari ini kami berencana mengunjungi rumah kontrakan yang ada di kota sana. Membereskan segala sesuatunya agar nyaman di tempati. Empat hari lagi mereka sudah mulai aktif memasuki semester baru, begitupun denganku. Namun, esok pagi aku sepertinya harus kembali ke Lombok, lusa pagi adalah akad Byan.
Aku tak mungkin melewatkan acara sakral sahabatku sendiri, walau tak dapat ku pungkiri, berbagai rasa sudah mulai bermunculan. Rindu, takut dan cemas, rasa takut lebih mendominasi, bagaimana bila aku tak bisa menahan diri?
Sejujurnya aku belum siap jika bertemu orang-orang yang ku sakiti sebelumnya, tapi untuk melewatkan acara sesakral itu, aku tak akan melakukannya. Terutama jika bertemu Mas Dwi, aku sadar telah begitu banyak menyakitinya, namun untuk berhadapan langsung dengannya, aku tak memiliki keberanian, bukan apa, aku takut jika bertemu dengannya akan memupuk kembali rasa yang belum hilang ini. Namun, aku pasrah.
Hari ini kami mulai berbenah, melengkapi apa yang dirasa kurang. Jika memungkinkan, sepertinya aku ingin menetap di kota pendidikan ini. Semuanya terasa menyenangkan disini, dan sungguh, aku menikmati hidupku tanpa gadget. Reyhan yang selalu ada saat dibutuhkan, Ibuk yang selalu memberi nasehat menyejukkan, Piga dan Tika yang selalu menghibur, lalu, apalagi yang harus ku cari? Hari menjelang senja, akhirnya semua tampak rapi dan bersih. Lepas magrib, kami duduk di gazebo kecil didepan rumah.
"Kalian serius ga mau ikut?" tanyaku pada dua makhluk tengil ini.
"Kita mah mahasiswa kismin, mana ada duit banyak buat pergi sehari doang," jawab Piga yang diiyakan oleh Tika, ini bocah dua udah macem kembar siam.
"Kalo mau hayu, biar tak bayari," ajakku.
"Nggak ah, cuma sehari mah buat apa? Mending tabung buat biaya idup kedepan. Eh tapi nih, Teh, aku mau nanya, kan selama disini Teteh ga kerja, tapi kok bisa duit ga abis-abis? Dapet warisan?" Tika dengan wajah polosnya bertanya, sedang Piga melotot.
"Astagfirulloh, gue kira mau nanya apaan, taunya ga penting." Ia menepuk lengan Tika dengan sepenuh hati.
"Hahahaa, saya lupa bilang ya? Sebelum kemari, saya ini tukang gambar baju. Dan modal nekat, saya sama teman nerima jasa jahit baju. Sekarang udah jadi butik, sebelumnya juga kan saya pernah kerja, Neng. Saya ga ada warisan, mama saya kan udah ga ada, sedang ayah, beliau tahu saya masih hidup aja udah Alhamdulillah banget. Saya tipe orang yang kalo belanja atau ngeluarin uang ya seperlunya aja, karena pernah ngerasain posisi ga punya uang sama sekali, puasa siang, berbuka cuma pake air keran pun pernah saya rasain, Neng. Tapi Alhamdulillah, Allah sayang sama saya, saya di kelilingi orang-orang baik yang selalu bantu saya, macem kalian ini," jelasku.
"Adududuu, padahal kita mah ga bantu apa-apa, Teh. Cuma nambah sakit kepala aja sih." Piga terlihat menggaruk tengkuknya.
"Kamu yang bikin sakit kepala, Pii. Aku mah bikin seneng si Teteh aja," kelakar Tika yang membuat kami tertawa.
"Teh, andai nih ya, andaiii. Semisal A Dwi ternyata ketemu orang lain, Teteh gimana? Apa bakal baik-baik aja?" tanya Tika padaku.
"Tika mah pertanyaannya ga ada yang lebih berbobot dikit ga sih?! Ya ga mungkin baik-baik ajalah! Baru dua bulan ini, kecuali kalo hati kamu emang ga ada rasa, ya lain cerita. Kalo yang aku tangkep dari ceritanya si Teteh, emang agak rumit ya. Mereka pada akhirnya sama-sama tahu kalo punya rasa yang sama, tapi karena lagi pada emosi ya akhirnya ambil kesimpulan masing-masing. Gini ya, teh. Kalo menurutku mah, si Aa bukannya pengen nyerah, tapi dia ngerasa kalo perasaan dia bakal beratin Teteh juga percuma. Bagi dia, Teteh tuh segalanya. Jadi kebahagiaan Teteh tuh mesti banget jadi nomor satu. Walaupun cara dia juga salah, ngomong pas lagi emosi. Maaf lho teh sebelumnya," tutur Piga panjang lebar.
"Pinter bener mengamati cerita orang, tapi kok masih jomlo juga, Neng?" goda Tika padanya. Aku terbahak dan menimpali.
"Sesama jomlo dilarang saling bully!"
"Iya deh, tapi masih mending kita lah, jomlo. Lha Teteh ga jelas, jomlo bukan, taken juga kayanya nggak. Rumit bener," balas Tika lagi.
"Ahahahaa... Iya ya, saya udah kaya jemuran bae, gantung."
Kami melewati malam dengan canda, aku memantapkan hati. Bagaimanapun, yang terjadi tetap akan terjadi. Kini aku percaya, Allah takkan menguji ummatnya melebihi batas kemampuannya. Akan ada pelangi setelah hujan, akan ada bahagia setelah luka. Pasrah dan tawakkal akan menuntun menuju Ridho Allah. Aamiin.