NovelToon NovelToon
Harga Diri Seorang Istri

Harga Diri Seorang Istri

Status: sedang berlangsung
Genre:Pelakor / Wanita Karir / Penyesalan Suami / Selingkuh / Romansa
Popularitas:48.2k
Nilai: 5
Nama Author: Bunda SB

Indira pikir dia satu-satunya. Tapi ternyata, dia hanya salah satunya.

Bagi Indira, Rangga adalah segalanya. Sikap lembutnya, perhatiannya, dan pengertiannya, membuat Indira luluh hingga mau melakukan apa saja untuk Rangga.

Bahkan, Indira secara diam-diam membantu perusahaan Rangga yang hampir bangkrut kembali berjaya di udara.

Tapi sayangnya, air susu dibalas dengan air tuba. Rangga diam-diam malah menikahi cinta pertamanya.

Indira sakit hati. Dia tidak menerima pengkhianatan ini. Indira akan membalasnya satu persatu. Akan dia buat Rangga menyesal. Karena Indira putri Zamora, bukan wanita biasa yang bisa dia permainkan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bunda SB, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Undangan reuni

Restoran Italia ramai dengan pengunjung siang, profesional muda yang lunch meeting, pasangan yang date, dan dua sahabat yang sedang duduk di meja sudut dengan jendela menghadap jalan.

Indira menyuap fettuccine carbonara-nya dengan elegan, sesekali menyeruput wine putih yang dingin. Rani duduk di hadapannya dengan pizza margherita, senyum lebar tak lepas dari wajahnya.

"Jadi," Rani berbicara sambil mengunyah, "gimana drama rumah tangga tadi pagi? Ayunda masih mengeluh?"

Indira tersenyum tipis. "Lebih dari mengeluh. Dia minta pembantu, minta uang belanja, komplain tentang segala hal. Seperti anak kecil yang manja."

"Dan Rangga?"

"Rangga mencoba jadi suami baik dengan menjanjikan uang bulanan," jawab Indira sambil menggelengkan kepala. "Padahal dia sendiri tidak tahu apakah perusahaannya masih bisa bertahan tiga bulan ke depan."

Rani tertawa. "Kamu kejam, Dira. Tapi aku suka."

Mereka melanjutkan makan dalam suasana yang santai, berbeda sekali dengan ketegangan di rumah Indira tadi pagi. Di sini, di restoran ini, Indira bisa bernapas lega. Tidak ada drama. Tidak ada Rangga. Tidak ada Ayunda. Hanya ia dan sahabatnya.

"Oh ya!" Rani tiba-tiba teringat sesuatu. Ia merogoh tas besar yang tergeletak di kursi sampingnya, mengeluarkan amplop berwarna gold dengan pita merah. "Ini. Untukmu."

Indira menatap amplop itu dengan bingung. "Apa ini?"

"Undangan," jawab Rani sambil menyerahkannya. "Undangan reuni SMA kita. Angkatan 2007. Malam ini."

"MALAM INI?" Indira hampir tersedak carbonara-nya. "Ran, ini sudah jam dua siang!"

"Aku tahu, aku tahu," Rani meringis dengan wajah bersalah. "Maafkan aku. Aku seharusnya kasih ini ke kamu sejak seminggu lalu. Tapi kita berdua sibuk. Aku baru ingat tadi pagi pas liat kalender."

Indira membuka amplop itu, kartu undangan mewah dengan emboss gold.

Indira menatap undangan itu dengan perasaan campur aduk. Reuni SMA. Sudah berapa lama ia tidak bertemu teman-teman seangkatannya? Hampir sepuluh tahun? Lebih?

"Kamu harus datang," ucap Rani dengan nada yang tidak bisa dibantah. "Ini reuni besar. Hampir semua orang konfirmasi akan datang."

"Ran, aku tidak..."

"Dan," potong Rani dengan senyum nakal, "Adrian juga akan datang."

