NovelToon NovelToon
Dinikahi Sang Duda Kaya

Dinikahi Sang Duda Kaya

Status: sedang berlangsung
Genre:Pernikahan Kilat / CEO / Dijodohkan Orang Tua / Duda / Nikah Kontrak / Berbaikan
Popularitas:5.8k
Nilai: 5
Nama Author: Savana Liora

​Kiana Elvaretta tidak butuh pangeran. Di usia tiga puluh, dia sudah memiliki kerajaan bisnis logistiknya sendiri. Baginya, laki-laki hanyalah gangguan—terutama setelah mantan suaminya mencoba menghancurkan hidupnya.

​Namun, demi mengamankan warisan sang kakek, Kiana harus menikah lagi dalam 30 hari. Pilihannya jatuh pada Gavin Ardiman, duda beranak satu yang juga rival bisnis paling dingin di ibu kota.

​"Aku tidak butuh uangmu, Gavin. Aku hanya butuh statusmu selama satu tahun," cetus Kiana sambil menyodorkan kontrak pra-nikah setebal sepuluh halaman.

​Gavin setuju, berpikir bahwa memiliki istri yang tidak menuntut cinta akan mempermudah hidupnya. Namun, dia salah besar. Kiana tidak datang untuk menjadi ibu rumah tangga yang penurut. Dia datang untuk menguasai rumah, memenangkan hati putrinya yang pemberontak dengan cara yang tak terduga, dan perlahan... meruntuhkan tembok es di hati Gavin.

​Saat g4irah mulai merusak klausul kontrak, siapakah yang akan menyerah lebih dulu?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Savana Liora, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

​Bab 26: Bencana di Dapur

​"Apa bedanya lengkuas sama jahe? Kenapa bentuknya sama-sama kayak akar pohon beringin begini?"

​Kiana mengangkat dua bongkah rimpang di tangannya dengan tatapan frustrasi. Di hadapannya, meja island dapur yang biasanya bersih mengkilap kini terlihat seperti medan perang pasca-ledakan bom. 

Kulit bawang berserakan di lantai, tepung terigu memutihkan meja marmer hitam, dan ada noda merah—entah saus tomat atau darah—di kain lap.

​"Itu jahe, Bu. Yang baunya pedas hangat. Kalau lengkuas itu yang kulitnya lebih keras, ada garis-garisnya," jawab Bi Inah yang berdiri gelisah di pojok dapur, tangannya gatal ingin membantu tapi tertahan.

​"Jangan dikasih tahu, Bi Inah!" tegur suara tajam dari arah meja makan.

​Bu Laras duduk di sana bagaikan ratu di singgasana, menyesap teh melati dengan anggun sambil mengawasi setiap gerak-gerik Kiana. Tongkat eboninya tergeletak di meja, siap diketukkan jika ada pelanggaran aturan.

​"Biarkan dia mikir sendiri. Katanya CEO jenius? Masa bedain bumbu dapur saja harus dikasih kunci jawaban?" cibir Bu Laras.

​Kiana menggeram rendah. Dia melempar kedua rimpang itu ke talenan dengan kasar.

​"Tenang, Kiana. Ini cuma masak. Bukan merakit nuklir," gumam Kiana pada dirinya sendiri, menyemangati mentalnya yang mulai retak.

​Dia kembali menatap layar iPad yang disandarkan di botol minyak goreng. Video tutorial dari channel masak terkenal sedang berputar. Chef di video itu tersenyum manis sambil memotong wortel dengan kecepatan cahaya.

​"Mudah sekali kan, Bunda? Tinggal cemplung-cemplung, jadi deh Sop Buntut ala Restoran Bintang Lima!" celoteh si Chef di layar.

​"Mudah matamu," umpat Kiana.

​Dia mengambil pisau daging besar. Dia harus memotong wortel. Di video terlihat gampang. Kiana menekan pisau ke wortel yang keras.

​Meleset.

