Apa dasar dalam ikatan seperti kita?
Apa itu cinta? Keterpaksaan?
Kamu punya cinta, katakan.
Aku punya cinta, itu benar.
Nyatanya kita memang saling di rasa itu.
Tapi kebenarannya, ‘saling’ itu adalah sebuah pengorbanan besar.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eka Magisna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episot 18
Kamar yang dulu Puja tempati sebelum menikah ada di lantai dua, Kavi ada di sana sekarang. Mengedar langkah dan pandangan meneliti semua bagian di ruangan semi monokrom itu. Ranjang rapi dengan sprei dan selimut senada hitam bercorak tetesan hujan.
Kavi ingat, dari dulu semua barang milik Puja rata-rata berwarna hitam, ternyata sekarang pun masih. Seperti penulisnya, cewek itu terjangkit virus segala berwarna hitam, kecuali untuk kulit tubuh dan aktor Korea dambaan hati. Weeeee!
Dan hujan, satu hal lain selain warna hitam yang keren itu disukai Puja.
Si gendut mata kodok tidak akan peduli apa pun termasuk buku pelajarannya akan basah. Bila hujan turun, anak itu akan langsung terjun. Tertawa-tawa dan berteriak seperti orang gila seraya melompat-lompat.
Mengingat masa itu, Kavi menggeleng sambil terkikik lucu dengan suara pelan.
Melupakan hitam dan tetesan hujan di atas seprei, perhatian Kavi bergerak pada hal lain.
Banyak koleksi foto-foto Puja saat bernyanyi sebagai Mocca di berbagai kafe, dia menanggapi itu dengan senyuman kecut.
Beberapa saat lalu dirinya sungguh jatuh cinta pada wanita itu saat awal dipertemukan. Mocca yang bersinar membuatnya sulit berpaling. Namun langsung luntur perasaan itu sekaligus, saat mengetahui bahwa Mocca ternyata adalah Puja.
Entah harus menyesali dengan cara apa, wanita itu bahkan kini telah dinikahinya.
Pandangan Kavi beralih ke rak putih berisi ragam jenis buku dan pernak-pernik. Mula dari kumpulan novel, komik, majalah musik, hingga boneka-boneka kecil tiruan tokoh animasi, ada doraemon hingga olaf si boneka salju, dia menatap tanpa menyentuh.
"Lu masih kekanakkan aja," komentarnya nyinyir, mengingat usia Puja kini menanjak angka 27.
Sampai kemudian pasang matanya menemukan sesuatu yang mencurigakan. Sebuah bingkai foto yang ditelungkupkan di susunan rak paling bawah ditutupi sebuah buku, seperti sengaja disembunyikan.
Mengikuti rasa penasaran, Kavi mengambil vas foto itu lalu membaliknya.
Terpampang gambaran pose yang secara langsung membulatkan bola matanya. Walaupun nampak usang dan sedikit berdebu, dia sangat mengenali siapa dua sosok bertabrakan ekspresi yang ada di dalam bingkai berkaca itu.
"Ini ... dia masih simpen ini."
Adalah foto dirinya bersama Puja yang diambil saat kelulusan SMA oleh Bening, ibunya, bertahun silam.
Terlihat di potret itu wajahnya cemberut karena terpaksa mengikuti keinginan sang ibu untuk berfoto bersama Puja, sedangkan Puja sendiri nampak bahagia dengan senyuman lebar tanpa dibuat-buat.
"Dulu, gua bahkan gak mau liat hasilnya pas Mama tunjukkin," gumam Kavi.
Itu sedikit jahat jika diingat. Dia tersenyum sumbang, mengingat kenangan yang baginya tidak patut untuk dikenang, kemarin. Tapi sekarang jadi tak yakin dengan statement yang dibuatnya sendiri itu.
Saat itu Bening bersikap adil, foto dibuat menjadi dua dengan gaya berbeda tipis. Satu untuk Kavi, satunya lainnya untuk disimpan oleh Puja sebagai kenangan.
Berbeda dengan Puja yang menyimpan baik, Kavi merobek foto itu hingga menjadi remahan kecil dan berhambur, lalu membuangnya ke tempat sampah tanpa sepengetahuan siapa pun. Dia tidak ingin ada kenangan buruk di masa depan nanti, mengingat Puja bukan bagian terbaik.
Melihat foto itu sekarang, perasaan Kavi ternyata tak sama lagi. Dia mendapati dirinya telah berubah. Seperti kerinduan akan satu hal yang bahkan dia sendiri sulit mendeskripsikan.
