Cegil? itulah sebutan yang pantas untuk Chilla yang sering mengejar-ngejar Raja.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rrnsnti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
berantem
Sella melangkah cepat ke arah Chilla dan Raja yang baru saja memarkir motor. Wajahnya sudah menunjukkan ekspresi penuh amarah, matanya menyala dengan kemarahan yang sulit disembunyikan. Sella merasa terhina dan cemburu melihat keduanya berbicara di luar sekolah. Ia sudah lama mencurigai ada yang tidak beres antara Raja dan Chilla, dan kini, ia merasa waktunya untuk menyelesaikan semuanya.
Tanpa basa-basi, ia langsung membuka suara, memotong percakapan kecil yang tengah berlangsung di antara keduanya.
“Heh, dasar cewek gatel, ngapain lo boncengan sama cowok gue?” ujarnya dengan nada tinggi yang memekakkan telinga.
Chilla langsung mendengus. Tapi, bukannya menghindar, ia justru menatap Sella dengan tajam, seolah siap memberi perlawanan.
“Heh, muka dempul,” balas Chilla tanpa ragu, “tanya tuh sama cowok lo sendiri. Dia yang ngajak gue berangkat bareng. Mungkin dia kapok kalo boncengan sama lo, mata dia kelilipan gara-gara bedak dempul lo yang berterbangan.”
Sella terperangah, wajahnya memerah karena amarah yang mulai meledak. Ia merasa dirinya dipermalukan di depan umum. Tanpa berpikir panjang, ia mendekatkan diri pada Raja, seolah ingin mencari pembelaan darinya.
“Raja, kamu selingkuh di belakang aku?!” tanya Sella dengan nada penuh drama, suaranya bergetar menahan tangis.
Raja, yang sedari tadi diam, hanya menghela napas panjang. Ia tidak mau terjebak dalam drama ini lebih lama. Tatapannya pada Sella berubah dingin, jauh dari tatapan lembut yang biasa ia tunjukkan. Ia memutuskan untuk bicara dengan jelas, tidak ada lagi ruang untuk kebingungannya.
“Gak usah drama deh, Sel,” ucap Raja, nada suaranya tajam dan penuh penekanan. “Lo sendiri yang main di belakang gue. Gue udah kasih semua yang lo minta, tapi lo malah jalan sama om-om.”
Sella tampak terkejut. Ekspresinya seolah berusaha menyangkal tuduhan itu. “Kamu ngomong apa sih, Raja?”
Raja mengeluarkan ponselnya dari saku dan membuka sebuah foto. Ia memutar layar ponselnya ke arah Sella, memperlihatkan gambar yang jelas menunjukkan Sella sedang berciuman dengan pria paruh baya di dalam mobil mewah. Gambar itu jelas dan tajam, seolah menegaskan setiap tuduhan yang sempat ia ragukan.
“Liat ini. Masih mau ngelak?” tanya Raja dengan suara yang lebih keras, namun tetap dingin.
Sella tampak pucat, wajahnya berubah seketika. Bibirnya bergetar, berusaha mencari kata-kata yang tepat. “Raja, aku bisa jelasin semuanya...” ujarnya dengan suara yang semakin pelan.
Namun, Raja tidak memberinya kesempatan untuk bicara lebih lanjut. Ia meraih tangan Chilla dan menariknya pergi, meninggalkan Sella yang masih terpaku di tempat dengan wajah bingung dan rasa malu yang mendalam.
“Raja, tunggu! Jangan pergi begitu aja!” teriak Sella, namun Raja tidak memedulikannya sama sekali. Ia terus menarik Chilla pergi, berusaha menghindari konfrontasi lebih lanjut.
Di perjalanan menuju kelas, Chilla mencoba melepaskan genggaman tangan Raja. Ia kesal karena merasa dirinya dijadikan tameng dalam drama hubungan Raja dan Sella. Ia merasa sangat tidak nyaman dengan situasi ini, namun lebih dari itu, ia merasa disudutkan dalam hubungan yang bukan miliknya.
“Lepasin tangan gue, Ja!” ujar Chilla sambil berusaha menarik tangannya dengan kasar.
Raja akhirnya berhenti dan melepaskan genggamannya. Ia menatap Chilla dengan tatapan lelah, seolah mencari penjelasan dalam dirinya sendiri. Ia tahu Chilla punya alasan untuk marah, namun ia tidak bisa menahan rasa frustasinya.
“Apaan sih lo?” tanya Raja dengan nada yang sedikit terpecah.
