Berhijrah terkadang bukan perkara yang mudah, apalagi bayang kelam masa lalu bak sebuah benalu yang menggerogoti hati. Tak jarang membuat keyakinan merosot kembali.
Keinginan untuk menjadi lebih baik, terkadang di bumbui sebuah kesempurnaan. Bak
setiap pria yang mendambakan seorang istri sempurna, pun seorang perempuan mendambakan seorang suami yang sempurna. Namun terkadang keduanya tidak menyadari kalau mereka di ciptakan untuk saling menyempurnakan.
Inilah sebuah kisah. Perjalanan penuh Lika liku, mendambakan sebuah kesempurnaan untuk mencapai sebuah kebahagiaan.
Tidak pernah menyadari, berdiam di Zona nyaman sebuah kesempurnaan dan kebahagiaan, membuat hati buta.
Telat menyadari kalau kebahagiaan bukan milik dia yang hebat dalam segalanya, namun bahagia, milik dia yang mampu temukan hal sederhana dalam hidupnya dan tetap bersyukur.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon naja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 17
"Duh Yang sudah ku bilang kan jangan terlalu berlebihan. Adek jadi kelelahan begini. Mana yang sakit?"
Ali khawatir sendiri melihat keadaan Alika yang terkapar lemas di tempat tidur. Dia terus saja memijat kaki Alika dan sesekali mengelus badan Alika menghilangkan sakit yang di rasakan istrinya.
Iya, akhir akhir ini Alika seringkali merasakan pusing, bahkan badannya terasa begitu lemas tidak seperti biasanya. Namun dia selalu berusaha terlihat baik baik saja di depan Ali. Dan ternyata pada akhirnya Alika terkapar juga.
"Jangan terlalu berlebihan Kak. Keadaan ku tidak seburuk yang Kak Ali bayangkan kok. Hanya sedikit pusing saja. Dari tadi terus istirahat sekarang sudah baikan kok." Iya mungkin Ali saja yang terlalu berlebihan. Alika memang sedikit tidak enak badan, tapi tidak harus terus rebahan di ranjang kan.
"Jangan bandel. Baik baik apanya. Adek tadi sudah hampir jatuh." Mengoceh ngoceh lagi seperti seorang Ibu yang mengomeli anaknya.
Ali begitu terkejut, pasalnya keadaan Alika jika di lihat dari luar terlihat baik baik saja. Apalagi melihat nafsu makan nya yang makin meningkat, Ali malah kecolongan rupanya Alika sakit dan Dia tidak bisa menjaga kesehatan istrinya.
Ali kini ikut berbaring di samping Alika. Memiringkan badan menghadap Alika. Dengan kepala menopang pada tangan yang bertumpu pada tempat tidur dengan sikutnya.
"Adek pasti kelelahan karena terus bekerja.
Jangan memaksakan diri Dek, pada akhirnya Adek jadi jatuh sakit ini kan!"
Ali menggerakkan tangannya membelai lembut rambut Alika. Ingin menasehatinya namun takut malah menyinggung perasaan nya.
"Tidak apa-apa kok Kak. Aku senang melakukan nya." Alika tersenyum lebar. Rasanya kerja keras nya selama ini membuahkan hasil. Sampai saking senangnya bekerja ia terkadang melupakan yang lainnya.
"Dek kepuasan akan materi pasti tidak akan ada puasnya jika kita terus mengikuti hawa nafsu kita.
Segala yang kita lakukan rasanya tidak akan cukup jika kita terus terlena dengan semuanya."
Ali memang tidak bisa banyak membantu pekerjaan Alika. Hanya beberapa saran yang selalu Ali usulkan. Dan terkadang ada yang di terima Alika dan kadang tidak.
"Seberapa keras Adek bekerja, walau sudah mencapai apa yang Adek targetkan. Adek pasti tidak akan pernah merasa cukup, karena nafsu Adek terus menggerogoti hati Adek untuk menginginkan yang lebih."
"Belajarlah bersyukur dengan apa yang kita terima. Dan bekerjalah dengan produktif, bukan malah sibuk sampai lupa dengan kesehatan sendiri." Sungguh Ali bukan bermaksud mematahkan semangat Alika. Dia hanya ingin mengingatkan Alika agar segala yang Ia kerjakan tidak akan berdampak buruk baginya.