Indira membeku. Tangannya yang memegang garpu berhenti di udara. Nama itu, nama yang sudah lama tidak ia dengar tiba-tiba membuat jantungnya berdegup tidak beraturan.

Adrian.

Adrian Mahendra. Cinta pertamanya. Pacar SMA-nya yang sempurna, cerdas, tampan, perhatian, dan yang paling penting, setia. Mereka pacaran dari kelas dua SMA sampai lulus, dengan rencana akan terus bersama sampai kuliah.

Tapi kemudian Indira mendapat beasiswa penuh untuk kuliah bisnis di London. Kesempatan yang tidak bisa ia tolak. Sementara Adrian akan kuliah di UI, mengambil teknik seperti yang diinginkan orangtuanya.

Long distance relationship. Mereka coba. Benar-benar coba. Tapi jarak, perbedaan waktu, dan kesibukan akhirnya membuat Indira yang memutuskan... putus lewat telepon, air mata, dan janji bahwa ini yang terbaik untuk mereka berdua.

Adrian tidak terima. Ia bilang akan menunggu. Akan tetap setia sampai Indira pulang. Tapi Indira tidak mau mengikat dia. Ia memaksa Adrian untuk move on, untuk cari orang lain, untuk bahagia.

Dan itu adalah keputusan yang Indira sesali sampai sekarang.

"Dira?" Rani melambaikan tangan di depan wajah Indira. "Kamu masih di sini?"

Indira berkedip, kembali ke realitas. "Uh, iya. Maaf."

"Kamu memikirkan dia, kan?" Rani menyeringai. "Adrian. Cinta pertamamu yang setia menunggu sampai sekarang."

"Jangan bicara omong kosong," Indira mencoba terdengar tidak peduli sambil kembali makan. "Itu sudah hampir sepuluh tahun lalu. Dia pasti sudah menikah atau punya pacar."

"Salah," Rani menggeleng dengan dramatis. "Aku stalking Instagram-nya minggu lalu. Masih single. Tidak ada foto dengan wanita manapun kecuali foto keluarga dan teman. Dan yang paling penting... masih tampan. Bahkan lebih tampan dari dulu. Udah sukses juga. Dia sekarang arsitek terkenal, punya firma sendiri."

Indira mencoba mengabaikan informasi itu. Mencoba tidak peduli. Tapi jantungnya tidak bisa dibohongi. Jantungnya berdegup kencang, seperti remaja yang baru jatuh cinta.

"Aku tidak tertarik," akhirnya Indira berkata dengan nada yang dibuat-buat datar.

"Bohong," tuduh Rani sambil menunjuk dengan garpu. "Kamu tertarik. Aku lihat dari cara pipimu merona tadi."

"Aku tidak merona..."

"Kamu merona. Dira, ini kesempatan bagus!" Rani bersandar di kursi, menatap sahabatnya dengan serius. "Kamu dan Rangga sudah selesai. Kamu tinggal menunggu waktu yang tepat untuk cerai. Kenapa tidak mulai buka hati untuk kemungkinan yang lain?"

"Karena aku belum siap," jawab Indira jujur. "Dan aku tidak mau menggunakan Adrian sebagai pelarian."

"Aku tidak bilang untuk langsung pacaran dengannya," Rani mengklarifikasi. "Tapi setidaknya datang ke reuni. Bertemu teman-teman lama. Ketawa-ketawa. Lupakan drama rumah tangga sebentar. Dan kalau kebetulan bertemu Adrian dan ada chemistry... well, that's a bonus."

Indira diam, memikirkan tawaran itu. Reuni. Sudah berapa lama ia tidak keluar untuk bersenang-senang? Sudah berapa lama ia tidak tertawa lepas tanpa beban?

Tapi datang ke reuni berarti kemungkinan besar bertemu Adrian. Dan Indira tidak tahu apakah ia siap untuk itu. Siap untuk melihat pria yang dulu ia cintai, pria yang ia tinggalkan, pria yang mungkin masih menyimpan rasa sakit karena keputusannya.

