"Aku mati. Dibunuh oleh suamiku sendiri setelah semua penderitaan KDRT dan pengkhianatan. Kini, aku kembali. Dan kali ini, aku punya sistem."
Risa Permata adalah pewaris yang jatuh miskin. Setelah kematian tragis ayahnya, ia dipaksa menikah dengan Doni, anak kepala desa baru yang kejam dan manipulatif. Seluruh hidup Risa dari warisan, kehormatan, hingga harga dirinya diinjak-injak oleh suami yang berselingkuh, berjudi, dan gemar melakukan KDRT. Puncaknya, ia dibunuh setelah mengetahui kebenaran : kematian orang tuanya adalah konspirasi berdarah yang melibatkan Doni dan seluruh keluarga besarnya.
Tepat saat jiwanya lepas, Sistem Kehidupan Kedua aktif!
Risa kembali ke masa lalu, ke tubuhnya yang sama, tetapi kini dengan kekuatan sistem di tangannya. Setiap misi yang berhasil ia selesaikan akan memberinya Reward berupa Skill baru yang berguna untuk bertahan hidup dan membalikkan takdir.
Dapatkah Risa menyelesaikan semua misi, mendapatkan Skill tertinggi, dan mengubah nasibnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kde_Noirsz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 1 : Mahkota yang Berdarah
Langit di atas Desa Makmur seolah tahu bahwa akan ada sebuah tragedi besar yang akan segera terjadi. Awan hitam berarak rendah, menelan sisa-sisa cahaya matahari sore yang seharusnya hangat. Di teras kediaman megah keluarga Permata, Risa berdiri mematung. Angin dingin meniup helaian rambut panjangnya, namun rasa dingin yang merayap di hatinya jauh lebih menyakitkan daripada hembusan angin dari arah mana pun.
"Ayah, perasaan Risa benar-benar tidak enak saat ini. Bisakah Ayah kali ini tidak pergi ke kota, hanya malam ini saja?" Risa mencengkeram lengan setelan jas ayahnya, Baskoro.
Baskoro, pria paruh baya yang selalu memancarkan wibawa dan kehangatan, tersenyum lembut. Ia mengusap jemari putrinya yang gemetar. "Hanya pertemuan singkat dengan notaris, Nak. Pamanmu Hari sudah menungguku di sana untuk menandatangani kontrak pengalihan hak kayu yang baru. Ini juga untuk masa depanmu, Sayang. Setelah urusan ini selesai, Ayah janji akan pulang segera dan kita akan berlibur."
"Tapi Ayah, kenapa Paman Hari tidak ke sini saja? Kenapa harus Ayah yang pergi dalam cuaca buruk begini?" desak Risa lagi. Firasatnya terus berteriak, seakan seperti sebuah sinyal bahaya yang tidak bisa ia jelaskan secara logika.
Baskoro tertawa kecil, suara khasnya yang selalu membuat Risa merasa aman dan terlindungi. "Pamanmu bilang ada beberapa dokumen penting yang tertinggal di kantor kota dan harus segera ditandatangani malam ini juga. Jangan khawatir, Ayah akan segera pulang sebelum jam makan malam. Tunggu Ayah, ya?"
Itu adalah pelukan terakhir yang Risa rasakan. Aroma parfum cendana milik ayahnya masih tertinggal di indra penciumannya saat mobil SUV hitam itu perlahan menjauh dari gerbang emas rumah mereka. Risa tidak pernah tahu, bahwa saat itu juga, jarum jam kematian ayahnya sudah mulai berdetak kencang menuju angka nol.
Tiga Jam Kemudian...
Hujan badai mengguyur desa dengan beringas. Petir menyambar silih berganti, menerangi kegelapan malam sesaat sebelum guntur menggelegar dahsyat yang membuat kaca jendela bergetar. Risa duduk di ruang tamu yang luas, matanya terus melirik ke arah jam dinding kuno. Sudah pukul sepuluh malam. Ayahnya adalah orang yang sangat disiplin; ia tidak pernah terlambat tanpa memberi kabar sedetik pun.
Tiba-tiba, suara derit ban mobil di atas kerikil terdengar liar dari halaman depan. Disusul suara teriakan parau yang memecah kesunyian malam yang mencekam.
"RISA! RISA! AYAHMU, NAK! YA TUHAN, RISA!"
Paman Hari berlari masuk ke dalam rumah. Pakaiannya basah kuyup, berlumuran lumpur, dan sobek di beberapa bagian. Wajahnya pucat pasi, nafasnya tersenggal-senggal seolah ia baru saja melarikan diri dari kejaran malaikat maut. Di belakangnya, Tante Dina menyusul dengan wajah yang dibuat-buat panik, namun matanya terus bergerak liar memperhatikan sekeliling rumah.
"Paman? Ada apa? Mana Ayah?" Risa bangkit berdiri, jantungnya berdegup kencang hingga ia merasa sesak di dadanya.