Chilla mendengus dengan keras, merasa sakit hati atas perasaan yang tidak pernah dipahami. “Gue yang dulu jelas-jelas ngejar-ngejar lo dan suka sama lo, tapi lo selalu tutup mata. Lo malah pilih Sella, dan sekarang? Lo diselingkuhin sama dia! Sekarang lo bawa-bawa gue, jadiin gue tumbal? Sengaja lo ajak gue berangkat bareng biar Sella ngira gue yang salah?” Nada bicaranya penuh dengan ejekan dan amarah, kata-katanya seperti pedang yang mengiris.
Raja memejamkan matanya sejenak, mencoba menahan emosinya yang semakin meluap. Ia tahu bahwa perasaan Chilla memang sah, dan ia harus menghadapinya. Tapi ucapan Chilla membuat dada Raja terasa sesak, seolah ada beban berat yang harus ia tanggung sendiri.
“Gue nggak nyuruh lo ikut campur, Chilla,” balas Raja akhirnya. Suaranya lebih tenang, meskipun matanya menunjukkan kebingungan yang mendalam. “Gue ajak lo bareng tadi pagi karena gue nggak mau lo jalan sendirian. Itu aja.”
Chilla menatapnya dengan alis terangkat tinggi. “Alasan klasik, Ja. Jangan sok peduli gitu deh sama gue kalau ujung-ujungnya cuma bikin gue terjebak di drama lo.”
Raja tidak membalas. Ia hanya menunduk, seolah mencari jawaban di lantai yang ia pijak. Semua yang terjadi terlalu rumit untuk bisa diselesaikan dengan kata-kata, dan ia merasa kehilangan arah.
Chilla melangkah pergi, namun baru beberapa langkah, ia berhenti dan menoleh ke arah Raja. Ia ingin mengatakan sesuatu, tapi tak tahu harus bagaimana.
“Lo tahu nggak, Ja?” katanya, suaranya lebih pelan, tidak sekeras sebelumnya. “Gue dulu suka banget sama lo, tapi sekarang? Gue nggak ngerti gimana gue bisa sebodoh itu dulu.”
Raja terdiam, tidak tahu harus berkata apa. Kata-kata Chilla terasa seperti tamparan keras baginya. Ia menatap punggung gadis itu yang semakin menjauh, dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasa benar-benar kalah. Rasa sesal yang mendalam mulai menghantui setiap langkahnya.
Saat jam istirahat tiba, Raja duduk sendirian di kantin. Pikirannya melayang, mencoba memproses semua yang terjadi hari ini. Sella, Chilla, dan perasaannya yang selama ini ia abaikan. Ia merasa lelah dengan drama ini, namun entah kenapa, pikirannya terus terjebak pada Chilla. Setiap kata yang keluar dari mulut Chilla terus terngiang, menghantui dirinya. Ia menyadari, selama ini ia memang tidak pernah benar-benar peka terhadap perasaan Chilla.
Di sisi lain kantin, Chilla duduk bersama teman-temannya, berusaha mengabaikan keberadaan Raja. Tapi, sesekali ia melirik ke arah pria itu, meskipun ia mencoba menyangkal bahwa ia masih peduli. Ada bagian dari dirinya yang masih menginginkan perhatian Raja, namun ia tahu, perasaan itu sudah tidak lagi sama.
Sella tiba-tiba datang menghampiri Raja, kali ini dengan wajah penuh air mata. Ia tampak sangat menyesal dan takut kehilangan Raja. “Raja, aku bener-bener minta maaf. Aku nggak tahu apa yang ada di pikiranku waktu itu,” katanya memohon, suaranya bergetar.
Raja menatap Sella tanpa emosi. Wajahnya datar, seperti tidak ada lagi perasaan yang tersisa untuk gadis itu. “Udah nggak ada yang perlu lo jelasin, Sell. Lo udah bikin pilihan, dan gue juga udah punya keputusan.”
Sella terdiam, mencoba memahami maksud ucapannya. Wajahnya memerah, air matanya semakin deras mengalir.
“Apa maksudnya, Raja?” tanyanya, suaranya bergetar, tak bisa menyembunyikan ketakutannya.
“Maksudnya, kita selesai,” jawab Raja singkat, tegas, dan tanpa ruang untuk perubahan.
Sella terlihat ingin membantah, tapi Raja sudah bangkit dari tempat duduknya dan pergi meninggalkannya. Ia merasa tidak ada lagi yang bisa diperbaiki.
Dari kejauhan, Chilla menyaksikan semua itu dengan perasaan campur aduk. Ada sedikit rasa puas karena Raja akhirnya mengambil keputusan, tetapi juga ada bagian dari dirinya yang merasa Raja tidak pantas diperlakukan seperti itu. Bagaimanapun juga, ia tidak ingin terjebak dalam drama hubungan yang penuh kepalsuan.
Namun, ia memutuskan untuk tidak ikut campur. Bagaimanapun, hubungannya dengan Raja sudah cukup rumit, dan ia tidak ingin terjebak lebih jauh.