"Aku tidak tahu, Ran," gumam Indira. "Aku tidak yakin ini ide yang baik."

"Kenapa tidak?" tanya Rani. "Kamu takut bertemu Adrian?"

"Bukan takut," Indira mencari kata yang tepat. "Lebih ke... tidak siap. Aku yang ninggalin dia dulu. Dengan cara yang tidak bagus. Dan sekarang kalau aku muncul tiba-tiba..."

"Dira," Rani meraih tangan sahabatnya di atas meja, "itu hampir sepuluh tahun lalu. Kalian berdua sudah dewasa sekarang. Adrian bukan tipe pria yang menyimpan dendam. Kalau dia masih datang ke reuni, berarti dia sudah move on dan siap bertemu teman-teman lama termasuk kamu."

"Atau dia tidak tahu aku akan datang," sahut Indira.

"Atau dia tahu dan tetap datang karena dia pengen lihat kamu," balas Rani dengan senyum jahil. "Come on, Dira. Don't overthink. Ini cuma reuni. Bukan lamaran."

Indira tertawa, tawa yang lepas untuk pertama kalinya hari ini. "Kamu ini..."

"Aku sahabat terbaikmu yang cuma mau kamu bahagia," Rani menyeringai. "Jadi? Kamu datang atau tidak? Karena kalau tidak, aku akan paksa kamu datang dengan cara ku sendiri."

Indira menatap sahabatnya, sahabat yang selalu ada untuknya, yang selalu mendukungnya, yang selalu tahu apa yang ia butuhkan bahkan sebelum ia tahu sendiri.

"Aku..." Indira menghela napas panjang. "Aku tidak berminat, Ran. Serius. Aku lelah. Aku lebih milih pulang dan istirahat."

"TIDAK BOLEH!" Rani memukul meja,tidak keras, tapi cukup untuk menarik perhatian beberapa pengunjung. "Indira Zamora, kamu harus datang. Ini bukan pilihan. Ini kewajiban. Sebagai sahabatku. Sebagai teman seangkatan. Dan sebagai wanita yang butuh keluar dari rumah menyebalkan itu!"

"Tapi Ran..."

"Tidak ada tapi-tapian," Rani sudah berdiri, merogoh tas besarnya lagi. Kali ini ia mengeluarkan paper bag branded mewah. "Ini."

Indira menatap paper bag itu dengan curiga. "Apa itu?"

"Gaun untukmu," jawab Rani sambil mendorong paper bag itu ke arah Indira. "Gaun emerald green yang cantik. Aku pilih sendiri minggu lalu. Ukuran kamu. Pas. Aku jamin kamu akan terlihat stunning."

"Ran, aku tidak bisa..."

"Dan ini," Rani mengeluarkan paper bag lainyang lebih kecil. "Heels nude yang matching. Size 37. Tinggi 10 cm. Elegant tapi nyaman."

"Ran..."

"Dan ini," paper bag ketiga. "Clutch hitam dengan rantai gold. Classic. Timeless."

"RAN!" Indira menatap sahabatnya dengan mata terbelalak. "Kamu sudah mempersiapkan semua ini? Sejak kapan?"

"Sejak seminggu lalu," jawab Rani santai sambil mengeluarkan kotak kecil terakhir. "Dan ini. Anting-anting diamond studs. Simpel tapi elegan. Sempurna untuk cocktail attire."

Indira menatap semua barang di atas meja, gaun, heels, clutch, anting-anting dengan mulut terbuka. "Kamu... gila. Kamu sudah rencanakan ini dari awal."

"Tentu saja," Rani menyeringai. "Aku sahabat terbaikmu. Aku tahu kamu akan cari alasan untuk tidak datang. Jadi aku pastikan kamu tidak punya alasan lagi. Gaun? Sudah. Sepatu? Sudah. Tas? Sudah. Aksesoris? Sudah. Bahkan aku sudah atur mobil yang akan jemput kamu jam tujuh malam nanti."

"Mobil?" Indira tidak percaya. "Ran, kamu terlalu berlebihan..."

