Ibu Pengganti Anak Sponsor Ku
...****************...
Udara dingin di dalam ruang latihan membuat napasku berembus tipis. Kakiku meluncur di atas es, mengikuti irama musik yang mengalun pelan. Tanganku terulur, tubuhku berputar, dan saat momen yang tepat tiba—aku melompat.
Satu. Dua. Tiga putaran di udara.
Mendarat mulus.
Aku tersenyum kecil. Rasanya puas setiap kali gerakanku berjalan sempurna. Lelah? Pasti. Tapi ada sesuatu yang membuatku terus ingin menari di atas es—sebuah perasaan yang sulit dijelaskan.
Tepukan pelan terdengar di belakangku. Aku menoleh dan melihat Coach Bram berdiri di dekat pintu masuk, tangan terlipat di dada dengan ekspresi seperti biasa—setengah puas, setengah serius.
“Ada tamu buat kamu,” katanya.
Aku mengernyit. “Siapa?”
Coach Bram menoleh ke belakang, memberi isyarat pada seseorang untuk masuk. Lalu, muncul seorang pria tinggi dengan jas hitam yang pas di tubuhnya. Langkahnya santai tapi tegas, auranya… entah kenapa terasa dingin.
Matanya abu-abu gelap, tajam seperti sedang mengamati mangsa. Wajahnya kaku, nyaris tanpa ekspresi.
“Sienna, ini Arsen Ludwig. Sponsor barumu,” ujar Coach Bram.
Aku mengerjap. Sponsor?
Arsen mengulurkan tangan, dan aku sedikit ragu sebelum akhirnya menjabatnya. Genggamannya kuat, dingin—persis seperti kesan pertama yang kudapat darinya.
“Senang bertemu denganmu,” katanya datar.
Aku mengangguk kecil.
“Senang bertemu juga,” balasku.
Pria itu diam sebentar, menatapku seolah sedang menilai sesuatu. Aku berusaha tetap tenang, meskipun rasanya sedikit canggung.
“Jadi… sponsor?” tanyaku akhirnya.
Arsen mengangguk kecil. “Aku tertarik dengan potensimu.”
Aku melirik Coach Bram, mencari kepastian.
“Maksudnya… dia bakal biayain aku?”
Coach Bram menghela napas. “Kurang lebih begitu. Arsen bersedia mendanai segala kebutuhan latihan dan kompetisimu. Dengan syarat tertentu, tentunya.”
Aku kembali menatap pria di hadapanku. “Syarat?”
Arsen tetap tak menunjukkan ekspresi apa pun.
“Aku ingin kau fokus. Tidak ada gangguan. Aku tidak akan membuang uang untuk seseorang yang setengah-setengah.”
Aku menaikkan alis. “Aku tidak pernah setengah-setengah.”
“Bagus,” balasnya singkat.
Aku menunggu dia mengatakan sesuatu lagi, tapi yang ada justru keheningan. Pria ini… dingin banget. Bahkan aku merasa berbicara dengan tembok batu.
“Jadi, kau bakal bayar semua biaya latihanku? Kostum? Akomodasi?” tanyaku, masih mencoba mencerna semuanya.
Arsen mengangguk. “Dan sebagai gantinya, aku ingin melihat hasil.”
Aku menggigit bibir. Tawaran ini terlalu bagus untuk ditolak, tapi juga terasa agak aneh. Pria ini tidak tampak seperti seseorang yang tertarik dengan dunia ice skating.
“Apa alasanmu melakukan ini?” tanyaku akhirnya.
Arsen menatapku lama sebelum menjawab, suaranya tetap datar. “Aku punya alasanku sendiri.”
Oke… jawaban yang sangat tidak menjawab.
Aku melirik Coach Bram lagi, dan dia hanya mengangguk kecil, memberi isyarat bahwa ini kesempatan yang sebaiknya tidak aku sia-siakan.
Jadi, dengan sedikit keraguan tapi juga rasa penasaran yang besar, aku mengulurkan tangan. “Baiklah, aku terima.”
Arsen menjabat tanganku sekali lagi. Genggamannya sama seperti tadi—dingin, kuat, dan terasa seperti sebuah perjanjian yang lebih besar dari yang aku sadari.
...****************...
Aku melirik tangan yang baru saja kujabat, masih sedikit sulit percaya dengan apa yang baru terjadi. Ini bukan pertama kalinya aku mendapat sponsor, tapi biasanya mereka hanya perusahaan atau brand olahraga yang ingin menempelkan logo mereka di kostumku.
Tapi Arsen Ludwig? Dia bukan dari dunia ice skating. Aku bahkan tidak yakin dia benar-benar peduli dengan olahraga ini.
Namaku Sienna Rosella. 27 tahun. Seorang figure skater profesional yang hidupnya sudah dihabiskan di atas es sejak kecil.
Aku sudah memenangkan beberapa kompetisi di tingkat nasional, tapi itu belum cukup. Aku butuh lebih. Aku ingin bertanding di tingkat internasional dan membuktikan bahwa aku bisa bersaing dengan atlet kelas dunia.
