NovelToon NovelToon
Saat Mereka Memilihnya Aku Hampir Mati

Saat Mereka Memilihnya Aku Hampir Mati

Status: sedang berlangsung
Genre:Ketos / Bad Boy / Diam-Diam Cinta / Cintapertama / Enemy to Lovers / Cinta Murni
Popularitas:931
Nilai: 5
Nama Author: his wife jay

Dilarang keras menyalin, menjiplak, atau mempublikasikan ulang karya ini dalam bentuk apa pun tanpa izin penulis. Cerita ini merupakan karya orisinal dan dilindungi oleh hak cipta. Elara Nayendra Aksani tumbuh bersama lima sahabat laki-laki yang berjanji akan selalu menjaganya. Mereka adalah dunianya, rumahnya, dan alasan ia bertahan. Namun semuanya berubah ketika seorang gadis rapuh datang membawa luka dan kepalsuan. Perhatian yang dulu milik Elara perlahan berpindah. Kepercayaan berubah menjadi tuduhan. Kasih sayang menjadi pengabaian. Di saat Elara paling membutuhkan mereka, justru ia ditinggalkan. Sendiri. Kosong. Hampir kehilangan segalanya—termasuk hidupnya. Ketika penyesalan akhirnya datang, semuanya sudah terlambat. Karena ada luka yang tidak bisa disembuhkan hanya dengan kata maaf. Ini bukan kisah tentang cinta yang indah.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon his wife jay, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

butterfly era

Mobil milik Arsen berhenti tepat di depan gerbang mansion Aksani. Lampu depan masih menyala, memantulkan cahaya ke dinding putih besar yang menjulang tenang di hadapan mereka. Mesin mobil masih hidup, tapi suasana di dalamnya justru terasa pelan—seperti enggan benar-benar berpisah.

“Langsung istirahat. Jangan begadang,” ucap Arsen sambil turun lebih dulu, lalu membukakan pintu untuk Elara.

“Iya,” jawab Elara singkat. Suaranya terdengar lelah. Wajar saja—seharian dari kebun binatang, lalu langsung ke rumah Ezra. Energinya rasanya terkuras habis.

Elara turun dari mobil, lalu berhenti sejenak. Tangannya merogoh tas kecil yang ia bawa, mengeluarkan beberapa lembar uang dan menyodorkannya pada Arsen.

“Kamu mau mampir dulu?” tanyanya sambil setengah mengulurkan uang itu.

Arsen mengernyit pelan. “Enggak dulu. Capek. Dari kebun binatang langsung ke rumahnya si Ezra,” katanya sambil mengusap rambutnya sendiri, tampak benar-benar kelelahan.

Pandangan Arsen lalu jatuh ke uang di tangan Elara. “Ini buat apa?” tanyanya heran.

“Buat kamu… hitung-hitung buat bensin. Kamu udah ngajak aku naik mobil seharian,” ucap Elara jujur, sedikit canggung.

Arsen mendengus kecil. “Aku bukan sopir taksi yang harus dibayar,” katanya sambil mendorong kembali tangan Elara.

Elara hendak membantah, tapi Arsen lebih dulu berbicara. “Simpen aja. Buat kamu beli donat.”

Ia berhenti sejenak, lalu menambahkan, “Lagipula aku yang ngajak.”

Tangan Arsen terangkat, lalu dengan gerakan pelan—nyaris refleks—mengusap rambut Elara. Sentuhan itu lembut, singkat, tapi cukup untuk membuat Elara membeku di tempat.

Pipinya seketika memanas.

“Sana masuk. Udah mau malam,” ucap Arsen seolah tak menyadari efek dari tindakannya.

“I-iya…” Elara mengangguk cepat. “Kamu hati-hati di jalan.”

Ia langsung berbalik dan berlari kecil menuju pintu mansion, langkahnya tergesa, seperti sedang kabur dari perasaannya sendiri.

Arsen menatap punggung Elara yang menjauh, senyum tipis terukir di wajahnya tanpa sadar. Setelah Elara masuk dan pintu tertutup, barulah Arsen kembali ke mobil dan melajukan kendaraannya keluar dari halaman mansion Aksani.

★★★

Elara menutup pintu mansion dengan pelan, punggungnya bersandar sesaat di sana. Jantungnya berdetak cepat, terlalu cepat untuk ukuran rasa lelah yang ia rasakan.

“Kenapa sih Nio harus ngusap kepala gue… udah tau kan gue orangnya baperan,” gumam Elara pelan sambil menggigit tali tasnya tanpa sadar.

“Heh, ngapain kamu gigit-gigit tas kayak nggak ada makanan aja.”

Elara tersentak. “Mama?!”

Mama Sekar berdiri tak jauh darinya, berkacak pinggang, alis terangkat penuh selidik.

“Hehe… mama ngagetin aja,” ucap Elara sambil terkekeh canggung, lalu menyalami mamanya.

“Kamu baru pulang? Dari mana?” tanya Mama Sekar.

“Habis dari rumah Ezra. Dia sakit,” jawab Elara.

“Kasian banget. Sekarang gimana keadaannya?” Mama Sekar ikut prihatin.

“Udah agak mendingan,” kata Elara. “Yaudah, Elara ke atas dulu ya, Ma. Mau mandi, gerah.”

Tanpa menunggu jawaban, Elara berlari menuju tangga, langkahnya ringan, bahkan sempat meloncat kecil.

Mama Sekar menatap punggung anaknya dengan tatapan penuh arti. “Kayaknya anak mama lagi butterfly era,” gumamnya sambil menggeleng pelan.

“Dar!”

Mama Sekar hampir meloncat. “Astaga, Pa! Kamu ngapain sih? Kaget tau nggak!”

Papa Samudra tertawa kecil. “Hehe, maaf.”

Ia mendekat dan mengecup singkat rambut istrinya. Mama Sekar hanya mendengus, lalu berjalan ke arah sofa.

“Kayaknya anak kamu lagi butterfly era deh,” ulang Mama Sekar.

Papa Samudra mengernyit. “Ah masa sih? Papa liat Elara nggak terbang kayak kupu-kupu.”

“Ck,” Mama Sekar melirik suaminya. “Bukan gitu, Mas. Maksud aku, kayaknya anak kamu lagi jatuh cinta.”

Papa Samudra langsung berdiri tegak. “Sama siapa?”

Nada suaranya berubah serius. “Mana orangnya? Biar Papa kasih pelajaran. Berani-beraninya cinta sama anak Papa. Itu berarti dia bakal ngambil Elara dari Papa.”

“Mas, nggak usah posesif gitu deh,” kata Mama Sekar sambil menghela napas. “Elara juga udah besar. Wajar dia ngalamin masa-masa kayak gitu.”

Papa Samudra masih tampak tidak terima. “Tetep aja. Anak Papa.”

Mama Sekar berdiri. “Udah, yuk ke kamar. Mama capek.”

Papa Samudra langsung tersenyum lebar. “Ayo. Mau ngapain? Papa udah semangat ini.”

“Mau istirahat lah. Kamu pikir apa?” balas Mama Sekar.

Papa Samudra terkekeh. “Kamu harus kasih aku kewajiban kamu sebagai istri.”

Belum sempat Mama Sekar membalas, Papa Samudra sudah menggendongnya begitu saja.

“Mas!” seru Mama Sekar, tapi suaranya terdengar lebih geli daripada marah.

Tawa kecil mereka menggema di ruang keluarga yang mulai sepi.

★★★

Di lantai atas, Elara berdiri di bawah pancuran air hangat. Air mengalir di rambut dan bahunya, tapi pikirannya justru melayang ke satu sosok.

Usapan tangan Arsen.

Nada suaranya.

Tatapan teduh itu.

“omg gue udah gila,” gumam Elara pelan.

“masa gitu doang baper sih.”

Namun, senyum kecil tetap muncul di wajahnya.

Dan tanpa ia sadari, fase itu memang telah dimulai—

fase ketika satu sentuhan sederhana mampu membuat jantung berisik,

fase ketika nama seseorang terus berputar di kepala,

fase yang Mama Sekar sebut…

butterfly era.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!