"Tidak ada yang berlebihan kalau itu untuk sahabat terbaik ku," Rani duduk kembali dengan puas. "Mobil Mercedes hitam. Sopir profesional. Akan jemput kamu tepat jam tujuh di apartemenmu, karena aku yakin kamu tidak mau jemput di rumah Rangga, kan?"

Indira terdiam. Sahabatnya benar, ia memang lebih suka dijemput di apartemen daripada di rumah. Tapi bagaimana Rani tahu ia akan setuju?

"Kamu terlalu percaya diri aku akan datang," gumam Indira.

"Karena aku kenal kamu," Rani tersenyum hangat. "Aku tahu kamu akan bilang tidak. Aku tahu kamu akan cari alasan. Tapi aku juga tahu kalau aku bujuk dengan cara yang benar, kamu akan iya. Karena kamu sahabat terbaik yang tidak pernah bisa menolak permintaan ku."

Indira menatap Rani dengan tatapan antara kesal dan terharu. "Kamu manipulatif."

"Aku peduli," koreksi Rani. "Dan aku serius, Dira. Kamu butuh keluar. Kamu butuh ketawa. Kamu butuh ingatkan diri kamu sendiri bahwa kamu bukan cuma wanita yang dikhianati suaminya. Kamu juga Indira Zamora, wanita yang cerdas, cantik, sukses, dan dicintai banyak orang."

Kata-kata itu menohok Indira tepat di hati. Karena Rani benar. Akhir-akhir ini ia terlalu fokus pada balas dendam, pada menjatuhkan Rangga, pada membuktikan dirinya sebagai wanita yang kuat. Sampai ia lupa bahwa ia juga butuh bersenang-senang. Butuh tertawa. Butuh menjadi dirinya sendiri tanpa beban.

"Baiklah," akhirnya Indira menyerah dengan helaan napas panjang. "Baiklah, aku akan datang. Tapi hanya untuk kamu. Bukan untuk Adrian atau siapapun. Hanya untuk kamu."

Wajah Rani langsung cerah benderang. "YES! Aku tahu kamu akan setuju! Aku sangat kenal kamu!"

"Tapi aku tidak janji akan stay lama," Indira menambahkan. "Kalau aku merasa tidak nyaman, aku akan pulang."

"Deal," Rani mengangguk cepat. "Yang penting kamu datang. Sisanya terserah kamu."

Indira menatap paper bag-paper bag di atas meja, lalu menatap sahabatnya yang tersenyum lebar dengan puas. "Kamu benar-benar sudah rencanakan semua ini, ya?"

"Dari A sampai Z," jawab Rani bangga. "Termasuk sudah konfirmasi ke panitia bahwa kamu akan datang."

"APA?" Indira hampir berteriak. "Ran! Aku belum setuju waktu itu!"

"Tapi aku tahu kamu akan setuju," Rani menyeringai. "Makanya aku sudah konfirmasi dari kemarin. Name tag kamu sudah siap. Meja kamu sudah diatur, kamu akan duduk di meja yang sama dengan aku, tentunya. Dan beberapa teman dekat kita dulu."

"Adrian?" tanya Indira, pertanyaan yang keluar begitu saja sebelum ia bisa menahannya.

Rani tersenyum, senyum yang tahu segalanya. "Adrian duduk di meja sebelah. Dekat. Tapi tidak terlalu dekat. Cukup untuk accidentally bertemu di buffet atau di bar."

Indira menggelengkan kepala, antara geli dan frustrasi. "Kamu benar-benar mengatur segalanya."

"That's what best friends do," Rani mengangkat gelas wine-nya. "So? Toast untuk malam yang akan jadi menarik?"

Indira menatap gelas wine di tangannya, lalu menatap sahabatnya yang menunggu dengan gelas terangkat. Dengan helaan napasdan senyum yang akhirnya muncul, Indira mengangkat gelasnya.