"Bang Ansell kan memberikan semua ini berharap Adek bisa bijaksana menerima semuanya. Bukan sebaliknya malah kesusahan." Iya, itulah yang Ali harapkan.
Perlahan-lahan mengurus dan mengembangkan semua kekayaan yang telah Ansell berikan. Melangkah meningkatkan satu persatu dan membereskannya. Bukan menggarap semuanya, kelelahan sendiri.
Apalagi malah berdampak buruk karena badan pun tidak mampu menjalankan nya.
"Apa Kak Ali merasa kerepotan karena aku sakit begini? Aku tidak apa-apa kok, Aku beneran sehat." Alika beranjak bangun untuk memperlihatkan kalau dia baik baik saja. Namun dengan cepat Ali merangkul Alika dan membawa dia kembali berbaring dan kini Ali malah menarik Alika ke pelukannya.
"Dasar Gadis kecilku ini. Aku bicara seperti ini karena mengkhawatirkan kesehatan mu Sayang. Jangan terlalu banyak pikiran dan beban. Aku seorang lelaki dan Aku yang seharusnya bekerja keras untuk menafkahi Adek. Jadi ikutilah saran ku. Untuk urusan hotel, biarlah orang orang yang terdahulu bekerja dengan Bang Ansell yang mengurusnya."
"Tapi Kak..."
"Sudah, jangan membantah lagi. Sekarang fokus dulu dengan kesehatan Adek. Setelah benar benar sehat dan Adek masih kukuh mau bekerja, Kita bekerja fokus dulu mengembangkan restoran dan toko kue." Iya, mungkin kali ini Ali cukup keras mengingatkan dan membatasi Alika. Tapi itu semua demi kebaikan dan kesehatan istrinya.
"Maaf...." Alika sadar dia salah. Suaminya sudah berkali kali menasehatinya untuk jangan memaksakan diri. Namun Dia bersikeras bekerja bulak balik ke kantor cabang dan masih mengurus toko kue dan rumah makan yang kini sudah berubah menjadi sebuah restoran.
"Bukan hanya maaf saja Dek. Jadikan ini juga pelajaran. Adek harus bisa membagi waktu antara bekerja, beristirahat dan beribadah."
Walau bibir mengomeli sang istri. Tapi tangannya dengan lihai mengelus ngelus kening Alika.
Ali memang kagum pada Sang istri. Alika merupakan wanita pekerja keras. Tapi Ali khawatir, jika semangat Alika yang begitu besar itu malah berlebihan. Takut hari harinya akan di kendalikan oleh obsesi demi obsesi akan materi.
Dalam sudut pandang Ali yang merupakan seorang putra Kiyai dan kental akan ajaran agama mungkin berbeda. Bekerja, berikhtiar itu memang di anjurkan. Tapi itu semua bukan tujuan.
Seberapa keras bekerja mu, seberapa besar penghasilan dari setiap keringat mu, seberapa lama waktu yang kau korbankan untuk mengais rezeki mu. Semua akan sia sia jika tujuanmu hanya sebatas menginginkan kenikmatan duniawi saja. Namun melangkahlah, tidak peduli akan seberapa banyak penghasilan dan seberapa keras kau bekerja. Atau sebaliknya kau tidak mendapatkan apapun dari setiap usaha mu. Jadikan semua niatan untuk kembali kepada Sang Khaliq dengan penuh keikhlasan dan senantiasa mengharapkan ridho Nya.
"Iya maaf. Sepertinya ucapan Kak Ansell benar ya. Aku sering sekali merepotkan Kak Ali. Maaf, padahal tugas seorang suami bukan hanya menafkahi istri dengan bentuk materi saja, tapi juga memupuk batinnya dengan keimanan. Terima kasih banyak, Kak Ali sudah memberikan semua untuk ku. Walau terkadang aku banyak bandel nya dan tidak jarang aku suka melawan."
Jujur, air mata Alika rasanya tidak bisa ia bendung. Cairan bening kini lolos keluar dari tempatnya. Tanpa sadar tangan Alika kini dengan lembut menyentuh wajah Ali. Dialah sang imam nya. Seseorang yang akan selalu menasehati dan menjaganya tanpa syarat. Namun Alika malah sering sekali melawan dan mengabaikan nasehatnya.
