Marsha Aulia mengira, ia tidak akan pernah bertemu kembali dengan sang mantan kekasih. Namun, takdir berkata lain. Pria yang mengkhianatinya itu, justru kini menjadi atasan di tempatnya bekerja. Gadis berusia 27 tahun itu ingin kembali lari, menjauh seperti yang ia lakukan lima tahun lalu. Namun apa daya, ia terikat dengan kontrak kerja yang tak boleh di langgarnya. Apa yang harus Marsha lakukan? Berpura-pura tidak mengenal pria itu? Atau justru kembali menjalin hubungan saat pria yang telah beristri itu mengatakan jika masih sangat mencintainya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Five Vee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
02. Terpaku Di Masalalu.
Marsha mengemas semua barang-barangnya dengan sembarang. Gadis itu memutuskan untuk pergi meninggalkan rumah indekos yang saat ini ia tempati. Mungkin lebih tepatnya ia akan pergi meninggalkan ibukota.
“Marsha. Maafkan aku. Aku salah bicara.” Aldo menatap penuh rasa bersalah. Pemuda itu menyusul Marsha hingga ke tempat gadis itu tinggal.
“Kamu tidak salah, Al.” Ucap Marsha sembari menjejalkan baju-bajunya ke dalam koper.
“Aku justru berterimakasih sudah bertemu dengan kamu hari ini. Jadi, aku tidak akan berharap lebih lama lagi pada Rafael.”
Aldo menggeleng. Ia sungguh merasa bersalah karena menghancurkan hubungan kedua teman baiknya itu.
“Marsha. Mungkin aku salah dengar waktu itu.” Pemuda culun itu kembali membujuk Marsha. Ia berdiri gelisah sembari meremat kedua tangan.
“Tidak, Al. Bukan hanya kamu. Tetapi aku juga.” Marsha menunjuk dirinya sendiri. “Aku juga mendengar Rafael akan menikah.”
Aldo prihatin melihat keadaan Marsha. Gadis itu tampak menyedihkan.
Pemuda culun itu memang tak salah bicara. Ia mendengar dengan jelas Rafael berbicara dengan orang tuanya melalui sambungan telepon, mengatakan setuju untuk menikah dengan gadis bernama Sandra. Namun, tak seharusnya Aldo mengatakan hal itu kepada Marsha.
“Sha, please. Jangan gegabah. Aku yakin Rafael tidak mengkhanati kamu.” Pemuda itu mendekat ke arah Marsha, sembari menahan lengan gadis itu.
“Al. Sudahlah. Lebih baik sekarang kamu pergi. Aku harus membereskan barang-barangku.” Marsha mendorong secara halus tubuh pemuda culun itu.
“Tidak. Kamu mau pergi kemana sore-sore begini? Sebentar lagi hari gelap, Sha.” Aldo tak mau beranjak dari tempatnya.
Marsha berdecak kesal. “Aku akan pergi besok pagi. Jadi, sekarang Silahkan kamu tinggalkan tempat ini.”
Aldo pun kembali terdorong hingga depan pintu.
Saat sudah berada di ambang pintu, Aldo kembali berbalik. “Sha, apa yang aku katakan nanti jika Rafael bertanya tentang kamu?”
Marsha menghela nafas kasar. Apa mungkin Rafael akan kembali dan menanyakan keberadaan dirinya? Marsha sendiri tidak yakin. Mengingat, sudah tiga hari pria itu menghilang tanpa kabar.
“Katakan saja jika aku mendapat panggilan kerja ke luar negeri.” Gadis itu lalu menutup pintu kamar kostnya.
Setelah kepergian Aldo, Marsha kembali ke dalam kamarnya. Lemari pakaian telah kosong. Buku dan surat-surat penting pun ia masukan kedalam sebuah tas punggung.
Prakk!!
Sebuah bingkai foto terjatuh karena tanpa sengaja tersenggol. Marsha pun menoleh. Gambar dirinya yang di rangkul oleh Rafael, terlihat retak. Ia pun berjongkok untuk memungut bingkai itu.
“Lihatlah. Foto ini pun rusak, seperti hubungan kita yang telah kamu khianati, El.” Marsha pun melempar bingkai itu ke dalam tempat sampah.
“Selamat tinggal.”
Keesokan harinya.
Marsha pun berpamitan pada ibu pemilik tempat tinggal yang selama tiga tahun ditempatinya. Ia beralasan akan bekerja di luar kota, saat sang pemilik rumah menanyakan tujuan kepergiannya.
Gadis itu kembali menghela nafas kasar. Ia tak tahu harus pergi kemana. Selama ini, hanya hidup sebatang kara di ibukota karena kedua orang tuanya mengadu nasib di negeri seberang.