​Pisau itu tergelincir miring.

​"Awh!" Kiana menjerit kecil, refleks menarik tangannya.

​Darah segar menetes dari ujung telunjuk kirinya.

​"Ya Allah! Ibu!" Bi Inah spontan berlari mendekat, wajahnya panik. "Ibu kena pisau? Sini saya obati..."

​"Berhenti di situ, Inah!" bentak Bu Laras.

​Langkah Bi Inah mati seketika. Dia menatap Kiana dengan pandangan kasihan, lalu menatap Bu Laras dengan takut.

​"Itu cuma luka kecil. Jangan manja," kata Bu Laras dingin. "Kalau mau jadi istri dan ibu, harus tahan sakit. Sarah dulu pernah ketumpahan minyak panas di kaki waktu masakin Gavin, dia nggak ngeluh sedikitpun. Lanjut masak!"

​Kiana menatap darah di jarinya. Perih. Tapi rasa perih di hatinya karena dibanding-bandingkan dengan orang mati jauh lebih menyakitkan.

Bisa saja dia berhenti, karena dia adalah Kiana. Wanita tangguh yang tak sudi didikte orang lain. Tapi Kiana tahu, kalau dia berhenti, nenek lampir itu pasti akan melakukan berbagai cara untuk merebut hak asuh Alea. Dan itu tidak ada di skenario hidup Kiana.

​Kiana menyalakan keran air, membasuh lukanya sekilas, lalu membalutnya asal dengan plester luka yang dia ambil dari kotak P3K di laci dapur. Dia tidak menoleh ke Bu Laras. Dia tidak mau memberikan kepuasan pada nenek sihir itu dengan melihat air matanya.

​"Lanjut," desis Kiana. Dia mengambil pisau lagi. Kali ini dia memotong wortel itu dengan amarah, membayangkan wortel itu adalah tongkat Bu Laras.

​Tak!Tak!Tak!

​Potongannya tidak rapi. Ada yang tebal, ada yang tipis, ada yang miring. Tapi Kiana tidak peduli. Yang penting terpotong.

​Sekarang tantangan terberat: Buntut Sapi.

​Daging keras dan bertulang itu harus diempukkan. Resep bilang pakai panci presto.

​Kiana menatap panci presto logam yang besar dan berat itu dengan tatapan horor. Dia pernah dengar cerita panci presto meledak dan menghancurkan plafon rumah.

​"Masukin daging. Masukin air. Tutup," gumam Kiana, mengikuti instruksi video.

​Dia memasukkan buntut sapi ke dalam panci, menuangkan air sampai penuh—terlalu penuh sebenarnya—lalu berusaha menutup tutup panci yang berat itu.

​Krak. Krek.

​Susah sekali. Karetnya tidak pas.

​"Masang tutup panci saja nggak becus," komentar Bu Laras lagi, bagaikan komentator sepak bola yang menyebalkan. "Gavin pasti kelaparan malam ini."

​"Diam atau Ibu saya jadikan bahan kaldu," balas Kiana tanpa sadar saking emosinya.

​"Apa kamu bilang?!" Bu Laras melotot.

​"Nggak. Saya bilang apinya harus biru," elak Kiana cepat. Akhirnya tutup panci itu terkunci. Dia menyalakan kompor.

​Sekarang menu kedua: Perkedel Kentang.

​Kentang sudah direbus (untungnya berhasil, karena merebus kentang tidak butuh IQ tinggi). Sekarang harus dihaluskan dan dicampur bumbu.

​Kiana menumbuk kentang yang masih sangat panas itu di cobek batu. Uap panas menerpa wajahnya, membuat make-up-nya luntur dan rambutnya lepek. Keringat bercucuran di lehernya. Apron mahalnya yang bertuliskan 'Kiss the Cook' sudah penuh noda tepung karena Kiana memasukkan tepung.