"Sebelum Adek minta maaf Aku sudah memaafkannya Sayang. Jadi, jangan pernah melepaskan genggaman tangan Adek. Jika ada badai besar, aku tidak bisa menjamin akan selalu bisa meraih tangan Adek, kalau Adek melepaskan genggaman tangan ku."
Entah apa maksud perkataan Ali. Tapi yang jelas Alika merasa amat bersyukur karena kehadiran Ali di hidupnya.
"Iya. Kak Ali pun jangan pernah meninggalkan ku. Bimbinglah aku, dan tegurlah aku jika aku salah."
"Insyaallah Sayang."
...***...
Di Pesantren. Ansell, Alex, David dan Raka. Mereka terlihat sedang duduk di teras rumah Abie sambil menunggu waktu adzan Zuhur. Mengikuti berjamaah shalat Jum'at bersama.
"Gus Ali sepertinya tidak akan ke sini. Sebentar lagi adzan Zuhur tapi dia belum juga datang." Ansell dari tadi memperhatikan pintu gerbang, mengharapkan kedatangan Ali untuk menanyakan keadaan adiknya.
"Apa Alika sakit parah sampai Gus Ali tidak ikut shalat Jum'at. Tidak seperti biasanya." David menimpali. Walau sesibuk apapun biasanya Gus Ali sudah stay di pesantren sebelum kedatangan mereka.
"Ya udahlah kebetulan kan Gus Ali tidak ke sini. Berarti member baru kita yang harus mengumandangkan adzan." Yah. Bukan Raka namanya kalau dia tidak menyeleweng pembicaraan. Orang sedang mengkhawatirkan yang sakit ia malah sempat sempatnya bercanda.
"Belum bisa, loe saja." Alex menjawab singkat. Diapun masih fokus ingin kembali ke topik pembicaraan pertama yang membicarakan Alika.
"Wah parah. Laga loe aja pingin punya bini yang baik. Tapi adzan saja belum bisa."
"Huh," Alex berdecak. Berharap akan kembali membicarakan Alika. Tapi David malah ikut kompak menjatuhkan harga dirinya. Memang ya mereka berdua pantas di berikan penghargaan dengan kategori tukang membuli orang.
Iya walau memang perkataan David ada benarnya juga. Dia tidak harus berharap dan menginginkan yang terbaik kalau dirinya sendiri belum bisa memantaskan diri untuk bersanding dengan orang baik.
"Kan baru belajar Vid. Gus Ali baru mengajariku Bab shalat dan Bab toharoh." Mengalah saja, mau protes atau berdebat pun tidak ada untungnya.
"Wah masa seorang Alex yang terkenal pintar dalam waktu setengah tahun hanya bisa mempelajari itu saja." Raka mengoceh lagi. Dia memang paling demen memperkeruh kesabaran orang lain.
"Wah, loe ngajak ribut mulu ya. Loe kira gue anak SD yang duduk di bangku, belajar dari pagi sampai sore mendengar penjelasan guru? Tidak woi. Gue kerja.
Dan kalau ada waktu gue nyempetin datang ke sini untuk belajar dan mengaji."
Haha, meledak sudah. Alex sudah kewalahan, harus seperti apa lagi meladeni ocehan Raka yang selalu saja memancing amarahnya.
"Apa selama kau belajar ke sini kau tidak pernah bertemu dengan Rani?" David kini yang beraksi, langsung antusias untuk membahas tentang Rani.
"Gak pernah. Kenapa pula harus bertemu dengan cewek udik itu di sini." Alex menjawab ketus. Sial memang hidupnya. Bagaikan lepas dari cengkraman harimau kini malah masuk ke lubang buaya. Sudah habis di ledek Raka, kini dia di suguhkan dengan ocehan David yang sedari tadi menjodohkannya dengan wanita yang tidak sedikitpun masuk pada kategori kriterianya.
"Rani kan juga tinggal di sini, masa kau tidak pernah berpapasan dengan nya." David cengengesan sendiri. Dalam kepalanya sudah membayangkan sebuah skenario, bahwasanya Ali yang mengatur Rani agar dia tidak muncul jika Alex sedang di sini.