Sahabat pun ia tak punya. Karena selama lima tahun ini, hidup Marsha hanya berputar di sekitar Rafael. Dan di saat seperti ini, gadis itu pun menyesali kebodohannya yang terlalu menjadi budak cinta pemuda pengkhianat itu.
“Apa aku harus menyusul ayah dan ibu ke Malaysia?” Gumamnya pelan.
“Tidak. Aku tidak mau.” Kepala Marsha menggeleng kencang.
Gadis itu pun menyeret kopernya menuju jalan raya untuk menunggu taksi yang akan membawanya ke bandara. Meski belum memiliki tujuan yang pasti.
Bali.
Tiba-tiba satu nama pulau itu terlintas di benaknya.
Ya. Pulau Dewata itu bisa menjadi tempat tujuan utama pelariannya. Ia bisa mencari pekerjaan disana, mengingat Bali merupakan tempat tujuan wisata dunia. Ada begitu banyak hotel dan restoran yang bisa ia datangi untuk melamar pekerjaan sesuai bakatnya.
Gadis itu pun memesan tiket pesawat melalui aplikasi pada ponsel pintarnya.
“Selamat tinggal, El.”
\~\~\~
Lima tahun Kemudian.
“Selamat ulang tahun, Chef.”
Marsha yang baru saja memasuki pintu dapur restoran tempatnya bekerja, tersentak mendapati kejutan ulang tahun dari rekan dan juga bawahannya.
Hari ini gadis itu genap berusia dua puluh tujuh tahun. Ia sendiri tidak begitu mengingat hari kelahirannya, karena tidak ada yang istimewa.
“Terimakasih.” Ucapnya dengan senyum haru.
Terhitung, sudah tiga kali ia mendapatkan kejutan seperti ini sejak dirinya menjabat sebagai asisten Chef, di restoran salah satu hotel berbintang lima di pulau dewata, Bali.
“Berdoa dulu, Chef.” Ucap seorang gadis yang sejak tadi membawa kue berhias lilin kecil.
Marsha mengangguk, kemudian memejamkan mata.
“Semoga cepat dapat jodoh, Chef.” Celetuk salah satu rekan sejawatnya.
Dan ucapan itu pun di amini oleh orang-orang yang berada di dalam dapur itu.
Marsha hanya mencebik. Doa itu selalu terlontar setiap tahun dari orang-orang terdekatnya. Namun, ia sendiri tak pernah mengamininya. Karena, sampai detik ini hati gadis itu masih terluka akibat pengkhianatan di masalalunya.
“Selamat ulang tahun, Sha.”
Marsha yang berdiri menghadap kue ulang tahunnya dan telah meniup lilin pun menoleh ke arah sumber suara. Di belakangnya berdiri seorang pria dewasa bernama Robby, yang merupakan Chef di restoran itu.
“Terimakasih, Chef.”
“Ciieee.” Dapur kembali bergemuruh kala chef Robby memotong kue, kemudian menyuapkan kepada Marsha.
“Jadian bisa nih.” Celetuk orang yang tadi mendoakan Marsha semoga cepat mendapat jodoh. Pria yang sebagai menjabat sebagai supervisor di dapur itu bernama Made.
Marsha pun tersedak kue ulang tahun yang di makannya. Dengan sigap, salah seorang teman memberikan segelas air.
“Sudah. Jangan bicara yang aneh-aneh. Kasihan wajah Marsha merah karena ucapan kamu, Made.” Chef Robby kemudian berlalu meninggalkan kerumunan para bawahannya.
Suasana kembali riuh. Marsha pun memotong dan membagi kue pada teman-temannya.
“Sisain untuk chef Robby dong.” Ucap pria bernama Made yang kembali menggoda Marsha.
“Chef Made apa-apaan sih? Nanti kalau chef Robby marah sama aku, gimana? Mau tanggung jawab?” Marsha berpura-pura marah pada rekan kerjanya itu.
“Mana mungkin chef Robby marah sama kamu? Seisi dapur ini juga tahu, kalau dia suka sama kamu.” Ucap pria asli Bali itu dengan logat daerahnya yang khas.
Marsha mencebik. Ia tak menanggapi lagi ucapan rekannya itu. Meski gadis itu menyadari apa yang Chef Made ucapkan ada benarnya. Chef Robby menyukainya. Namun hati Marsha masih terpaku di masalalu.
Katakan saja gadis itu susah move-on. Memang pada kenyataan benar seperti itu. Rafael adalah cinta pertamanya. Pria itu pula yang menyakitinya teramat dalam.
Hingga kini pun, Marsha belum bisa membuka hati untuk pria lain. Gadis itu takut, dirinya akan tersakiti, atau bahkan ia menyakiti hati orang lain. Karena ia belum bisa melupakan masalalunya.