Kim Min-seok siluman rubah tampan berekor sembilan, yang sudah hidup lebih dari 1000 tahun,Kim Min-seok hidup dengan menyembunyikan identitasnya sebagai seekor gumiho,Ia berkepribadian dingin dan juga misterius.
Dirinya menjalin hidupnya dengan kesepian menunggu reinkarnasi dari kekasihnya yang meninggal Beratus-ratus tahun yang lalu.
Kim Min-seok kemudian bertemu dengan Park sung-ah mahasiswi jurusan sejarah, saat itu dirinya menjadi dosen di universitas tersebut.
Mereka terjerat Takdir masa lalu yang mempertemukan mereka, mampukah Kim Min-seok mengubah takdir tragis di masalalu yang terulang kembali di masa depan.
apakah kejadian tragis di masalalu akan kembali terjadi kepada dirinya dan juga kepada park sung-ah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Heryy Heryy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
༿BAB༌༚7
Bau bubur ayam yang harum mengisi ruangan kontrakan Park Sung-ah, menyebar ke setiap sudut kamar yang sempit. Udara pagi yang segar masuk melalui jendela yang terbuka sedikit, membawa bau bunga melati dari taman depan rumah.
Yoo In-a berdiri di dapur kecil yang hanya cukup untuk satu orang, mengaduk bubur dengan sendok kayu dengan hati-hati, sesekali melihat ke arah Sung-ah yang masih duduk di tempat tidur, wajahnya pucat dan mata yang kering karena menangis malam sebelumnya.
Setelah beberapa menit, In-a mengambil mangkuk bubur yang hangat dan membawanya ke meja belajar yang sempit. Dia menaruh mangkuk dengan lembut di depan Sung-ah, lalu mengambil sendok dan memberikannya padanya.
"Mari makan bubur, Sung-ah. Biar badanmu segar lagi. Kalau kamu tidak makan, kamu akan lebih lemah," ucapnya dengan suara yang lemah dan penuh perhatian.
Sung-ah mengangguk perlahan, tangan nya gemetar sedikit ketika mengambil sendok. Dia memasukkan suapan bubur ke mulutnya, tapi rasanya hambar—seperti makan pasir.
Setiap suapan terasa sulit ditelan, karena rasa sakit di hatinya masih terlalu besar untuk merasakan apapun yang enak. Dia hanya makan karena tahu In-a khawatir padanya.
Setelah beberapa suapan, In-a duduk di kursi kecil di depan nya, wajahnya penuh dengan kekhawatiran dan keinginan tahu yang tidak bisa disembunyikan.
Dia telah menunggu kesempatan untuk bertanya sejak tadi pagi, tapi takut membuat Sung-ah sedih lagi. Tapi sekarang, dia merasa sudah waktunya.
"Sung-ah... kemarin malam... apa yang terjadi dengan kencanmu sama Yi-jin? Kenapa kamu keluar minum sampe mabuk parah? Aku khawatir banget padamu—aku sudah mencari-mencari kamu di mana-mana tapi tidak ketemu. Apa yang dia katakan padamu yang bikin kamu sedih banget?" tanya dia dengan suara yang lembut, matanya tetap menatap wajah Sung-ah.
Sung-ah berhenti memakan bubur. Dia menundukkan kepala, matanya terisi air mata yang hampir menetes. Dia tahu In-a akan bertanya, dan dia juga tahu bahwa dia perlu menceritakan semuanya agar merasa lebih lega.
Setelah sejenak, dia mulai menceritakan semua yang terjadi kemarin hari—dari saat dia siap-siap dengan bantuannya, sampai saat dia bertemu Yi-jin di cape Haeundae.
"Dia ajak aku berbelanja... dia bawa aku ke toko baju dan perhiasan... semua yang dia pilih adalah yang aku suka, In-a. Aku berpikir... aku berpikir dia akan memberikannya padaku.
Aku berpikir dia akan ngomong apa yang aku tunggu-tunggu selama ini," katanya dengan suara yang serak, air mata akhirnya menetes dan membasahi permukaan meja. "Tapi kemudian... dia bilang semua yang dia beli itu untuk Chae Soo-ri. Dia bilang dia suka dia sudah lama, dan dia butuh bantuan aku untuk memilih barang buat dia."
Setelah mendengar cerita lengkapnya, In-a merasa darahnya memanas. Wajahnya menjadi merah karena marah, dan dia menepuk meja dengan keras sehingga mangkuk bubur sedikit bergoyang.
"Aduh, si Baek Yi-jin itu apa sih! Dia tega banget buat ngelakuin itu ke kamu! Kamu sudah mau bantu dia dengan sabar, ikutin dia berbelanja selama berjam-jam, dan dia malah bikin kamu sakit hati dengan cerita tentang orang lain! Apa yang kurang dari kamu, Sung-ah? Kamu cantik, rajin, baik hati, selalu mau membantu orang lain—dia tidak pantas dengan kamu sama sekali! Dia buta mata yang parah!" teriaknya dengan marah, membuat Sung-ah sedikit terkejut.
