"Dia bukan adik kandungmu, Raja. Bukan... hiks... hiks..."
17 tahun lamanya, Raja menyayangi dan menjaga Rani melebihi dirinya. Namun ternyata, gadis yang sangat dia cintai itu bukan adik kandungnya.
Namun, ketika Rani pergi Raja bahkan merasa separuh hidupnya juga pergi. Raja pikir, dia telah jatuh cinta pada Rani. Bukan sebagai seorang kakak..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon noerazzura, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15. Murni Merasa Bersalah
Beberapa waktu berlalu, Rani sudah kembali sekolah, karena memang sebentar lagi dia harus menghadapi ujian akhir di sekolahnya. Meski masih mendengar beberapa selentingan yang tidak enak di dengar di telinganya.
Rani berusaha untuk tidak terlalu membiarkan semua itu mengusiknya. Dia sangat tidak ingin membuat ayah dan ibunya khawatir. Toh Damar kabarnya sudah pindah sekolah di luar kota.
Dia merasa sudah aman, tidak akan ada yang menyakitinya lagi.
Di tempat lain, kehidupan Hani semakin tidak terarah.
Malam itu, Murni yang baru pulang dari rumah majikannya, mendapati Hani tengah bertengkar dengan Baron di jalan.
Keributan itu tidak terdengar jelas oleh Murni, maksudnya hal yang membuat mereka ribut. Karena memang saat Murni datang, yang diucapkan oleh Hani dan Baron, sama-sama hanya kata-kata kasar, saling mencaci dan memaki.
Hingga saat Baron akan menampar Hani, Murni dengan sigap menarik tangan anaknya itu.
"Apa yang kamu lakukan, Baron?" tanya Murni dengan mata merah dan berkaca-kaca.
Wajah Baron terlihat semakin kesal.
"Cih, ini lagi sampah tua tidak berguna! Aku juga malas berurusan dengan anakmu lagi. Aku muak, bosan padanya. Bilang pada anakmu yang sudah sangat kotor itu, entah berapa tangan yang sudah menyentuh seluruh tubuhnya. Untuk pergi, menjauh dariku! Benar-benar siall!"
Setelah mengatakan itu, pria dengan pakaian yang sama sekali jauh dari kata rapi dan pantas itu pun pergi dengan motornya.
"Brengsekk! mau kemana kamu Baron! kamu tidak bisa meninggalkan aku!" pekik Hani bahkan ingin mengejar Baron yang sudah cukup jauh melaju dengan motornya yang berisik itu.
Murni yang melihat itu, tentu saja menahan anaknya.
"Hani, jangan dikejar nak! kamu tahu kan, dia tadi hampir menabrakmu. Untuk apa di keja...!"
Namun dengan cepat, dan sangat kasar. Hani menampik tangan ibunya itu.
"Ibu apa-apaan sih? kenapa ibu selalu ikut campur?"
Murni memegang dadanya, air mata sudah mengalir di matanya. Anaknya itu tidak bertanya padanya. Tapi membentaknya, memakinya dengan sangat kasar.
"Hani, dia mau pukul kamu..."
"Semua gara-gara ibu. Kalau ibu gak miskin, dia gak mungkin ninggalin aku buat cewek kaya itu, anak pedangan kain di pasar itu. Semua ini gara-gara ibu!"
Hani berlari meninggalkan Murni yang masih sangat terkejut dengan apa yang dilakukan anaknya. Salah, Hani bukan anaknya. Sejak awal, Murni memang sudah sangat salah.
Hingga waktu berlalu, Hani semakin terus menyalahkan ibunya. Bahkan ketika ibunya sakit, ketika Murni sakit, Hani sama sekali tidak perduli.
"Hani, tolong antar ibu ke puskesmas nak..."
"Heh, Bu. Punya kaki kan? berangkat sana sendiri. Aku sibuk"
Hani langsung pergi, dan saat dia kembali dia terlihat terburu-buru masuk kamarnya. Murni yang merasa dadanya makin sesak, benar-benar sangat khawatir. Wanita itu bahkan merangkak ke kamar Hani untuk meminta bantuan anaknya itu, supaya mengantarnya ke rumah sakit, atau paling tidak minta bantuan tetangga.