​"Garam. Merica. Bawang goreng," Kiana melempar bumbu asal-asalan. Dia tidak punya feeling takaran.

​Lalu telur.

​Kiana memecahkan telur. Cangkangnya ikut masuk ke adonan.

​"Sialan," umpat Kiana, memunguti pecahan cangkang telur yang licin di antara adonan kentang yang lengket.

​Setelah berjuang selama tiga puluh menit, adonan perkedel siap digoreng.

​Kiana memanaskan minyak di wajan. Dia menuangkan minyak terlalu banyak. Apinya terlalu besar.

​Minyak mulai berasap.

​Kiana membulatkan adonan perkedel dengan tangan yang gemetar, lalu—karena takut kecipratan—dia melempar bulatan perkedel itu ke dalam wajan dari jarak jauh.

​PLUNG!

​CRES!

​Minyak panas muncrat kemana-mana, mengenai dinding dapur, lantai, dan lengan Kiana.

​"Panas!" pekik Kiana, melompat mundur.

​Perkedel di dalam wajan mendesis ganas. Minyaknya berbuih aneh karena adonan Kiana terlalu basah.

​"Kecilkan apinya! Gosong itu!" teriak Bu Laras dari meja makan, tapi dia tidak beranjak membantu. Dia justru terlihat menikmati penderitaan Kiana.

​Kiana buru-buru memutar tombol kompor. Tapi karena panik, dia malah memutarnya ke arah yang salah. Api membesar.

​Asap hitam mulai mengepul dari wajan. Bau gosong menyengat hidung.

​"Aduh! Aduh! Balik! Balik!" Kiana menyambar sutil, mencoba membalik perkedel yang malang itu.

​Tapi perkedelnya hancur. Buyar menjadi remah-remah kentang gosong yang berenang di lautan minyak hitam.

​Gagal total.

​Kiana mematikan kompor dengan napas tersengal. Dia menatap wajan itu dengan mata berkaca-kaca.

Perkedelnya jadi bubur minyak. Sop buntutnya belum matang-matang dan panci prestonya mulai mengeluarkan bunyi mendesis yang menakutkan. Nguuung... nguuung...

​Ini bencana.

​Dia bisa mengelola ribuan kontainer logistik melintasi samudra, tapi dia tidak bisa menggoreng kentang?

​Kiana merasa harga dirinya diinjak-injak oleh sebutir kentang.

​"Menyedihkan," suara Bu Laras terdengar lagi. "Saya sudah bilang, kan? Kamu nggak punya bakat. Kamu cuma bikin malu keluarga Ardiman."

​Kiana berbalik, memegang sutil erat-erat, siap melempar benda itu ke wajah mertua Gavin tersebut.

​"Saya belum selesai, Bu! Masih ada waktu satu jam sebelum makan malam!" seru Kiana defensif, meski dalam hati dia ingin menangis.

​Sementara itu, di halaman depan.

​Mobil Gavin memasuki carport dengan kecepatan pelan. Tidak seperti biasanya yang gesit.

​Gavin mematikan mesin, tapi dia tidak langsung turun. Dia menyandarkan kepalanya di setir kemudi, memejamkan mata rapat-rapat.

​Tubuhnya menggigil hebat. Giginya beradu, gemeretuk menahan dingin, padahal suhu Jakarta sedang panas-panasnya.

​"Sakit banget..." rintih Gavin, mencengkeram perutnya.

​Efek asap kebakaran gudang kemarin ternyata lebih parah dari dugaannya. Paru-parunya terasa sesak. Ditambah lagi stres memikirkan kerugian perusahaan Kiana, ancaman Radit ke Kiana, dan drama ibu mertuanya di rumah. 

Semua itu memicu asam lambungnya naik drastis, bercampur dengan demam tinggi akibat kelelahan ekstrem.

​Gavin memaksakan diri membuka pintu mobil. Kakinya goyah saat menginjak tanah. Dunia serasa berputar miring.

