"Aku ingin kau menjadi orang yang menyusuinya."
Sienna menatap pria di hadapannya dengan mata membelalak, yakin bahwa ia pasti salah dengar. “Maaf, apa?”
Arsen Ludwig, pria yang baru diperkenalkan sebagai sponsor klub ice skatingnya, menatapnya tanpa ekspresi, seolah yang baru saja ia katakan adalah hal paling wajar di dunia.
“Anakku, Nathan. Dia menolak dot bayi. Satu-satunya cara agar dia mau minum susu adalah langsung dari sumbernya.”
Jantung Sienna berdebar kencang.
“Aku bukan seorang ibu. Aku bahkan belum pernah hamil. Bagaimana bisa—”
“Aku tahu,” potong Arsen cepat. “Tapi kau hanya perlu memberikan dadamu. Bukan menyusuinya secara alami, hanya membiarkan dia merasa nyaman.”
Ini adalah permintaan paling aneh yang pernah ia terima. Namun, mengapa ia tidak langsung menolaknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Alensvy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18
...****************...
"Oke, sekarang kita serahkan Nathan ke pelayan dulu," kataku sambil menggendong si kecil yang sudah kenyang.
Arsen mengangguk dan membuka pintu, membiarkan pelayan khusus yang tadi ia pesan masuk. Wanita itu dengan cekatan mengambil Nathan dari gendonganku, lalu menggendongnya dengan lembut.
"Kalau ada apa-apa, langsung hubungi," kata Arsen pada pelayan itu.
Wanita itu mengangguk sopan. "Baik, Tuan."
Aku menatap Nathan sebentar sebelum akhirnya berbalik. "Ayo cepat, sebelum aku berubah pikiran."
Kami pun pergi ke tempat pengukuran baju. Sebuah ruangan luas dengan rak-rak berisi kain dan pakaian menggantung rapi di dalamnya. Seorang pria berusia sekitar tiga puluhan langsung menyambut kami dengan senyum profesional.
"Akhirnya datang juga bintang kita," katanya sambil merentangkan tangan ke arahku.
Aku mengangkat sebelah alis. "Jangan terlalu berlebihan."
Pria itu terkekeh kecil, lalu mulai bekerja. Tangannya yang cekatan mengukur tubuhku dengan meteran kain, memutar tubuhku ke kanan dan kiri, sesekali mengangguk-angguk sendiri. Aku membiarkan dia bekerja, sudah terbiasa dengan proses seperti ini.
Di sudut ruangan, Arsen berdiri dengan ekspresi datarnya, tapi aku melihat alisnya berkerut tipis.
"Jangan bilang kau tidak suka melihat pria lain menyentuhku," godaku tanpa menoleh.
"Aku tidak bilang begitu," jawabnya singkat.
Aku terkikik. "Tapi ekspresi wajahmu bilang lain."
Arsen tidak membalas. Dia hanya melipat tangannya di dada, tetap dengan tatapan tajamnya. Aku tersenyum kecil. Entah kenapa, melihat ekspresi itu malah membuatku sedikit terhibur.
"Sekarang waktunya mencoba bajunya," kata desainer itu sambil menyodorkan beberapa pilihan gaun figure skating yang sudah disiapkan.
Aku mengambil salah satunya—gaun berwarna biru dengan detail kristal di bagian dadanya. Bahannya ringan, pas untuk menari di atas es. Setelah berganti, aku keluar dari ruang ganti dan berdiri di depan cermin besar.
"Cocok sekali di tubuhmu," komentar si desainer dengan puas. "Tapi kita lihat bagaimana jatuhnya saat kau bergerak."
Aku mengangguk. "Boleh juga."
Salah satu staf menyerahkan sepasang sepatu ice skating padaku. Aku duduk di bangku panjang dan mulai memasangnya dengan cekatan. Setelah siap, aku berjalan menuju matras es buatan yang sudah disediakan di dalam ruangan ini. Memang bukan es asli, tapi cukup licin untuk latihan gerakan ringan.
Aku menarik napas, lalu mulai meluncur dengan gerakan anggun. Sesekali memutar tubuh, melompat kecil, dan mendarat dengan ringan. Gaunnya terasa nyaman, tidak menghambat gerakan sama sekali.
"Bagaimana?" tanyaku sambil menoleh ke arah Arsen yang masih berdiri di sudut ruangan.
Pria itu tidak langsung menjawab. Matanya memperhatikan setiap gerakanku, ekspresinya tetap datar, tapi ada sesuatu di sana—sesuatu yang tidak bisa kuartikan.
Akhirnya, dia hanya berkata, "Coba putaran sekali lagi."
Aku mengangkat bahu dan menuruti ucapannya. Aku berputar sekali lagi, kali ini lebih cepat, lalu berhenti dengan satu kaki terangkat sedikit.
"Bagus," komentar si desainer lebih dulu. "Aku rasa ini pilihan yang tepat untuk event nanti."
Aku mengangguk, merasa puas. Tapi yang lebih menarik perhatianku adalah Arsen yang sejak tadi tetap diam. Tatapan matanya masih tertuju padaku, tapi dia sama sekali tidak mengatakan apa-apa lagi.
...****************...