"Hani..."
Brakk
Ada sebuah benda yang jatuh dari tangan Hani.
Murni terkejut bukan main, benda itu adalah alat tes kehamilan.
"Hani, kamu hamil..."
"Ibu diam deh, awas kalau sampai ada yang tahu"
"Hani, anak siapa itu nak? apa itu anak Baron?" tanya Murni yang masih berpikir untuk meminta pertanggung jawaban pria bernama Baron itu.
Dia tentu tidak ingin Hani sepertinya, melahirkan tanpa ada suami. Bahkan anaknya tidak memiliki ayah.
Hani terlihat bingung, dia sendiri ragu kalau anak yang dia kandung itu adalah anak Baron. Masalahnya mereka sudah putus lama, dan Baron sudah jarang menyentuhnya. Dia khawatir, anak itu adalah anak salah atau preman yang kerap minum bersamanya di kafe remang-remang.
"Hani, jika itu anak Baron. Ibu akan mknta bantuan Bu kades..."
"Ibu apa-apaan sih? aku sudah bilang, jaman kasih tahu siapa-siapa. Bukan sekali juga aku gugurkan kandungan!"
Mata Murni terbelalak sangat lebar.
"Apa katamu nak?"
Murni merasa seperti ditikam, sungguh dia merasa sangat gagal, gagal total menjadi ibu untuk Hani.
Karena tekanan yang begitu besar, dan kondisinya memang sudah sakit parah. Murni bahkan langsung tak sadarkan diri.
Hani sama sekali tidak perduli, dia bahkan akan pergi ketika salah satu tetangga datang dan melihat Murni pingsan.
"Murni..."
"Bu Tejo, ngapain teriak-teriak sih?" tanya Hani.
"Hani, kamu gak lihat itu. Dari mulut ibumu keluar darah!"
Mendengar itu Hani terkejut, dia pikir ibunya hamya pingsan seperti biasanya. Nanti kita bangun sendiri, tidak tahunya dari mulutnya memang keluar darah.
"Ayo bawa ke puskesmas!"
Bu Tejo segera mengajak Hani membawa ibunya ke puskesmas. Dia juga minta bantuan suaminya dan para tetangga lain.
Sampai di puskesmas, dokter yang menangani Murni mengatakan harus segera dirujuk ke rumah sakit yang ada di kota.
Saat di mobil ambulans, Murni sadar.
"Hani..."
Hani hanya menoleh sekilas. Murni terlihat menjatuhkan air matanya lagi dari kedua sudut matanya.
"Hani..."
"Apa sih Bu? sudahlah Bu, jangan bikin ribet. Tidur aja, kita mau ke kota, mau ke rumah sakit! Ibu nih ya, nyusahin aja. Heran!"
Satu orang perawat yang ada di dalam ambulans terlihat menghela nafasnya. Baru kali ini dia lihat ada keluarga pasien yang emergency, tapi malah marah-marah dan sama sekali tidak perduli.
"Hani, ibu ingin mengatakan sesuatu"
Murni merasa kalau mungkin dirinya sudah tidak akan selamat lagi. Di sungguh merasa sudah sangat lemah.
"Tolong rekam pernyataan ibu"
Mata perawat itu melebar.
"Bu, jangan banyak bicara dulu ya Bu. Istirahat saja, satu jam lagi kita sampai di kota"
Perawat itu bicara dengan sangat lembut. Tapi, Murni menggelengkan kepalanya.
"Saya merasa sudah tidak punya banyak waktu. Hani, tolong rekam"
Hani berdecak kesal, meskipun begitu dia tetap mengeluarkan ponselnya dan merekam apa yang ingin di katakan ibunya yang sudah sekarat itu.
"Bu Retno, pak Jacky..."
Mata Hani melebar, kenapa ibunya menyebut nama Bu Retno dan pak Jacky.
"Maafkan saya"
***
Bersambung....