NovelToon NovelToon
LOOTER

LOOTER

Status: sedang berlangsung
Genre:Identitas Tersembunyi / Perperangan / Mata-mata/Agen / Menyembunyikan Identitas / Office Romance / Barat
Popularitas:394
Nilai: 5
Nama Author: Khabar

Di dunia dark web, satu nama ditakuti: LOOTER. Tak ada yang tahu identitas aslinya, hanya bahwa ia adalah algojo bayaran dengan keterampilan militer luar biasa. la bisa menyusup, membunuh, dan menghilang tanpa jejak. Kontraknya datang dari kriminal, organisasi bayangan, bahkan pemerintah yang ingin bertindak di luar hukum.

Namun, sebuah misi mengungkap sesuatu yang seharusnya terkubur: identitasnya sendiri. Seseorang di luar sana tahu lebih dari yang seharusnya, dan kini pemburu berubah menjadi buruan. Dengan musuh di segala arah, LOOTER hanya punya satu pilihan -menghancurkan mereka sebelum dirinya yang lenyap.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Khabar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 17

[UTANG NYAWA DIBAYAR LUNAS]

Looter mendengar pesan radio yang mengabarkan keadaan genting. Dalam sekejap, tubuhnya terasa melemah karena darah yang hilang begitu banyak.

Di tengah keheningan perahu karet, anak-anak yang setia menemaninya segera berusaha membantu. Mereka memperhatikan darah yang terus mengalir dari pinggangnya dan bergegas mengambil kain bersih yang tersisa.

Anak perempuan itu mendekat sambil berkata "Kak, tahan ya. Jangan lepaskan genggaman kami!"

Sementara anak laki-laki lainnya menempelkan kain di luka, berusaha menghentikan aliran darah yang deras.

"Mari kita bantu, jangan biarkan dia pergi," seru salah satu dari mereka dengan suara gemetar.

Di dalam perahu, meskipun suasana dipenuhi ketakutan, percakapan singkat pun menguatkan semagat.

"Sst, kak, kami di sini," bisik seorang bocah, memberikan dukungan yang tulus. Looter mengangkat tangannya lemah dan mencoba tersenyum,

"Aku akan baik-baik saja, anak-anak. Kalian harus tetap kuat."

Namun, kata-kata itu segera tenggelam di antara deru mesin outboard dan suara gemuruh sungai menuju lautan lepas.

Tak lama kemudian, Looter pun kehilangan kesadarannya, terhanyut dalam kelelahan dan kehilangan darah yang tak tertahankan.

Perahu karet terus melaju, membawa mereka ke arah pulau terpencil yang ditandai sebelumnya.

Di sana, seorang wanita dengan tatapan tegas namun penuh kelembutan menyambut mereka. Seorang wanita yang baru berusia 40-an berdiri di depan mereka.

Elora, sebagai pemilik sebuah panti asuhan dan orang yang berutang nyawa padanya, segera turun menuju perahu.

"Sst, Looter, tahan ya. Aku akan bawa kamu ke tempat perawatan," ucapnya dengan lembut sambil memeriksa.

Dan kesadaran Looter pun hilang...

...----------------...

Looter perlahan membuka mata, mendapati dirinya terbaring di atas ranjang yang bersih di sebuah kamar sederhana.

Di sampingnya, tiga anak kecil masih tertidur dengan tenang, wajah polos mereka tak tahu apa yang terjadi. Suasana kamar itu hening, hanya diselingi detak mesin yang lembut dari peralatan medis, seolah mengingat akan rapuhnya kehidupan.

Momen itu seperti mimpi buruk yang berubah menjadi harapan, ketika seseorang yang terluka parah perlahan tersadar kembali.

Looter mencoba menggerakkan tangannya yang terasa berat. Seorang anak kecil yang tertidur di kursi sebelahnya, terbangun perlahan mengintip dari balik kelopak mata.