Itulah kenapa aku di sini, berlatih lebih keras dari siapa pun. Tujuanku jelas—menjadi yang terbaik.
Dan jika sponsor baru ini bisa membantuku mencapainya… mungkin aku harus mengabaikan keanehan yang kurasakan saat pertama kali bertemu dengannya.
Untuk sekarang.
...****************...
Setelah merasa cukup latihan, aku meluncur ke tepi arena dan duduk di bangku, melepas sepatu ice skating dengan gerakan santai. Begitu sneakers-ku terpasang, aku berdiri dan berjalan menuju ruang ganti.
Aku melepas pakaian latihan yang ketat, menggantinya dengan kaus dan celana jeans yang jauh lebih nyaman. Setelah itu, aku mengikat rambut panjangku menjadi kuncir kuda, mengambil tas olahraga, lalu berjalan santai menuju parkiran.
Hawa dingin di luar gedung menyentuh kulitku, tapi aku tidak terlalu memedulikannya. Dengan langkah ringan, aku mulai bersenandung pelan, sebuah lagu lama yang sering kudengar saat kecil.
“Mm~ mm~ mm~”
Tapi baru beberapa langkah keluar dari gedung, suara lain yang jauh lebih nyaring memecah ketenanganku.
“OEEEK!! OEEEK!! OEEEK!!”
Aku refleks menutup telinga. “Astaga, berisik sekali!”
Suara tangisan itu begitu kencang, hampir seperti sirene darurat yang meraung tanpa henti. Aku mengerutkan dahi, mencari sumber suara.
Lalu, langkahku terhenti.
Di sudut parkiran, berdiri seseorang yang tak asing lagi. Seorang pria dengan jas hitam yang sangat rapi, tapi kini terlihat sedikit kacau karena—
…karena ia tengah sibuk menggendong seorang bayi.
Bayi itu menangis sekuat tenaga, tubuh kecilnya bergerak-gerak gelisah dalam pelukan pria itu. Sementara itu, Arsen Ludwig—pria yang tadi siang terlihat begitu dingin dan tidak berperasaan—sedang berusaha menenangkannya.
Tangannya perlahan menepuk punggung si bayi, mulutnya bergerak seakan mengatakan sesuatu. Ekspresinya tetap datar, tapi ada sedikit kesabaran di sana, bercampur dengan kelelahan.
Aku berdiri terpaku.
Baru beberapa jam lalu aku melihatnya sebagai pria misterius tanpa emosi… dan sekarang dia ada di hadapanku dengan bayi yang terus menangis dalam pelukannya?
Aku masih berdiri di tempat, terlalu terkejut dengan pemandangan di depan mata.
Dan lebih mengejutkan lagi—dia melihat ke arahku.
“Sienna,” panggilnya.
Aku nyaris tidak merespons, masih sibuk mencerna semuanya. Tapi pria itu melangkah mendekat, ekspresi wajahnya tetap setenang es yang baru saja kutari tadi.
“Tolong aku.”
Aku berkedip, benar-benar tidak mengerti. “Hah?”
Arsen menghela napas, mengusap punggung bayi yang ternyata masih terus menangis.
“Nathan menolak dotnya. Dia tidak mau minum susu dari botol.”
Aku menatapnya tanpa paham. “Oke… dan aku bisa membantu bagaimana?”
Matanya menatapku lurus, seolah apa yang akan dia katakan adalah hal yang sepenuhnya masuk akal.
“Aku ingin kau menjadi orang yang menyusuinya.”
Aku merasa seperti dipukul sesuatu di kepala.
“…Maaf, apa?”
“Anakku, Nathan,” ulang Arsen dengan nada yang sama dinginnya.
“Dia menolak dot bayi. Satu-satunya cara agar dia mau minum susu adalah langsung dari sumbernya.”
Jantungku berdebar kencang. Aku bahkan tidak yakin apakah aku benar-benar mendengar ini dengan benar.
“Aku bukan seorang ibu. Aku bahkan belum pernah hamil. Bagaimana bisa—”
“Aku tahu,” potongnya cepat. “Tapi kau hanya perlu memberikannya dadamu. Bukan menyusuinya secara alami, hanya membiarkan dia merasa nyaman.”
Aku membeku di tempat.
Otakku mencoba memproses kata-kata yang baru saja kudengar, tapi semua itu terasa seperti omong kosong yang tidak masuk akal.
Aku baru bertemu pria ini hari ini.
Dan sekarang… dia memintaku untuk melakukan APA?
Refleks, aku mengangkat tangan, menolak mentah-mentah. “Tidak. Minta saja ibunya!”
Arsen menatapku sejenak sebelum akhirnya menjawab dengan cepat, nada suaranya tetap tenang, tapi entah kenapa ada sesuatu yang terasa… tajam.
“Nathan tidak punya ibu.”
Aku terdiam.
“…Hah? Kok bisa?”
.
.
.
Next 👉🏻
Bijaklah dalam memilih bacaan🤭
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments