Arsyi seorang wanita sederhana, menjalani pernikahan penuh hinaan dari suami dan keluarga suaminya. Puncak penderitaannya terjadi ketika anaknya meninggal dunia, dan ia disalahkan sepenuhnya. Kehilangan itu memicu keberaniannya untuk meninggalkan rumah, meski statusnya masih sebagai istri sah.
Hidup di tengah kesulitan membuatnya tak sengaja menjadi ibu susu bagi Aidan, bayi seorang miliarder dingin bernama Rendra. Hubungan mereka perlahan terjalin lewat kasih sayang untuk Aidan, namun status pernikahan masing-masing menjadi tembok besar di antara mereka. Saat rahasia pernikahan Rendra terungkap, semuanya berubah... membuka peluang untuk cinta yang sebelumnya mustahil.
Apakah akhirnya Arsyi bisa bercerai dan membalas perbuatan suami serta kejahatan keluarga suaminya, lalu hidup bahagia dengan lelaki baru?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rere ernie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter — 32.
Daniel melangkah masuk tanpa mengetuk. Pintu ruang kerja memang sudah terbuka, lampu hangat menyorot meja kayu dan dua sosok sedang berbicara ketika langkahnya memecah keheningan. Keduanya menoleh, pria yang duduk di samping Rendra menyunggingkan senyum tipis ketika melihat Daniel.
“Oh, jadi inilah ksatria Raisa,” cemooh pria itu santai. “Tak heran wanita itu terlihat sering galau... dan aku selalu kesulitan merebut hatinya.”
Senyum itu mengandung ejekan tapi nada suaranya ringan, seperti orang yang meremehkan luka orang lain.
Rendra menepuk bahu pria itu dengan santai. Brian, teman lama yang ternyata juga kenal Raisa. Dulu sempat menaruh hati pada wanita itu, tapi setelah ditolak Raisa ia hanya bisa menempatkan diri sebagai “teman.”
Tak pernah disangka, kabar tentang Raisa yang jatuh sakit setelah kematian Rio akan sampai ke telinganya. Ia menunggu lama untuk bisa bertemu Raisa, tapi karena Rendra menyembunyikan keberadaan wanita itu, ia memilih menghargai keputusan temannya itu. Hingga akhirnya, Raisa sendiri yang justru menghubunginya.
Daniel mengangkat alis, sorotnya tajam. “Jadi, kamu… pengagum Nona Raisa?”
Brian menoleh dengan tatapan tak kalah menusuk. “Seharusnya kau sudah tahu siapa aku. Bukankah semalam kau diam-diam memantau saat aku bertemu Raisa di gudang?”
Ketegangan seketika mengisi ruangan. Dua pria itu saling mengunci pandang, seolah menantang tanpa kata. Rendra hanya bisa memijit pangkal hidung, paham benar arah suasana ini.
“Daniel, kenalkan,” ucap Rendra akhirnya, mencoba menengahi. “Dia ini Brian, temanku. Raisa juga mengenalnya, begitu pula almarhum Rio. Hanya saja... Brian tidak termasuk dalam lingkaran pertemanan dekat kami bertiga.”
“Brian,” pria itu menyebutkan namanya sendiri dengan nada dingin. Bibirnya melengkung sinis. “Aku orang yang hidup di sisi gelap, dunia sepertiku tidak pantas untuk wanita sebaik Raisa. Tapi… yang lebih tidak pantas, adalah orang yang hanya berani mengawasi dari jauh.”
Sindiran itu jelas diarahkan pada Daniel.
Rendra menghela napas, merasa perlu menengahi rasa-rasanya yang mulai gaduh. Ia mengenal betul rasa cemburu semacam itu, dulu ia sendiri pernah merasakannya terhadap Rio. Jadi ia bisa membaca jelas apa yang kini dirasakan Daniel.
“Daniel, duduklah,” Rendra bersuara tegas. “Kau datang ke sini untuk bicara soal Raisa, bukan untuk berdebat.”
Dengan wajah masam, Daniel akhirnya menurut. Ia menarik kursi, duduk agak menjauh dari Brian lalu menoleh pada Rendra.
“Kenapa Tuan menyembunyikan Nona Raisa dari saya selama ini?” tanyanya, nada suaranya penuh tuntutan.
Rendra terdiam sejenak, lalu berkata tenang. “Bukan aku sengaja menutupinya darimu. Aku sendiri baru tahu keberadaan Raisa setelah menemukan kejanggalan pada istriku. Dari caranya bertelepon diam-diam, sampai jejak pengeluaran kartu yang mencurigakan… semuanya membawaku pada Raisa.”
Daniel mengerutkan kening, tatapannya masih tak puas. “Tapi kenapa Tuan justru memberitahu teman Tuan ini? Semalam dia bersama Nona Raisa. Sedangkan saya… tidak tahu apa-apa.”
Brian memotong, sengaja menambah bensin ke api. “Raisa yang menghubungiku, bukan Rendra. Wanita itu percaya padaku... lebih dari pada yang lain.”
Provokasi itu tersampaikan dengan nada penuh arti.
Mata Daniel menggelap, kecemburuan di dadanya seperti badai.
“Brian, kita tak di sini untuk menilai perasaan lama. Apa ada perkembangan dari pengobatan Raisa?”
"Sesuai keinginanmu, aku sudah berkonsultasi dengan banyak psikiater. Hasilnya jelas, kondisi Raisa belum pulih. Dengan syarat aku membantu dendamnya, dia mau minum obat teratur. Sebenarnya urusan Erlan atau Mita, sekali aku bergerak... semuanya akan hancur. Aku sengaja menahan laju karena Raisa butuh tujuan hidup. Kalau saja tujuan itu bisa dibelokkan ke pria baru...”
Brian lalu memandang ke arah Daniel. “Mungkin cinta baru itu bisa menyelamatkan Raisa dari kegelapan, baru kemudian dendamnya bisa ditarik dari hatinya.”
Rendra mengangguk, matanya menyipit penuh perhitungan. “Kau ada benarnya, dan sebenarnya Raisa tak perlu masuk benteng Mita. Apalagi ada Axel, playboy yang menganggap setiap perempuan hanyalah permainan. Menurutmu... Raisa sanggup bertahan di samping pria macam itu?”
"Apa maksudnya?” Daniel tiba-tiba gelisah, suaranya tercekat.
“Raisa sekarang sekretaris Axel, dan sejauh ini dia masih bertahan. Tapi siapa yang tahu apa yang bakal dilakukan Axel, dia bisa berusaha dengan segala cara untuk meniduri Raisa.”
Pernyataan itu mengundang reaksi, Daniel yang selama ini menjaga batas sebagai pelindung meledak marah.
Brak!
Daniel menghantam meja sampai gelas bergetar. “Dasar bajingan! Aku tak akan biarkan Raisa terluka! Hari ini juga aku bawa dia pergi!”
Rendra dan Brian saling bertukar pandang, ide yang sama tergambar jelas di wajah mereka.
“Kalau tak salah, malam ini Axel ada acara. Dia pasti bawa Raisa dan akan membuatnya mabuk... supaya Axel leluasa menidurinya.” Brian menyulut api dengan kata-katanya.
Panas merambati dada Daniel, tangan-tangannya mengepal.
“Kau mau diam saja? Seperti semalam, hanya mengawasi dari jauh?” Brian menyindir.
“Aku memang hanya mengawasi dari jauh, karena takut dia lari lagi dariku. Tapi aku tak akan pernah membiarkan Raisa jatuh ke tangan pria mesum itu,” Daniel menjawab tegas, matanya menyala penuh tekad.
Rendra mengeluarkan selembar undangan, memberi keputusan dengan lembut namun pasti. “Bawa undangan ini, pergilah. Tapi jaga sikapmu, tidak usah gegabah. Kau akan aku angkat jadi wakil-ku, jadi dalam acara ini... Kau resmi mewakili aku.“
“Ingat, hanya cinta yang bisa melepaskan dendam Raisa. Jika kau gagal, aku yang akan maju.” Brian berkata dengan tekanan, namun maksudnya jelas. Dia memberikan kesempatan pada Daniel untuk membuat Raisa jatuh cinta.
Daniel menatap Brian dengan dingin, lalu berbalik dan melangkah pergi. Tekadnya bisu namun nyata. Ia akan membuat Raisa jatuh cinta padanya, meski harus dengan tipu daya.
Lalu ia melangkah keluar, pintu menutup dengan sendirinya. Di belakangnya, ruang kerja tetap hening, hanya sisa-sisa ketegangan dan keputusan yang baru saja diambil, bergaung lembut hingga ruang terasa dingin.
Malam itu, di sebuah ballroom hotel mewah.
Lampu kristal bergemerlap, musik klasik mengalun lembut dan tamu-tamu penting berdatangan dengan gaun dan jas terbaik mereka. Di antara kerumunan Axel muncul dengan senyum congkak, tangannya menuntun Raisa yang tampil anggun dalam gaun sederhana warna biru tua.
Daniel sudah tiba lebih dulu, berbalut setelan hitam yang rapi. Ia berdiri di sudut ruangan, matanya tak pernah lepas dari sosok Raisa. Segala hiruk pikuk pesta tak lebih dari bayangan, yang nyata hanya dirinya dan wanita itu.
Axel berbisik di telinga Raisa, cukup keras hingga membuat wanita itu menegang.
“Selina, kau cantik malam ini. Jangan khawatir, aku akan memperkenalkan mu pada banyak orang penting. Kalau kau bermain cantik, posisimu di sisiku bisa lebih dari sekadar sekretaris.” Nada suara Axel penuh permainan.
Raisa tersenyum tipis, menyembunyikan rasa muak yang merambati perutnya.
Lalu tiba-tiba ia bisa merasakan lagi, perasaan aneh seperti ada yang mengawasi. Pandangan mata yang tajam padanya. Raisa menghela napas panjang, mencoba mengabaikan.
'Bukan Daniel lagi... kan?'
Tapi instingnya menyakininya.
Sementara itu, Daniel mengepalkan jemarinya di balik meja minuman. Tatapannya mengeras saat Axel menuntun Raisa semakin dekat ke kerumunan pejabat dan pengusaha yang sudah tampak mabuk oleh gelas-gelas champagne. Ia tahu, hanya tinggal menunggu waktu sampai Axel memanfaatkan situasi.
“Kalau perlu, aku akan menerobos,” gumamnya lirih.
Tak lama kemudian Axel mengangkat gelas pada mereka.
“Selamat malam! Malam ini bukan hanya pesta bisnis, tapi juga selebrasi. Karena...” Ia meraih tangan Raisa dan menariknya ke depan. “Aku punya sekretaris baru yang cerdas dan... luar biasa cantik. Dia adalah Selina!”
Seketika sorakan dan tepuk tangan menggema. Raisa terperangah, tidak menyangka dirinya dijadikan bahan pameran. Pipinya memanas, tapi ia menunduk sopan mencoba menutupi keterpaksaan yang jelas terpampang.
Daniel hampir saja melangkah maju saat itu juga, namun menahan diri. Ia harus mencari momen yang tepat dan tidak gegabah.
Setelah perkenalan itu, Axel membawa Raisa ke meja bundar di tengah. Gelas wine dituang tanpa henti. Raisa menolak halus, tapi Axel menatapnya tajam seperti memberi ancaman tak terlihat.
“Minumlah, Selina. Kau tidak ingin aku terlihat buruk di depan para kolegaku, kan?” suaranya rendah namun berbahaya.
Dengan terpaksa, Raisa meraih gelas itu. Jemarinya bergetar halus. Tepat sebelum bibirnya menyentuh tepi kaca, suara rendah dan dingin memotong.
“Cukup.”
Raisa mendongak, jantungnya seakan berhenti berdetak. Di hadapannya Daniel berdiri, aura dingin pria itu begitu terasa.
Axel menyipitkan mata, mendesis. “Kau siapa?! Berani__”
“Saya hanya ingin bergabung, dan kebetulan... saya tidak suka para pria yang tidak menghargai wanita.“ Potong Daniel, suaranya tegas dan dingin.
Raisa merasa kebingungan bercampur aduk. Ia ingin berteriak agar Daniel pergi, tapi tubuhnya justru bergetar oleh rasa aman yang tiba-tiba muncul. Tatapan Daniel... sama seperti dulu, saat ia masih percaya pada pria itu.
Suasana ballroom menegang.
Tamu-tamu mulai berbisik, beberapa menonton dengan penuh rasa ingin tahu.
Axel menaruh gelasnya dengan keras di atas meja. “Kau cari mati, hah?!”
Daniel tidak bergeming, ia maju satu langkah berdiri tepat di antara Axel dan Raisa.
harusss lebih kuatttt
semangat
lanjuuut