Paman Hari langsung jatuh bersimpuh di kaki Risa, membasahi ubin marmer mahal itu dengan lumpur. Ia meraung, memukul-mukul lantai dengan tangan kosong hingga memar.
"Maafkan Paman, Risa! Maafkan Paman! Mobil Ayahmu... remnya blong di tikungan jurang maut yang curam itu. Aku melihatnya sendiri dari belakang... mobil itu terjun bebas, terguling berkali-kali, dan meledak sebelum mencapai dasar!"
Dunia Risa seolah berhenti berputar. Suara hujan di luar mendadak hilang, digantikan oleh dengungan nyaring di telinganya.
"Tidak mungkin... Paman berbohong, kan? Ayah baru saja melakukan servis rutin pada mobilnya minggu lalu! Semuanya dalam kondisi sempurna!"
"Jalanan sangat licin, Nak! Semua terjadi begitu cepat!" Paman Hari terus meratap dengan suara yang memekakkan telinga. Namun, jika Risa lebih jeli dalam duka yang mencekiknya, ia akan melihat bahwa mata Paman Hari tidak memancarkan duka sejati, melainkan sebuah kegelisahan yang terburu-buru. Pria itu terus melirik ke arah jam tangan mewahnya, seolah-olah ia sedang menunggu waktu pelaksanaan rencana selanjutnya.
"Paman bilang Paman ada di mobil tepat di belakang Ayah?" Risa mendekat, suaranya parau. "Jika ledakannya sebesar itu, kenapa Paman tidak terluka sedikit pun? Kenapa tidak ada goresan atau bau asap di tubuh Paman? Kenapa Paman tidak segera memanggil bantuan?!"
Tante Dina langsung maju dan memeluk Risa dengan paksa, sebuah pelukan dingin yang lebih terasa seperti ancaman. "Sudahlah, Risa! Pamanmu sedang sangat syok! Dia sudah berusaha turun ke bawah jurang tapi kobaran apinya terlalu besar untuk didekati manusia biasa! Jangan menambah beban pamanmu dengan tuduhan-tuduhan bodoh di saat seperti ini!"
Malam Pemakaman
Belum genap dua puluh empat jam tanah makam ayahnya mengering, kediaman keluarga Permata yang biasanya tenang kini riuh oleh kehadiran orang-orang asing yang mengenakan setelan gelap. Paman Hari duduk di kursi kebesaran kayu jati milik ayah Risa, menyesap cerutu mahal yang biasanya hanya boleh disentuh oleh pemilik rumah ini.
Di sampingnya duduk Pak Surya, Kepala Desa baru yang ambisius, dan putranya, Doni—seorang pemuda yang terkenal sebagai berandal kelas atas yang licik.
"Risa, Paman tahu kau sedang berduka. Tapi hidup harus terus berjalan, dan realita tidak bisa menunggu," ujar Paman Hari dengan nada dingin yang sangat kontras dengan ratapannya kemarin malam. Ia menyodorkan seberkas dokumen tebal ke meja marmer. "Ayahmu meninggalkan hutang besar yang tersembunyi pada Pak Surya untuk modal proyek kayu yang ternyata gagal total. Jika tidak segera dilunasi malam ini, rumah ini dan seluruh tanah hutan warisanmu akan disita oleh pihak luar."
Risa menatap tumpukan kertas itu dengan mata sembab. "Hutang? Ayah selalu bilang bisnis kita sedang di puncak kejayaan. Ayah tidak pernah berhutang pada siapa pun, apalagi pada Pak Surya yang baru menjabat!"
Pak Surya berdehem, senyum liciknya tersungging tipis di balik kumis tebalnya. "Baskoro memang pria yang tertutup dalam hal kegagalan, Risa. Dia meminjam dana segar dariku melalui perantara pamanmu. Ini bukti tanda tangannya."
Risa melihat dokumen itu dengan tangan gemetar. Tanda tangan ayahnya ada di sana, tapi tampak sedikit kaku dan tidak natural. "Ini palsu! Aku tidak akan menandatangani apa pun tanpa pengacara keluarga kita!"
BRAK!
Paman Hari menggebrak meja, membuat cangkir teh di atasnya bergetar dan tumpah. "Cukup! Kau hanyalah anak kecil yang tidak tahu apa-apa tentang kerasnya dunia bisnis! Paman melakukan ini semata-mata untuk melindungimu! Jika kau tidak tanda tangan, Pak Surya akan melaporkan penggelapan dana ayahmu ke polisi. Kau mau nama baik almarhum ayahmu hancur dan dikenang sebagai penipu?!"
"Paman... kenapa Paman tega melakukan ini pada keponakanmu sendiri?" bisik Risa pilu.