Aku turun dari matras es dan berjalan menuju kursi, membuka tali sepatu skating dengan cepat.
"Jadi ini yang akan kupakai nanti?" tanyaku pada desainer, menyandarkan tubuh di sandaran kursi.
"Iya, tapi kita tetap akan menyiapkan satu atau dua opsi cadangan," jawabnya sambil menyesuaikan bagian bahu gaun yang sedikit longgar. "Nanti akan ada sedikit penyesuaian di bagian ini."
"Oke, terserah kau saja. Aku percaya hasil kerjamu." jawabku.
"Aku suka klien yang tidak banyak protes," desainer itu tertawa kecil.
"Sudah? Bisa pulang?" tanyaku, menoleh ke Arsen yang masih berdiri di tempat yang sama sambil melipat tangan di dada.
"Kita pulang," angguknya singkat.
Aku beranjak dari kursi, tapi baru satu langkah, aku menyadari sesuatu. "Nathan gimana? Masih sama pelayan?" tanyaku cepat.
"Masih," jawab Arsen santai. "Aku percaya mereka. Lagipula, kita tidak pergi lama."
Aku menghela napas lega. Oke, kalau begitu.
Setelah mengganti pakaian dan kembali ke bajuku sendiri, aku mengikuti Arsen keluar dari ruangan. Pria itu berjalan di depanku, dengan langkah tegap dan postur santai.
Di perjalanan kembali ke hotel, aku sesekali melirik ke arahnya. Aku tidak tahu kenapa, tapi rasanya aneh melihatnya diam seperti ini. Biasanya dia selalu punya komentar, entah itu kritik atau sekadar candaan sarkastik. Tapi sekarang? Tidak ada.
"Kenapa kau diam saja?" tanyaku, memutuskan untuk bertanya.
"Tidak ada alasan khusus," jawab Arsen, menoleh sekilas sebelum kembali menatap ke depan.
"Kau tidak sedang merencanakan sesuatu yang aneh, kan?" curigaku, menyipitkan mata.
"Kau pikir aku punya waktu untuk hal seperti itu?" balasnya datar.
"Entahlah, kau itu pria penuh misteri. Aku tidak pernah bisa menebak apa yang ada di kepalamu."
Arsen tidak menanggapi, hanya terus berjalan sampai kami sampai di hotel. Aku memutuskan untuk tidak bertanya lebih jauh. Toh, kalau memang ada sesuatu yang mengganggunya, cepat atau lambat dia pasti akan bicara.
Setelah masuk ke kamar, suara tangisan Nathan langsung terdengar. Aku refleks menoleh dan melihat anak itu sedang digendong pelayan, wajahnya merah karena menangis.
"Apa yang terjadi?" tanyaku sambil mendekat.
"Dia terbangun beberapa menit yang lalu dan terus menangis. Kami sudah mencoba menenangkannya, tapi tidak berhasil," ujar pelayan itu dengan nada panik.
"Kau bawa dotnya?" tanyaku, menoleh ke Arsen setelah menatap Nathan.
Arsen menghela napas, lalu merogoh kantongnya dan mengeluarkan dot Nathan. Aku mengambilnya dan mencoba menenangkannya dengan menyodorkan dot itu.
Tapi Nathan menepisnya.
"Kenapa dia nggak mau?" tanyaku, mengernyit heran.
"Mungkin dia mau menyusu langsung darimu," ujar Arsen santai.
"Kau serius?" seruku, menatapnya dengan mata membesar.
"Dia biasanya begitu kalau sudah menangis terlalu lama," balasnya tenang.
"Baiklah," gumamku, menghela napas panjang.
Aku mengambil Nathan dari pelukan pelayan dan duduk di sofa, bersiap untuk menyusuinya. Arsen melipat tangan di dada, masih berdiri di dekat pintu, memperhatikanku dengan ekspresi yang sulit ditebak.
"Masuk aja, duduk di sini," kataku sambil melirik Arsen, menunjuk ke arah ranjang.
Arsen menurut tanpa banyak bicara, duduk di tepi ranjang. Nathan masih di pelukanku, mulai tenang setelah beberapa isapan. Aku menghela napas lega, setidaknya dia nggak rewel lagi.
Arsen mengulurkan tangan, mengusap kepala anaknya dengan lembut. Gerakannya pelan, penuh perhatian, kontras dengan wajah datarnya yang selalu terlihat tak peduli.
Aku mengangkat satu alis, lalu menyipitkan mata.
"Kau jangan lirik-lirik ke dadaku."
Arsen tersentak sedikit, lalu langsung berdeham, seolah-olah ingin menutupi kegugupannya.
"Aku nggak lirik."
"Hah?" Aku memutar bola mata. "Aku bisa lihat jelas ke mana arah matamu."
Arsen mengalihkan pandangan, pura-pura fokus ke Nathan. "Aku cuma lihat dia. Bukan kau."
Aku mendengus. "Ya, ya, alasan."
Arsen tidak membalas, hanya tetap mengusap kepala Nathan dengan pelan. Aku mencoba mengabaikannya, tapi tetap saja, suasana jadi aneh. Rasanya... berbeda. Seperti ada sesuatu di antara kami yang nggak biasa.
.
.
.
Next 👉🏻