Perasaan mereka seolah terlarang, padahal untuk apa mereka bersama jika tidak bersatu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Flaseona, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Can We? Episode 14.
...« Sudah tiba di tujuan »...
Setelah tepat delapan jam mereka berada di dalam kereta, akhirnya sampai juga di kota tempat tujuan. Sebelumnya Gavan juga sudah menyewa mobil besar untuk transportasi dirinya dan teman-teman Arasya.
“Wah, Mas, padahal kita lho yang mau liburan. Tapi malah semuanya di urus sama Mas. Maaf ya Mas jadi ngerepotin.” Celetuk Dina dari belakang.
“Santai aja, Dina. Toh saya juga ikut ini. Walaupun enggak ikut juga tetap saya urus, soalnya ada Adek nih.”
Arasya segera membungkam mulut Gavan dengan telapak tangannya.
“Oh iya deng. Arasya ‘kan baru pertama kali pergi jauh sama kita. Tapi untungnya mau lho, Mas. Biasanya kalau di ajak tuh susah banget. Kebanyakan gak maunya.” Elsa ikut menimbrung percakapan tersebut.
“Iya lagi. Anak rumahan banget tahu, Mas.” Voni juga menimpali.
“Ya udah sih, ‘kan sekarang aku ikut. Gak perlu mengungkit masa lalu.” Ujar Arasya membela diri.
Gavan terkekeh karena ia tetap di bungkam oleh si kecil. Ternyata begitulah kesan Arasya di mata teman-temannya. Ini adalah pertama kalinya Gavan tahu sisi baru Arasya menurut mereka.
”Oh, iya, Mas. Nanti boleh mampir di minimarket gak, ya? Soalnya biar sekalian beli bahan-bahan buat bakar-bakar nanti malam.”
“Boleh, kok, boleh.” Gavan segera menyampaikan permintaan mereka pada sang sopir. Tetapi justru tujuan mereka adalah supermarket. Pusat perbelanjaan yang jauh lebih besar dan lengkap.
Semuanya turun dari mobil setelah kendaraannya berhasil parkir dengan sempurna. Arasya menggandeng Gavan dengan semangat menuju troli.
“Ra, pasti mahal ini mah tempatnya.” Dina berbisik pada Arasya, merasa tidak enak hati jika Gavan mendengarnya.
“Oh... Kalau gitu aku aja yang beli perdagingan sama sosis.” Jawab Arasya.
“Eh, mana bisa. Yang makan ‘kan bareng-bareng. Ya gak enaklah kita.” Voni ikut berbisik.
Arasya pun dikerubungi oleh tiga temannya beserta Lina. Sedangkan Gavan bersama dua laki-laki lainnya sudah melangkahkan kaki terlebih dahulu.
“Iya, Ra. Tiket juga udah Mas Gavan yang bayar. Ditambah disewain mobil juga. Ini kita malah jadi beban gak sih?” ujar Elsa yang diangguki Dina, Voni, juga Lina.
“Pindah aja gimana, Ra? Kasih tahu Mas kamu.” Lina ikut membujuk.
Arasya menggaruk pelipisnya, merasa diserbu oleh pasukan ibu-ibu yang ingin menawar harga.
“Tambah gak enak dong kalau kita minta pindah, Kak Lin. Udah, gapapa, tenang aja. Daging sama sosis biar aku yang tanggung. Kalian bisa pilih snack sama minumannya.”
Dina hampir ingin memprotes, tapi teriakan Gavan memanggil Arasya langsung menundanya.
“Gapapa, beneran deh. Cepet sana ambil troli lagi. Aku duluan, ya.” Arasya segera berlari mendekati Gavan.
Pria tersebut otomatis mengambil alih troli yang di dorong Arasya. “Kenapa berhenti di sana, Dek?” tanya Gavan.
“Itu, bahas mau beli apa aja. Terus bagi tugas juga. Aku bagian daging sama sosis. Ayo, Mas.” Ajak Arasya yang diangguki Gavan.
Mereka berjalan berdua meninggalkan kekasih Dina dan Lina setelah pamit pada keduanya. Melangkahkan kakinya menuju bagian daging terlebih dahulu.
Arasya menegak ludahnya saat melihat harga yang tertera di masing-masing jenis daging. Benar sekali perkataan Dina jika tempat ini kemungkinan menjual barang yang tidak murah. Dan seharusnya ia mengikuti kata Lina untuk berpindah tempat.