"Tidak pernah. Dan tidak akan pernah. Gak penting juga harus berpapasan dengan cewek udik itu." Kesan pertama memang kuat ya. Sekali tidak suka, ya tidak. Alex mungkin tidak bisa mengubahnya.
Ketika mereka terus berbincang-bincang. Terdengar suara kendaraan memasuki pintu gerbang pesantren.
Sebuah mobil di ikut sepeda motor kini sudah parkir di pekarangan pondok.
"Loh, panjang umur dia. Benar benar jodoh Lex."
David Raka dan Alex terkejut. Orang yang sedang mereka bicarakan benar benar ada di depan mereka. Timing yang begitu pas, karena ternyata orang yang turun dari motor seorang objek itu ternyata adalah Rani.
Berbeda dengan tiga laki-laki itu, Ansell lebih fokus melihat sebuah mobil yang di rasa tidak asing baginya. Dan benar saja, selang beberapa detik, Ali terlihat keluar dari mobil itu, dan bergegas membukakan pintu mobil kursi penumpang di sampingnya.
"Alika! Bukankah dia sedang sakit. Kenapa ikut ke sin?" Hati Ansell sedikit tentang. Rupanya sakit Alika tidak separah bayangan nya. Tapi di sisi lain ia khawatir. Bukankah Alika sedang sakit? Tapi kenapa tidak istirahat di rumah?
Gus Ali, Alika dan Rani kini melangkah menuju rumah Abie. Berjalan beriringan dengan posisi Ali yang terus merangkul Alika.
"Assalamualaikum..."
Alika menyapa semuanya, dan bergegas menghampiri Ansell dan menyalami nya.
"Waalaikumsalam..."
"Bukannya kau sakiti. Kenapa orang sakit keluyuran." Ansell langsung memastikan keadaan Alika. Menyuruh sang Adik duduk di kursi kosong di sebelahnya.
"Tidak apa-apa kok Kak, habis bosan di rumah."
"Maksa ingin ikut Bang. Aku sudah menyuruhnya istirahat, tapi bersikeras ingin ke sini." Ali menimpali.
Awalnya Ali tidak akan ikut shalat Jum'at. Dia memilih shalat Zhuhur di rumah menemani Alika. Namun istrinya bersikeras berkata tidak apa-apa, dan malah ingin ikut ke pesantren beralasan ingin makan di rumah Ummie. Sudah sangat rindu dengan masakannya.
"Beneran tidak apa-apa? Kau tidak demam tapi kenapa pucat sekali?" Ansell mengangkat tangannya mengecek suhu tubuh Alika di keningnya, dan berakhir mengelus kepala adiknya.
"Ini karena Aku sedang lapar Kak. Sudah ya Aku kedalam dulu menemui Ummie." Alika pamit, bergegas ke dalam tidak lupa mengajak Rani yang sudah berdiri canggung karena dari tadi terlupakan.
"Hai, tidak perlu canggung begitu. Mereka tidak jahat Rani. Mereka bukan gangster, mereka teman teman Kakak." Alika malah melawak, lucu melihat ekspresi Rani yang tertunduk malu tanpa berkutik sedikit pun.
"Tuan-Tuan yang tadi lagi? kok mereka ada di mana mana?"
Bagaimana tidak canggung, Rani kembali bertemu dengan orang orang yang tadi di kantor, dan yang membuatnya lebih malu, si Tuan yang tadi bersamanya di dalam lift ternyata dia juga ada di sini.
"Mau ku perkenalkan mereka?" Tanpa menunggu jawaban Rani. Dengan begitu antusias, Alika menarik Rani agar lebih maju untuk memperkenalkan David Alex dan Raka.
"Hei jangan menakut nakutin Rani dong. Kalian menatap Rani seolah olah akan memakannya tau." Alika heboh sendiri menunjuk David dan Raka karena mereka dari tadi terus memasang senyum yang mencurigakan.
"Kenalkan. Itu Kak Raka. Dia adik iparnya Kak Zahra. Dan itu Kak David, dia teman Kak Ansell. Orang nomor dua di Rendra Group setelah Kakak. Jangan mempan di goda sama mereka. Mereka sudah beristri." Hahaha. Jeli sekali Alika memperkenalkan mereka. Jaga jaga saja, sebelum mereka tobat seperti ini mereka kan terkenal playboy.