Tante Dina mendekat, mencengkeram bahu Risa hingga kukunya menembus kain baju Risa yang tipis. "Dengar, Risa. Pak Surya memberikan solusi yang sangat murah hati. Jika kau setuju menikah dengan Doni, semua hutang ini akan dianggap lunas selamanya. Kau tetap bisa tinggal di rumah ini sebagai menantu terhormat."
Risa menoleh ke arah Doni. Pemuda itu sedang menatap tubuh Risa dengan pandangan lapar yang menjijikkan, seolah-olah ia sedang melihat sepotong daging segar. Risa merasa mual. Ia baru menyadari sepenuhnya bahwa ia bukan sedang berhadapan dengan keluarga, melainkan dengan sekelompok serigala yang telah mematikan mangsa utamanya dan kini sedang sibuk memperebutkan sisa-sisa daging dan tulangnya.
"Aku tidak mau! Ini gila!" Risa bangkit berdiri dan mencoba berlari menuju ruang kerja ayahnya. Ia ingat ayahnya memiliki brankas kecil dengan catatan harian yang selalu ia simpan sebagai asuransi diri.
Risa berhasil menyelinap ke dalam ruang kerja yang gelap, bau aroma cendana ayahnya masih terasa samar, menambah perih di hatinya. Ia merayap di balik meja besar, mencari kunci rahasia di bawah lantai kayu yang tersembunyi. Tangannya gemetar hebat saat menemukan sebuah amplop cokelat yang tertinggal di celah laci yang paling dalam.
Di dalamnya ada sebuah surat jalan bertanggal kemarin, lengkap dengan sebuah catatan teknis bertuliskan tangan. Mata Risa membelalak hingga hampir keluar dari kelopaknya.
“Rem telah dimodifikasi sesuai spesifikasi. Cairan rem akan habis perlahan dan menguap total setelah mobil menempuh jarak 50 kilometer perjalanan.” Di bawah catatan itu tertera sebuah paraf yang sangat Risa kenal. Paraf khas Paman Hari.
"Jadi... ini benar-benar pembunuhan berencana," bisik Risa, suaranya tercekat oleh kemarahan yang meluap-luap. "Kalian membunuh Ayah demi kursi Kepala Desa dan konsesi hutan ini! Kalian iblis!"
Baru saja Risa ingin mengantongi bukti itu, lampu ruangan mendadak menyala dengan terang, membutakan matanya sejenak.
Paman Hari berdiri di ambang pintu, wajahnya gelap disinari cahaya lampu koridor. Ia tidak lagi bersandiwara dengan wajah sedih. Senyum jahat tersungging di wajahnya yang licin. "Kau selalu saja terlalu pintar untuk kebaikanmu sendiri, Risa. Sama persis dengan ayahmu yang kaku itu."
"Kau membunuhnya, Paman! Kau saudari kandungnya! Aku akan melaporkanmu ke kota!" teriak Risa histeris.
"Melapor? Pada siapa? Semua otoritas di desa ini hingga kota kabupaten adalah orang-orang yang sudah dibayar oleh Pak Surya," Paman Hari melangkah maju dengan santai. "Ayahmu terlalu idealis. Dia tidak mau berbagi keuntungan hutan dengan pamanmu sendiri yang sudah membantunya bertahun-tahun. Dia layak mendapatkan 'istirahat' abadi itu."
Risa berbalik ingin lari ke arah jendela, namun tubuhnya yang lemah langsung didekap oleh seseorang yang masuk dari pintu samping dengan gerakan cepat. Itu Doni.
"Mau lari ke mana, Calon Istriku? Kita bahkan belum memulai perayaan pernikahan kita," desis Doni di telinganya. Ia membekap mulut Risa dengan sapu tangan yang berbau tajam bahan kimia bius.
Risa meronta sekuat tenaga, kuku-kukunya mencakar lengan Doni hingga berdarah, matanya menatap Paman Hari dengan dendam yang begitu pekat hingga seolah mampu membakar seluruh rumah itu. Namun, pandangannya perlahan mulai mengabur. Kekuatannya hilang seperti air yang mengalir, dan tubuhnya merosot jatuh ke lantai.
Hal terakhir yang ia lihat sebelum kesadarannya hilang sepenuhnya adalah Paman Hari yang dengan santai mengambil bukti surat itu dari tangannya, lalu menyulutnya dengan korek api perak milik ayahnya.
Aku bersumpah... kalian akan membayar ini semua...
Risa jatuh pingsan dalam dekapan Doni. Paman Hari menatap keponakannya yang tak berdaya itu dengan tatapan puas.
"Bawa dia ke kamar belakang, Doni. Pastikan dia tidak bangun sampai semua dokumen pemindahan aset selesai aku tanda tangani atas namanya," perintah Paman Hari tanpa belas kasihan.
Risa telah kehilangan Ayahnya, hartanya, dan kini kebebasannya. Ia belum tahu, bahwa malam ini hanyalah gerbang pembuka menuju neraka panjang selama dua tahun ke depan yang akan menghancurkan hidupnya hingga hancur berkeping-keping.