Kini hanya ada penyesalan yang tersisa. Arasya harus mengatakan selamat tinggal pada sebagian nominal uang di kartu banknya sebentar lagi.
“Kenapa diem, Dek?” tanya Gavan kebingungan.
“Enggak. Lagi mikir enakan yang mana.” Bohong Arasya.
Tetapi sialnya, Gavan justru menunjuk daging yang sangat mahal dari yang lainnya. “Mami biasanya beli itu, Dek. Kamu tahu pasti rasanya seenak apa. Ambil delapan cukup?”
Arasya menangis di dalam hati saat Gavan tanpa menunggu jawabannya segera mengambil daging tersebut untuk dipindahkan ke troli. Delapan sekaligus.
“Dek? Kenapa deh?” Gavan menjadi khawatir saat ia memergoki Arasya sering melamun.
Gavan melangkahkan kakinya mendekat ke arah Arasya. Lalu menangkup wajah Arasya dan menyuruh si kecil untuk menatap mata Gavan.
“Kenapa? Dari tadi Mas lihat melamun terus. Perutnya sakit atau kepalanya pusing?”
Arasya yang tidak ingin membuang waktu segera menggelengkan kepalanya sembari tersenyum lebar. Berusaha untuk mengatakan bahwa Arasya baik-baik saja dan memberikan alasan bahwa ia sedang menghafal apa saja barang yang harus dibeli.
“Ya tinggal ambil daging sama sosis ‘kan, Dek. Ini kurang gak? Kalau kurang ambil lagi. Adek mau yang mana bilang. Atau mau coba daging yang lain?”
“Udah cukup, Mas. Jangan banyak-banyak nanti takutnya gak kemakan terus kebuang deh.” Kata Arasya. Padahal di dalam hatinya ia sedang meratapi pengeluarannya nanti.
Tidak ingin membuang waktu lebih lama lagi, keduanya beralih tempat menuju per-sosis-an. Kali ini Arasya memilih sosis kesukaannya yang terbilang cukup terjangkau.
Apa yang sudah Arasya janjikan untuk dirinya beli semuanya masuk ke keranjang. Gavan membantu mendorong troli yang dipegang Arasya sehingga si kecil berada ditengah-tengah.
Memutuskan untuk berjalan menuju kasir sembari mencari teman-teman Arasya. Mereka bertemu tepat di depan kasir.
“Bayarnya gabung aja, Dek. Biar cepet.” Ujar Gavan. Membuat teman-teman Arasya termenung di tempat.
“Iya, gapapa, Din. Di sini aja sekalian antrinya. Pakai kartuku dulu aja.” Arasya berlagak bak pahlawan.
“Emang bawa dompet, Dek?”
Pertanyaan Gavan mendapat dengusan dari Arasya. “Ya bawa lah.” Jawabnya percaya diri.
Tetapi saat tangan Arasya meraba tas selempangnya, tidak ada satupun bentuk yang menyerupainya.
“Hah, Mas!” Arasya total panik dan merutuki kebodohannya lagi.
Gavan terkekeh merasa terhibur, ia mengacak rambut Arasya. “Gimana, Dek?” tanyanya pura-pura tidak mengerti situasi.
“Kenapa, Ra?” itu Voni yang bertanya.
“Dompetku ketinggalan. Aku ambil dulu aja deh bentar.”
Belum sempat Arasya menjauh, Lina melarangnya. “Pakai punyaku dulu aja, Ra. Kejauhan kalau balik nanti kamu capek.”
Gavan masih tidak bisa menghentikan tawanya, Arasya yang kesal segera memberikan pukulan bertubi-tubi ke perut pria tersebut.
“Nanti aku ganti ya, Kak. Maaf malah aku repotin Kak Lina.”
Lina menggeleng, tidak merasa Arasya seperti itu.
“Udah. Kalian tunggu di depan aja. Biar laki-laki yang urus.” Ucap Gavan.
Mereka mengangguk setuju atas penawaran itu. Lina pun segera memberikan kartu atmnya pada Gavan. “Ini, Mas.”
“Eh? Gak perlu, Lin. Biar saya aja yang bayar.”
“Lho, Mas! Gak bisa! Masa apa-apa Mas terus deh!” protes Dina yang diangguki yang lainnya termasuk Arasya.
“Santai aja. Yang penting nanti dimasakin makanan yang enak. Udah sana tunggu di luar. Adek saya tolong dijagain, ya. Takutnya ketinggalan juga.”
...« Terima kasih sudah membaca »...