1
Ma Em
Tidak mungkin Indira akan kambali padamu Rangga karena Indira sdh dapat penggantinya lelaki yg jauh lbh baik darimu Rangga , nikmati saja penyesalanmu seumur hidupmu .
Mundri Astuti
ntar lagi Adrian ..klo dah halal...girang beud dah, pecah telor y penantian panjangmu Adrian 😂
Aether
kesempatan apa goblok
Mundri Astuti
iya aja Dira....ntar kabur lagi jodohnya....
Rizka Susanto
skrng udh sadar kan bang.... sdh terjawab penyebab kehancuranmu slma ini itu apa😁
Rizka Susanto
kutunggu jandamu ya bang.. 😄😆
gaby
Janganlah sampai Ayunda hamil anak Rangga. Ntar ujungnya2 mreka balikan. Jgn kasih pendamping hidup lg buat pria tkg clapclup. Kasih karma karena dah bikin Amara hamil & bunuh diri. Ksh karma karena telah mengkhianati Indira. Jgn lupa karma buat Ayunda jg, apapun alasannya merusak rmh tangga wanita lain tdk di benarkan. Ksian Indira ga berdosa jd korbannya.
gaby
Knp Lina nyalahin Rangga?? Bukankah dia yg membantu pesta pernikahan Rangga. Coba kalo dia mencegah Rangga slingkuh. Pasti skrg Lina bisa bangga pny kaka ipar pemilik Zamora. Mana tuh kakeknya Rangga yg menghina Indira mandul?? Apakah jantung tuanya msh aman pas tau bahwa mantan cucu menantunya ternyata konglongmerat??
gaby
Aq heran sm Ayunda, ko bisa jatuh cinta sama pria yg dah menghamili adiknya lalu mencampakannya dgn menikahi Indira. Ayunda dah tdr sama Rangga aja haruanya jijik. Jijik karena dia menikmati Senjata yg sama dgn yg mbuat adiknya hamil lalu bunuh diri. Masa adik kaka bisa sama2 di pake oleh pria yg sama, mana sampe jth cinta lg. Ayunda tolol
gaby
Thor tolong hilangkan panggilan Mas utk rangga. Mas itu panggilan hormat yb di tujukan utk pria. Biat apa menghormati pria pengkhianat. Panggil Rangga aja atau ga usah sebut namanya sama sekali sbg wujud kemarahan seorg istri yg di khianati
gaby
Kalo alasan Rangga menikahi Ayunda karena keturunan, knp ga nunggu Ayunda hamil dulu br nikahin. Rugi dong kalo ternyata Ayunda ga bs hamil jg. Bilang aja karena napsu & cinta, bukan karena keturunan. Karena di jaman modern bny cara agar bisa hamil.
Sunaryati
Sadar dari kesalahan taubat dan bangkit jika masih ingin meneruskan hidup dengan baik dan menebus kesalahan, memang kau pria kejam, dan Ayunda aku menanti karnamu mungkin hamil anak Rangga
Aether
awokawok mampus
Lee Mbaa Young
wes hancur jd gembel tinggal ayunda pelakor blm dpt karma nya.
Lee Mbaa Young
Semoga perusahaan rangga itu bangkrut jd ya ayunda dan rangga sama sama gigit jari gk Ada yg dpt.
mau bgaimanapun ayunda adlh pelakor.
mau bgaimanapun alasannya ayunda adlh pelakor dan pelakor hrs dpt hukuman juga biar gk tuman dan gk Ada yg niru.
nnti jd kebiasaan mendukung ayunda jd pelakor krn blas dendam.
Afrina Wati
oke
Rati Nafi
😍😍😍😍😍
Sunaryati
Segitu kejamnya kamu pada wanita muda, Tangga.
Aether: Tangga Saha?
total 1 replies
Aether
wow ternyata sebajingan itu ya, sampai ada korban jiwa
Ma Em
Rangga siapkan saja mental kamu yg kuat jgn sampai kena serangan jantung karena sock perusahaannya sdh diambil alih oleh Arya saudaranya Ayunda atau selingkuhannya .
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!