​Dia butuh kasur. Dia butuh istirahat. Dan entah kenapa, di tengah rasa sakitnya, dia butuh melihat Kiana. Dia ingin memastikan istrinya baik-baik saja setelah konfrontasi dengan Bu Laras tadi pagi.

​Gavin menyeret langkahnya menuju pintu depan. Dia membuka pintu dengan tangan gemetar.

​Rumah itu bau.

​Bukan bau aromaterapi lavender yang biasa. Tapi bau hangus yang menyengat, bercampur bau bumbu dapur yang tumpah ruah.

​"Uhuk..." Gavin terbatuk, menahan mual.

​Dia mendengar suara ribut dari arah dapur. Suara denting panci, suara desis minyak, dan suara ibu mertuanya yang sedang... mengomel?

​Gavin berjalan tertatih-tatih melewati ruang tamu, menuju sumber suara. Setiap langkah terasa berat, seolah kakinya dipasangi pemberat besi. Keringat dingin membasahi kemeja kerjanya yang sudah kusut.

​Dia sampai di ambang pintu dapur yang terbuka lebar.

​Pemandangan di depannya membuatnya terpaku sejenak, mengabaikan rasa sakitnya.

​Dapur mewahnya hancur lebur.

​Tepung berserakan di lantai seperti salju kotor. Asap tipis mengepul dari wajan di kompor. Kulit sayuran bertebaran di mana-mana.

​Dan di tengah kekacauan itu, ada Kiana.

​Istrinya yang biasa tampil flawless dan elegan, kini terlihat seperti korban ledakan. Rambutnya awut-awutan, ada noda tepung di pipi dan hidungnya, apronnya kotor oleh cipratan minyak dan saus. Jari telunjuknya dibalut plester yang sudah rembes darah.

​Kiana sedang berdiri di depan kompor, memegang sutil dengan putus asa, menatap panci presto yang mendesis-desis seolah benda itu adalah alien yang mau menyerang bumi.

​Di sisi lain, ibu mertuanya—Bu Laras—duduk santai sambil menunjuk-nunjuk Kiana dengan tongkatnya.

​"Itu apinya kegedean! Kamu mau bakar rumah cucu saya lagi?!" omel Bu Laras.

​"Saya lagi berusaha, Bu! Diam sedikit kenapa sih?!" balas Kiana dengan suara serak menahan tangis.

​Hati Gavin mencelos melihatnya.

​Kiana melakukan ini demi dia? Demi membuktikan diri pada Laras, kalau dia layak jadi ibu sambung Alea? Kiana yang anti-dapur, rela kotor dan terluka demi harga diri keluarga mereka?

​Rasa sayang yang aneh membuncah di dada Gavin, mengalahkan rasa sakit fisiknya sesaat. Dia ingin memeluk wanita keras kepala itu. Dia ingin menyuruh ibu mertuanya diam.

​"Kiana..." panggil Gavin, suaranya lemah, nyaris tak terdengar tertelan suara desis panci.

​Kiana tidak mendengarnya. Dia sibuk mematikan kompor karena panci presto mulai berguncang menakutkan.

​Gavin melangkah masuk ke dapur. Dia harus menghentikan ini. Dia harus bilang pada Kiana kalau dia tidak perlu memasak. Dia cuma butuh Kiana, bukan sop buntut.

​"Kiana... berhenti..." Gavin mencoba bicara lebih keras, melangkahkan kakinya ke lantai dapur yang licin oleh tepung dan minyak.

​Kiana yang mendengar suara itu, menoleh cepat.

​"Gavin?" Kiana terkejut melihat kondisi suaminya.

​Wajah Gavin pucat pasi seperti kertas. Bibirnya biru. Matanya cekung dan sayu. Dia berdiri terhuyung-huyung, satu tangan berpegangan pada dinding, satu tangan memegangi perutnya.

​"Kamu... kenapa?" Kiana menjatuhkan sutil yang dipegangnya. Klang!