Matanya penuh kekhawatiran dan kelembutan. Dengan suara lirih namun penuh kasih, anak itu berbisik,

"Kakak, jangan bangun dulu, nanti lukanya terbuka lagi..." suara bocah lirih sambil mengusap lengan Looter. Matanya berkaca-kaca, seperti anak kecil yang baru saja melihat orang tuanya bangun dari koma.

Anak-anak itu terjaga satu per satu, menyadari Looter telah sadar. Mereka mengerubunginya tanpa suara, hanya menatap penuh harap. Salah satu anak laki-laki berkata dengan suara serak, "Kamu nggak mati, kan?"

Looter hanya tersenyum samar, menehan perih, lalu mengangguk pelan.

"Belum. Kalian baik-baik saja?" tanyanya. Anak-anak itu mengangguk cepat.

Tak lama pintu kayu kamar itu berderit terbuka. Elora, wanita berusia sekitar 40 tahun, dengan rambut hitam sebahu dan wajah penuh bekas lelah, melangkah masuk dengan pakaian sederhana. Namun, tatapannya tetap tajam dan berwibawa.

"Keluar dulu, anak-anak, biarkan kakak kalian istirahat."

Anak-anak menatap ragu, tapi menurut. Setelah pintu tertutup, hanya Looter dan Elora yang tersisa.

Suasana kamar mendadak hening. Elora mendekat, memeriksa luka Looter dengan cekatan.

"Masih keras kepala seperti biasa, kau. Sampai berdarah-darah begini hanya demi tiga anak yang bahkan kau tidak kenal," sindir Elora, separuh kesal, separuh kagum.

Looter menyandarkan tubuhnya ke bantal. "Kalau aku nggak tolong, siapa lagi?"

Elora menghela napas, lalu duduk di kursi kayu dekat ranjang. "Kau selalu begitu, bahkan dulu. Tapi tetap saja, aku tak menyangka kau akan bawa mereka ke sini. Kau tahu apa yang kau lakukan, kan?"

Looter memandangnya lurus, senyumnya kecil tapi menekan.

"Tentu saja, makanya aku ke sini. Siapa lagi yang bisa aku percaya selain organisai penyelamat anak-anak di bawah kedok panti asuhan, hmm?" ucap Looter, menekankan kalimatnya pelan namun menusuk.

Tatapan Elora membeku. Mata yang tadinya tenang berubah tajam, bibirnya terkatup rapat. Ia seperti seorang anak yang rahasianya dibuka tanpa ampun.

"Sialan, kau seperti nggak pernah beri aku ruang privasi, Loot." gumamnya kesal. Looter hanya menaikkan alis. "Sudah lama aku tahu, hanya menunggu kau mengaku."

Elora mendengus. "Terserah. Tapi jangan kira aku akan mudah membiarkanmu berputar-putar di sini. Tempat ini bukan seperti dulu. Anak-anak di sini bukan hanya yatim piatu biasa, mereka... kau tau sendirilah."

Looter menyeringai kecil. "Makanya aku tanya, bagaimana pelatihannya?"

Elora membulatkan mata, terkejut sekaligus pasrah. "Astaga, Loot... bahkan dinding pun tidak aman darimu."

Ia menyandarkan punggung ke kursi, menutup wajah dengan tangan sebentar, lalu menghela napas panjang.

"Baik... baik... tapi kita bahas ini nanti. Lukamu lebih penting sekarang."

...----------------...

Keesokan harinya, Looter sudah berdiri di halaman belakang panti, menyiapkan tas ranselnya yang hanya berisi beberapa perlengkapan penting. Bajunya masih menempel perban tebal di pinggang, namun ia tampak bersikeras untuk pergi.

Dari pintu belakang, Elora muncul sambil melipat tangan di dada, menatap Looter dari kejauhan.

"Mau ke mana dengan tubuh remuk kayak gitu?" tanyanya sinis.