Rani mengangguk angguk. Ikut tersenyum menyapa David dan Raka.
"Dan itu Kak Alex. Dia juga teman Kak Ansell, bahkan Kak Ali pun juga mengenalnya. Kalian sama sama singgel kan, jadi kalau berta'aruf sepertinya kalian cocok."
Dugh...
Bagai mendengar letusan Bom. Rani dan Alex di buat terkejut dengan perkataan Alika. Saling bertatapan dan setelah itu membuang pandangan masing-masing.
Orang sedang gugup, malah di perkenalkan dengan lelaki yang sudah memergoki kekonyolan saat di kantor. Di sisi lain, orang sedang menjaga jarak agar tidak terlibat terus dengan cewek udik yang terus menjadi bahan ledekan teman teman nya. Ekh Alika malah sama kompaknya dengan David dan Raka. Sama sama menjodohkannya dengan Rani. Padahal menurutnya dari sisi manapun tidak ada menarik menariknya.
Sungguh Alika tidak bisa menahan senyum melihat ekspresi Rani. Lebih ingin tersenyum lagi saat melihat wajah Alex yang terlihat jelas penolakan keras di wajahnya.
"Hahaha, terima kasih tawaran nya Al. Tapi maaf belum waktunya." Alex tertawa dengan penuh paksakan. Harus bagaimana lagi dia menghindar orang orang yang selalu menjodohkannya.
Tidak ingin lebih lama berada di sana, Rani dan Alika pun pamit masuk ke dalam.
"Bang apa tadi Rani terlihat baik baik saja saat menemui Abang?"
"Baik baik saja. Kenapa memang?"
"Aku lupa memberitahu Alika kalau Rani phobia dengan tempat sempit yang tertutup. Aku tadi sempat khawatir saat tahu Rani pergi ke kantor sendiri." Oh. Rupanya itu alasan Rani sampai terlihat begitu Udik di depan Alex. Rupanya sebuah lift adalah tempat yang begitu Ia hindari jika ia harus masuk sendiri.
Tiga laki-laki yang tadi mendengar perkataan Ali, kini langsung kompak menoleh ke arah Alex. Melebarkan mata, seolah meminta penjelasan karena tadi Rani bersama dengan nya.
"Kenapa kalian menatap ku seperti itu hah?
Iya, iya. Tadi kalau saja aku tidak terlebih dulu masuk lift mungkin cewek itu sudah naik ke lantai atas menggunakan tangga darurat."
Hahaha, seketika Ansell David dan Raka terbahak. Pikiran mereka bisa langsung menebak alasan kenapa teman nya itu dengan tega menjuluki wanita sebaik Rani menjadi cewek Udik.
"Hahaha, kalian memang jodoh. Kau bagai super Hero yang menyelamatkan calon istri mu Lex." Dengan begitu puas Raka kembali meledak Alex. Terus menjodohkan mereka sampai tidak sadar kalau sekarang ada Ali di sana.
"Woi." David berbisik. Menyenggol tangan Raka. Memberi isyarat jangan asal bicara. Karena mereka tahu dari awal Ali tidak mau mendekatkan Alex dan Rani.
"Hehe. Maaf Gus Ali, kita kebiasaan bercanda." Raka tersenyum kikuk. Menggaruk kepala tidak gatal malu malu menatap Ali.
"Tidak apa-apa, kalau memang jodoh kenapa tidak." Wah rupanya ada lampu hijau dari Gus Ali. Membuat Raka dan David mekin gencar menggoda Alex dan menjodohkan keduanya.
"Akh menyebalkan. Sekarang tidak ada sekutu lagi di pihak ku. Semua orang benar benar menjodohkan ku dengan wanita itu. Tapi kalau di lihat lihat dia tidak terlalu buruk juga." Tanpa sadar senyuman tipis terlihat di bibir Alex.
Membayangkan kenapa tadi dia tidak membiarkan Rani menaiki tangga. Mungkin ekspresi kelelahan nya akan lebih lucu dari pada ekspresi malu malu saat menerobos lift.
"Kenapa malah memikirkan nya. Akah aku pasti gila."
.
.
.
.
.
nungguin lho bolak balik cek blm up jg
apalagi dengan tokoh zahra...
🙏🙏