"Kavi!"
Suara itu sontak mengejutkannya. Foto di tangan segera dengan cepat ditaruhnya kembali ke tempat asal, lalu membalik badan. "Puja, udah selesai?" Gugup dia bertanya, takut ketahuan.
Puja mengangguk. Dia baru saja kembali dari lantai satu untuk mandi. Kamar mandinya di kamar ini tidak berfungsi, tak mau keluar air. Dari matanya, tidak semuram tadi.
"Kamu terkejut aku masih menyimpan foto konyol itu?"
Kavi tersentak, ternyata Puja melihatnya menatap foto lama mereka. "Oh, foto itu ...." Gelagapan dan garuk-garuk kepala. "I-iya. Gua cukup terkejut. Lu ... ternyata masih simpen aja."
Puja tersenyum kecut, lalu melangkah melewati lelaki itu untuk menghampiri meja rias di samping ranjang. "Cuma mau aja," jawabnya sesederhana itu. Dia menyalakan pengering rambut.
"Alasannya?" tanya Kavi, entah basa-basi untuk membuang sikap yang kaku, atau ingin menggali yang sebenarnya. Dia bergerak ke arah tempat tidur lalu duduk di bagian ujung. Gerak-gerik Puja yang mulai sibuk mengeringkan rambut basahnya dia pandangi.
"Apa semua orang perlu alasan khusus untuk menyimpan sebuah foto?" Puja menjawab dengan pertanyaan.
Kavi terdiam sambil berpikir, apa kiranya jawaban yang tepat untuk pertanyaan itu. Namun sebelum mendapatkan, Puja sudah lebih dulu menyambung, "Itu cuma foto SMA. Aku menyimpannya karena gak punya kenangan lain, kenangan bahwa aku pernah seburuk itu.
Jawaban itu membuat Kavi melengak.
"Iya 'kan, Kavi? Aku memang seburuk itu dulu, bahkan sampe sekarang. Terutama di mata kamu.”
Tertampar kedua kali, Kavi merasakan obrolan ini mulai menyeretnya ke dalam ruang yang membuatnya seperti seorang dengan tingkat ketololan melegenda.
Baru tadi dia mengatakan ingin berubah menjadi suami yang pantas untuk Puja di hadapan Sedayu ibu mertuanya, tapi sekarang justru terjebak dalam bidang permainannya sendiri.
Bayangan kenangan yang berlalu mengitari pikir dan pandangannya hingga serasa 'tak ada cara membela diri. Dia banyak salah, tapi ... Puja juga demikian.
Kembali dia menelan ludah, pikirannya mendorong pada sesuatu yang membuatnya begitu membenci wanita itu dulu.
"Lupakan!" Puja memotong tiba-tiba, karena pria itu malah terdiam. Menarik tema dari putaran masa lalu mereka.
"Ya, lu bener," tukas Kavi menyetujui. "Gak baik mengenang masa lalu. Yang lebih baik sekarang adalah ... gua bantuin lu keringin ambut." Akhirnya menemukan cara menghindar dari perasaan yang mulai kacau. Dengan cepat merebut hair dryer di tangan Puja.
Puja tidak menolak, membiarkan Kavi mengambil alih apa yang dilakukannya. Tentang ujung bahasan, dia lekas paham situasinya, Kavi tak ingin membuka luka lama karena dirinya.
Benar, lebih baik tidak memperpanjang walaupun begitu banyak kata yang ingin Puja sampaikan tentang masa lalu yang mengganjal itu. Akan tak baik, ketenangan yang baru terancang ini pasti porak poranda. Yang terjadi hari ini baginya sudah cukup mengerikan dan kebaikan Kavi yang mendadak adalah setetes obat penenang.
Mengingat itu, pikiran Puja langsung tertuju pada satu hal tentang kejadian di lapangan basket beberapa jam yang lalu itu.
"Um, Kavi, aku mau tanya," katanya, menatap lelaki itu melalui cermin besar di hadapannya.
"Ya. Tanya aja," tanggap Kavi sembari terus sibuk dengan tugas baru yang justru memberi kesan. Suaranya terdengar santai.
Rambut panjang tebal dan wangi milik Puja yang saat ini dibelai-belainya lumayan menyihir hingga fokusnya dipertanyakan.
"Gimana kamu bisa dateng tepat waktu buat selamatin aku di gudang tadi?"
jadi lupakan obsesi cintamu puja..
ada jim dan jun, walaupun mereka belum teruji, jim karena kedekatan kerja.. jun terkesan memancing di air keruh..