Looter melirik sekilas tanpa ekspresi. "Ada urusan. Aku harus kembali ke tempatku."

Elora berjalan mendekat, suara langkah sepatunya menginjak kerikil di halaman. Tatapannya tajam namun santai. "Sebelum itu..." ia berhenti beberapa langkah dari Looter, lalu menyandarkan punggung di tiang kayu, tersenyum tipis.

"Kau mau jadi pelatih di sini?"

Looter langsung menatapnya datar. "Tidak."

"Tegas sekali," Elora terkekeh.

"Terlalu banyak yang bisa kau ajarkan, Loot. Para bocah di sini butuh pengalaman sepertimu. Lagipula... dari pada berkeliaran dengan tubuh rusak, kenapa tak menetap?"

"Aku punya misi lain," jawab Looter cepat, nada suaranya dingin. Tapi Elora yang sudah lama mengenalnya langsung mencium sesuatu yang janggal.

Elora mendekat perlahan, ekspresinya berubah dari santai menjadi lebih serius.

"Looter... sejak kapan kau peduli pada anak-anak?" tanyanya sambil menyipitkan mata.

"Dulu kau bahkan ogah-ogahan kalau disuruh antar pengungsi, apalagi repot-repot bawa tiga bocah keluar dari markas musuh."

Looter membuang muka. "Situasinya menuntut."

"Bullshit."

Elora tersenyum kecil namun matanya menelanjangi Looter.

"Aku tahu kau dapat tugas untuk ratakan batalion itu, kan? Tapi laporan yang kudengar..." ia berputar sedikit sambil memaikan jemari.

"Mereka bilang itu bukan sekedar operasi bersih-bersih, tapi lebih mirip pembantaian. Ruang-ruang dipenuhi potongan tubuh. Bahkan untuk ukuranmu, itu terlalu brutal, Loot."

Looter mengantupkan rahangnya, masih terdiam.

Elora melipat tangan, lalu setengah bercanda, setengah menyelidik.

"Apa kau sedang dalam masalah? Atau... jangan-jangan... Kau sedang jatuh cinta?"

Tiba-tiba, wajah Looter terlihat aneh. Matanya bergerak kecil, tak menatap elora langsung. Lebih parah, pipinya tampak sedikit memerah, seolah tak bisa mengontrolnya.

Elora terbelalak, lalu tertawa pendek.

"Astaga, Loot..." suaranya meninggi, penuh kemenangan.

"Jangan bilang aku benar? Si mesin pembantai berdarah dingin, jatuh cinta?"

"Tidak." sahut Looter buru-buru, bahkan terlalu cepat. "Jangan mengada-ada."

"Ah, bahkan lebih parah. Kau bahkan tidak bisa menyembunyikannya. Siapa? Siapa gadis malang itu?" Elora terlihat seperti anak kecil yang baru saja menemukan rahasia besar.

"Pasti punya huruf A untuk awalannya?"

Mata Looter melebar sepersekian detik. Elora langsung mengangkat tangan, menunjuknya. "Bingo! Astaga... Kau jatuh cinta beneran!"

Looter mengerang pelan, menundukkan kepala.

"Sudah cukup, aku pergi." gumamnya sambil memangkul ransel.

Elora tidak berhenti menggoda, senyumnya makin lebar.

"Oh, aku tak percaya. Looter yang bahkan membantai ratusan orang tanpa berkedip, ternyata paling lemah menghadapi soal cinta."

Langah Looter terasa canggung saat berjalan pergi. Meski tampak tegar dari luar, tapi telinganya memerah seiring tawa pelan Elora di belakangnya.

To Be Continued.....

1
🐌KANG MAGERAN🐌
mampir kak, semangat dr 'Ajari aku hijrah' 😊
Dewi Ular🐍💆🏻‍♀️
Kalau dia hantu didunia bayangan, kalau saya istri bayang-bayang didunia fiksi/Hey/
Khabar: 😄😄😄😄😅
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!