Annisa jatuh cinta pada Iman, seorang montir mobil di bengkel langganan keluarganya.
Sang Papa menolak, Nisa membangkang demi cinta. Apakah kemiskinan akan membuatnya sadar? atau Nisa akan tetap cinta?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dian Herliana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23
Nisa mengulurkan upah Maya untuk hari ini.
"Makasih, Mbak."
"Hati - hati, May!" setelah memastikan Maya sudah naik ke boncengan suami yang menjemputnya, Nisa masuk ke dalam rumah. Warung Nisa sekarang ada di depan rumah atau menjadi bagian dari rumahnya.
"Ibu, Saya pulang dulu, Bu." pamit Rasya.
"kok pulang?"
"Ada perlu sebentar. Nanti Saya balik lagi, kok." Nisa melihat mata Rasya yang merah. Sepertinya ia menyembunyikan sesuatu.
Lagi - lagi Nisa merasa tidak enak. Ia juga mencium bau alkohol dari mulut Rasya.
"Kamu minum, ya?" selidik Nisa. Rasya menunduk. Semua yang bekerja di empang tau kalau Iman dan Nisa melarang mereka minum minuman keras di area pemencingan.
"Kalian mau mabok di mana - mana terserah! Yang penting jangan di empang Aku!" begitu tegas Iman. Nisa bersyukur, sejelek - jeleknya Iman, ia tidak pernah mau menyentuh barang haram itu. Tidak seperti Bang Mumu dan bang Edi.
"Maaf Bu, Saya sedikit pusing."
"Rasya, kalau pusing itu minum obat, bukan minum itu!"
"Saya pusing yang lain, Bu." Nisa mengerti. Ini pasti ada kaitannya dengan Tini.
"Memang setelah minum itu, pusingmu bisa hilang?"
"Hilang sebentar, Bu."
"Nantinya timbul lagi, 'kan?" Rasya mengangguk.
"Masalah yang membuat pusing itu harus diselesaikan, bukannya minum. kalau Bos Kamu tau, gimana?" Iman memang tidak menyadari anak buahnya ada yang meminum minuman keras saat ini.
"Bos nggak tau, Bu. Saya cuma minum sedikit, itu juga nggak ketahuan Bos."
"Kalau Dia tahu?"
"Jangan bilang Bos ya, Bu." Nisa menghela nafas.
"Kamu harusnya bersyukur masalahmu sama Tini dan Bang Mumu itu cepat ketahuan. Kalau berlarut - larut Kamu bisa lebih pusing lagi." Nisa tidak ingin bertele - tele.
"Iya, Bu. Maaf, Saya pulang dulu."
"Hati - hati. Jangan macam - macam, ya."
Rasya beranjak pergi tanpa memjawab. Nisa pun kembali masuk ke dalam rumahnya. Season 1 untuk malam hari dimulai pukul 8. Ada Teh Yati yang menjaga warung. Ia membawa anaknya yang baru lulus SMA untuk membantunya.
Malam ini Nisa dapat beristirahat. Kemarin - kemarin setelah Tini berhenti tidak ada yang membantu Teh Yati hingga Nisa harus turun tangan membantu. Bekerja sendirian akan terlalu melelahkan meski upahnya 2 kali lipat.
"Rasya nggak datang lagi, Mah."
"Tadi bilangnya mau balik lagi."
"Tapi Dia nggak balik lagi. Tukang seroknya cuma 3. Kurang 1 lagi. Gimana, ya?"
"Deni aja, Pah." Deni yang masih kelas 1 SMA mengajukan dirinya.
"Kamu bisa, Nang?" tanya Nisa khawatir. Melepaskan ikan dari kail yang menjeratnya dan harus dengan gerakan cepat karena para pemancing itu tidak sabar ingin melempar kailnya lagi.
"Bisa. Ayo cepat ke sana!" titah Iman tanpa menunggu jawaban anaknya. Deni bergegas keluar.
"Papah tega, ih!" Nisa mengerucutkan bibirnya.
"Anaknya yang mau, Mah. Bukan Papah yang nyuruh."
"Tetep aja. Papah tega banget."
"Pengen punya duit tambahan kali Dianya, Mah. Nambah - nambah jajan. " Nisa diam. Ia memang membatasi pengeluaran untuk jajan. Lebih baik makan yang kenyang di rumah. Jajanan di luar tidak terjaga kesehatannya.
"Biar Dia belajar kerja juga dan mengerti tanggung jawab." tambah Iman lagi. Ia merasa senang dapat memberikan pencerahan pada istrinya.
"Kenapa bukan Papah aja, sih? Deni itu besok sekolah, Pah. Masa' harus kerja sampai jam 12 malam? Papah memangnya ngapain, coba?"
Kali ini Iman yang diam. Ia sudah terlalu nyaman menjadi juragan empang. Masa' harus kerja begituan, sih?
Dimaki - maki oleh pemancing bila gerakannya lamban. Oh, Noo..!
**********
Pagi ini Nisa sangat sulit membangunkan Deni untuk sholat subuh. Ia baru tidur jam setengah satu malam.
"Deni! Mamah capek bolak balik bamgunin Kamuu..!" teriak Nisa. Sekarang sudah jam setengah 6. Deni belum juga bangun. Ia pasti kelelahan.
"Kalau begini caranya Kamu nggak boleh ikutan kerja lagi!" Deni bergegas bangun mendengar ancaman Mamahnya. Ia langsung ke kamar mandi.
Nisa menghela nafas. Belum hilang rasa kesalnya Teh Yanah datang membawa kabar buruk.
"Iman! Bang Mumu sampai bonyok dipukulin sama anak buah Kamu itu!" Hah?
Nisa terkejut tapi tidak dengan Iman.
"Emang pantas Dia digebukin, Teh!" mata Yanah membeliak seperti ingin keluar dari sarangnya mendengar ucapan Iman.
"Kamu kok begitu? Dia itu Abang Kita, Man!"
"Papah?" Nisa ikut menyalahkan Iman.
"Kalau orang suka mabok ketemu sama tukang mabok juga, ya begitu?!"
Nisa tidak mengerti maksud Iman.
"Bang Mumu ngerebut pacar si Rasya, ya dihajar, lah!" mulut Nisa membuka dan membentuk bulatan seperti Yanah. Rasya?
"Mumu pacaran?" desis Yanah tak percaya.
"Iya, Teh." Nisa yang menjawab.
'Gila juga Bang Mumu. Mau didobelin tuh si Yanti?' gerendeng hati Yanah.
"Aku nggak mau tau! Pokoknya Kamu harus pecat si Rasya itu!" tegas Yanah.
"Nggak bisa, Teh. Itu masalah pribadi Rasya sama Bang Mumu. Nggak ada urusannya sama empang!"
"Tapi Bang Mumu itu kakakmu, Man. Bos nya Rasya!"
"Udah, ah! Teteh nggak usah ngatur - ngatur. Jangan bikin Aku jadi pusing. Susah tau, cari karyawan."
"Ada Aku, Pah. " Deni nyengir. Ia sudah siap dengan seragamnya.
"Deni!" Iman dan Nisa serempak berteriak.
"Iya - iyaa! Aku berangkat." Deni mencium punggung tangan Nisa dan Iman. Juga Yanah.
"Biar Bang Mumu dapat pelajaran sekali - sekali, Teh. Jangan dibelain terus!"
"Kamu tega sama saudara Kamu sendiri, Man!" ucap Yanah sebelum pergi.
"Siapa suruh senangnya mabok - mabokan!" geram Iman. Nisa diam dalam pikirannya yang ruwet.
"Papah seperti udah tau, ya?" tanya Nisa.
"Tau apa?"
"Kejadian ini."
Iman menggeleng.
"Papah cuma nebak aja setelah dengar cerita Mamah kemarin."
Iman tau Rasya pacaran dengan Tini. Rasya begitu setia menjemput dan mengantarnya pulang. Hubungan mereka berlanjut setelah Tini tiba - tiba berhenti bekerja. Bahkan Rasya mencarikannya pekerjaan di tempat baru.
"Jadi begitu? Mamah nggak tau berita setelah si pelakor itu berhenti dari sini. Ternyata Papah biang gosip juga." tawa Nisa.
"Mereka yang cerita, bukan Papah yang ngegosip!" bibir Iman mengerucut. Mereka yang dimaksud Iman adalah anak - anak buahnya.
"Kok Rasya berani ya, mukulin Bang Mumu?"
"Mabok, Dianya!" Hah? Lagi - lagi bibir Nisa membentuk bulatan.
"Kalau Dia nggak mabok dulu, mana Dia berani mukulin Bang Mumu, secara Dia itu kakaknya Bos!"
"Kalau mabok memang jadi berani, Pah?"
"Berani, tapi tenaganya nggak ada."
"Kalau tenaganya nggak ada, kok bisa mukulin bang Mumu?"
"Bang Mumunya juga mabok, 'kan?"
Oh, iya. Nisa akhirnya mengerti. Jadi Rasya sengaja pulang agar malamnya dapat mencari Bang Mumu di tempat biasa Dia mabok.
"Terus bagaimana, Pah? Papah mau pecat Rasya?" seperti perintah Teh Yanah.
"Papah mau cari orang buat gantinya dulu. Makanya sekarang Papah mau jalan ke tempat Juned. Barangkali di sana ada orang yang mau ngegantiin Rasya. Kalau ada, Rasya Kita pecat."
"Tapi tadi di depan Teh Yanah Papah nggak ngomong begitu."
"Papah mau pecat Rasya bukan karena Dia berantem sama Bang Mumu, tapi karena kemarin Dia minum di lampak!" Nisa terkejut.
"Memang Papah tau?"
"Orang minum mau ditutupin kayak gimana juga pasti ketahuan, Mah. Memangnya Papah anak kecil, apa?"
************