​Gavin mencoba tersenyum menenangkan, tapi yang keluar hanyalah ringis kesakitan.

​"Nggak usah... masak..." bisik Gavin. "Aku nggak..."

​Pandangan Gavin tiba-tiba menyempit. Cahaya lampu dapur meredup, berubah menjadi lorong hitam yang panjang. Lantai di bawah kakinya seolah hilang.

​Kesadarannya putus.

​Tubuh besar dan kekar itu limbung ke depan, kehilangan daya topang sepenuhnya.

​"GAVIN!" teriak Kiana histeris.

​Kiana berlari menerjang, mencoba menangkap tubuh suaminya, tapi dia kalah cepat dan kalah tenaga.

​BRUK!

​Bunyi hantaman tubuh manusia yang jatuh ke lantai keras terdengar mengerikan, menggema di seluruh dapur.

​Gavin ambruk telungkup di antara tumpahan tepung dan kulit bawang, tepat di dekat kaki Kiana. Dia tidak bergerak.

​"Gavin!" Kiana menjerit, jatuh berlutut di samping tubuh suaminya yang tak sadarkan diri. Dia membalikkan badan Gavin.  Badannya sangat panas.

​Bi Inah menjerit di pojok.

​Bu Laras menjatuhkan cangkir tehnya hingga pecah berantakan. PRANG!

​"Gavin!" teriak Bu Laras panik, berusaha bangun dari kursinya.

​Tapi Kiana tidak peduli pada siapa pun. Dia menepuk-nepuk pipi Gavin dengan tangan yang berlumuran tepung dan bau bawang. Air mata yang tadi ditahannya mati-matian, kini tumpah membasahi wajah Gavin.

​"Gavin! Bangun! Jangan bercanda!" isak Kiana, mengguncang bahu suaminya. "Gavin! Jangan mati! Kamu janji mau makan masakan aku! Bangun bodoh!"

​Tapi Gavin diam saja. Napasnya pendek-pendek dan cepat.

1
Savana Liora
mantap kak
Savana Liora
asiaaapp
Nor aisyah Fitriani
uppp teruss seharian cuma nungguin kirana
Nischa
yeayyy akhirnya kiana sadar juga dengan perasaan nyaaa, uhhh jadi ga sabar kelanjutannya😍
Savana Liora
😄😄😄 iya, mantap kiana ya
shenina
😍😍
shenina
woah badass kiana 👍👍
shenina
🤭🤭
Savana Liora: halo. terimakasih udah baca
total 1 replies
shenina
👍👍
Savana Liora: makasih ya 😍😍
total 1 replies
Savana Liora
hahahaha
Nor aisyah Fitriani
upp teeuss thorr baguss
Savana Liora: asiaaap kk
total 1 replies
Nischa
lanjut thorr, ga sabar kelanjutannya🥰
Savana Liora: sabar ya. lagi edit edit isi bab biar cetar
total 1 replies
Nischa
cieee udah ada rasa nih kyknya, sekhawatir itu sm Gavin😄
Savana Liora: hahahaha
total 1 replies
Nor aisyah Fitriani
upp kak cerita nya baguss
Savana Liora: bab 26 udah up ya kak
total 1 replies
Nor aisyah Fitriani
baguss bangett
Savana Liora: makasih kak.😍 selamat membaca ya
total 1 replies
Feni Puji Pajarwati
mantap Thor...ceritanya gak kaleng2...maju terus buat karya nya...semangat...
Savana Liora: terima kasih supportnya kakak
total 1 replies
Iqlima Al Jazira
next thor👍
vote untuk mu
Savana Liora: makasih kak. happy reading ya
total 1 replies
Iqlima Al Jazira
🤩🤩🤩
Savana Liora: Terima kasih dah mampir kak
total 1 replies
Iqlima Al Jazira
🤭🤭
Savana Liora: iya kak. harus tetap semangat. 💪
total 4 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!