"Jangan marah deh, In-a. Itu bukan salah dia. Dia hanya suka orang lain, itu semua. Aku tidak punya hak untuk marah padanya," jawab Sung-ah dengan senyum lemah, mencoba menenangkan temannya dengan menepuk bahunya.
"Jangan ngomong gitu! Kamu punya hak untuk merasa sedih, tapi dia tidak boleh ngelakuin itu dengan cara yang begitu! Dia seharusnya bilang dari awal bahwa dia butuh bantuan buat orang lain, bukan bikin kamu berharap yang tidak ada!" ucap In-a dengan masih marah.
Tapi kemudian dia melihat wajah Sung-ah yang sedih dan mengurangi suaranya. "Jadi semalam kamu mabuk karena hal itu ya? Kamu terlalu sedih sampai mau minum sampe mabuk? Dan... apakah kamu ngungkapin perasaanmu ke dia? Katanya apa?"
Sung-ah menggeleng perlahan. Air mata nya terus menetes. "Tidak. Aku tidak punya keberanian. Saat dia bilang nama Chae Soo-ri, aku hanya bisa berdiri dan pergi. Aku takut kalo dia marah atau berpikir aku sombong.
Aku takut kalo dia tidak mau berbicara sama aku lagi," katanya dengan suara yang lemah, menutup wajah dengan kedua tangan.
In-a menghela nafas panjang. Dia berdiri dan mendekati Sung-ah, kemudian memeluknya erat. Tubuh Sung-ah menggigil sedikit, dan dia menangis lagi di pelukan In-a.
"Kamu terlalu baik dan terlalu pemalu, Sung-ah. Tapi tidak apa-apa. Kamu tidak perlu malu atau takut. Dia yang ketinggalan kesempatan untuk punya temen yang sebaik kamu, bahkan mungkin lebih dari itu," ucap In-a dengan suara yang lemah, membelai punggung Sung-ah dengan lembut.
Sung-ah memeluk In-a kembali, rasa sakit di hatinya sedikit mereda karena kehadiran temannya. "In-a... tolong jangan marah sama Yi-jin ya. Dan tolong merahasiakan ini ya? Aku tidak mau orang lain tahu, apalagi dia. Aku takut kalo dia berpikir aku bodoh atau terlalu berharap," katanya dengan suara yang serak.
In-a mengangguk dengan erat. Dia melepaskan pelukan dan melihat wajah Sung-ah dengan serius. "Tentu saja, Sung-ah. Aku akan merahasiakan ini sampai mati. Dan kamu jangan khawatir—aku tidak akan ganggu dia atau ngomong apa-apa ke dia. Tapi kamu harus janji sama aku: jangan terlalu lama sedih. Kamu harus melupakan dia dan mencari pria baru yang lebih baik, lebih tampan."
Sung-ah tersenyum lemah. Dia mengangkat bahu. "Mencari pria baru? Gimana ya? Aku tidak pandai bergaul, aku juga tidak punya waktu karena kerja paruh waktu dan kuliah."
In-a tersenyum dengan wajah yang menggoda. Dia duduk kembali di kursi nya, lalu memukul bahu Sung-ah dengan lemah.
"Ah, kamu jangan khawatir! Aku akan bantu kamu! Ada banyak pria yang bagus di kampus loh. Misalnya... dosen baru kita, Kim Min-seok! Kamu lihat deh, dia tampan banget—lebih tampan dari Baek Yi-jin, kan? Dia juga cerdas, bekerja sebagai dosen sejarah, dan meskipun terlihat dingin dan misterius, aku yakin dia baik hati loh! Aku seringkali melihat dia membantu mahasiswa yang kesulitan dengan tugasnya."
Sung-ah mengangkat kepala sejenak, mata nya sedikit terkejut. Pikirannya tergeser ke Kim Min-seok—wajah yang tampan tapi dingin, suara yang mendalam, dan... sesuatu yang dia tidak bisa ingat, seolah-olah ada kenangan yang kabur tentang malam hari yang lalu.
Dia merasa ada sesuatu yang aneh tentang dosen baru itu, tapi dia tidak bisa mengingat apa itu. "Dosen Kim? Dia terlalu tampan dan terlalu tinggi untukku. Dan dia juga dosenku—itu tidak pantas, In-a. Orang akan ngomong apa-apa."
"Yah, siapa bilang tidak pantas? Cuma dosen doang, kan? Belum ada aturan yang melarang mahasiswa suka sama dosen, kan? Lagipula, dia juga tidak tua banget. Dan aku yakin dia akan menyukai kamu kalo dia tahu betapa baik kamu. Kamu cuma butuh keberanian untuk mendekatinya," ucap In-a dengan yakin, matanya bersinar dengan semangat.
"Aku janji, aku akan bantu kamu mendekatinya! Nanti kita cari cara agar kamu bisa berbicara sama dia lebih sering—misalnya minta bantuannya dengan tugas, atau tanya tentang materi kuliah. Pasti dia akan senang membantu kamu!".