Axel Rio terjebak bertahun-tahun dalam kesalahan masa lalunya. Ia terlibat dalam penghilangan nyawa sekeluarga. Fatal! Mau-maunya dia diajak bertindak kriminal atas iming-iming uang.
Karena merasa bersalah akhirnya ia membesarkan anak perempuan si korban, yang ia akui sebagai 'adiknya', bernama Hani. Tapi bayangan akan wajah si ibu Hani terus menghantuinya. Sampai beranjak dewasa ia menghindari wanita yang kira-kira mirip dengan ibu Hani. Semakin Hani dewasa, semakin mirip dengan ibunya, semakin besar rasa bersalah Axel.
Axel merasa sakit hati saat Hani dilamar oleh pria mapan yang lebih bertanggung jawab daripada dirinya. Tapi ia harus move on.
Namun sial sekali... Axel bertemu dengan seorang wanita, bernama Himawari. Hima bahkan lebih mirip dengan ibu Hani, yang mana ternyata adalah kakak perempuannya. Hima sengaja datang menemui Axel untuk menuntut balas kematian kakaknya. Di lain pihak, Axel malah merasakan gejolak berbeda saat melihat Hima.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Septira Wihartanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Take a Break
Oke...
Pulang kemana aku sekarang?
Saat ini aku sedang menyelesaikan rincian slip-slip transaksi di ruangan Devon sambil menikmati nasi goreng daging sapi yang entah darimana dan siapa yang belikan sudah ada begitu saja di meja Devon sebelum aku kembali ke ruangan ini.
Tadi saat Maghrib aku mengendarai motor matic bututku ke cafe dan berhasil menenangkan Elisa yang tampak sangat khawatir padaku.
Kujelaskan saja kalau aku kini sudah diterima bekerja di kantor Prababasampurna.
Mulanya Eli tampak kecewa, tapi kujelaskan aku masih ingin mengambil part time di cafe De’Monsieur kalau diperkenankan. Aku juga menjelaskan kalau aku dalam suatu misi pekerjaan yang latar misinya mengambil lokasi di cafe ini. Aku berhasil meyakinkannya kalau yang kukerjakan ini tidak akan berpengaruh terhadap customer-customer kami.
Ditambah, aku mengajari anak buah Putra untuk membuat kopi sederhana menggunakan mesin pembuat kopi di cafe. Mereka sudah sangat baik dalam melayani customer, mungkin terbiasa dengan etika kerajaan. Tapi mereka payah kalau urusan dapur.
Eli pun menghubungi oliver di Paris dan kami berdiskusi agak lama, sekitar satu jam.
Aku tidak membuka identitasku, aku hanya bilang ke mereka aku bertemu Devon karena pria itu pelanggan cafe ini, dan adikku kini menjadi istri Devon.
Mereka mulanya tak percaya, tapi saat kutunjukkan fotoku dengan Devon di KUA, mereka tentu saja mengenal Devon. Si playboy papan atas, saking atasnya sampe kejedot plafon.
Lalu karyawan-karyawan yang kini ada di tempat Eli adalah penggantiku, sementara aku harus mengurusi pekerjaanku. Eli dan Oliver tak perlu menggaji mereka karena sudah ditanggung perusahaan.
Ditanggung si Putra, sebenarnya.
Mungkin perusahaan juga sudah berhitung, bahwa keuntungan yang akan kuhasilkan dari misi ini jauh lebih besar daripada sekedar menggajiku dan kelima anak buah Putra.
Dan kembali lagi ke aku yang kerja lembur.
Badanku masih pegal-pegal dan aku merasa pusing.
Udah lama nggak pegang laptop, dan layar komputer kini membuat kepalaku sakit.
Dan kuamati situasi sekitarku.
Aku berdiri, keluar dari ruangan Devon, keluar dari area Finance dan berjalan-jalan menyusuri gedung ini menghilangkan penat.
Gedung ini sepi, tanpa manusia.
Tapi mata dimana-mana.
Terakhir aku kesini aku dalam rangka mencari celah gedung untuk menyusup mengembalikan id card Bu Kayla dan bahkan aku membantunya melahirkan di koridor tempatku berdiri sekarang.
Sekarang, rasanya aneh saat melihat-lihat dengan santai.
Kukagumi berbagai furniture di sana, aku juga menghitung ada berapa titik merah sensor gerak di sana. Semua yang tertangkap kamera di sini tidak diamati hari ini juga, tapi akan diamati esok hari.
Saat malam hari, toko-toko di sini tanpa kasir. Buka, tapi tak ada orang.
Aku mengambil sekaleng jus dan snack kentang di minimarket, lalu kudekatkan tanganku ke mesin sensor.
Mesin itu mengeluarkan nota.
Udah, gitu aja cara bayarnya. Nanti tagihannya otomatis akan memotong gajiku di sini.
Mungkin perlakuannya beda kalau aku hanya pengunjung dan bukan karyawan.
Sambil mengunyah snek di tanganku, aku berjalan-jalan.
Sambil berpikir... kapan ya aku mengunjungi anak-anak di kampung? Mereka suka nih snek ginian.
Mungkin besok saja kali ya.
Tak terasa aku sampai di lantai atas. Kalau tak salah ini Area Operasional. Tempat Lily dan Zaki bekerja.
Aku mengintip ke dalam, Pak Zaki masih di sana. Sedang mengamati layar besar di depannya.
Di sampingnya ada Lily danLeyla yang sedang sibuk dengan laptopnya.
Mereka hanya bertiga, tidak kulihat karyawan lain.
Aku penasaran, kenapa ya karyawan Devon semuanya cowok, dan Karyawannya Zaki semuanya cewek?
“Saya butuh orang lagi kayaknya. Yang kemampuannya mendekati Altan.” Aku mendengar Zaki bicara begini.
“Memangnya nggak cukup kalau ada saya Pak?” ada nada tersinggung di nada bicara Leyla.
“Kamu kan bisa Haid.” Kata Zaki.
“Memangnya kenapa kalau saya Haid? Saya perempuan.”
“Justru itu.”
“Haid bukan alasan untuk tidak bisa bekerja. Bapak jangan beda-bedakan gender dong ah,”protes Leyla
“Bukan saya yang mau beda-bedakan. Tapi penghuni di sana kalau nyium bau darah bisa brutal. Kalau kamu tiba-tiba Haid terus kesurupan dan sukma kamu diambil kan saya bisa diomelin Pak Battar.”
Leyla diam.
Tampak Lily bergidik.
Penghuni apa yang dia maksud ya?
“Lu lagi lembur Jack?”
Aku diam.
Lalu kembali mengintip.
Zaki tampak menatapku.
Lah, dia tahu ya kalau aku dari tadi mengintip?
“Gitu deh Pak.” Desisku tak enak karena ketahuan.
“Hm...”
Dia hanya bergumam begini.
Tapi dari postur tubuhnya sih dia kayaknya mau...
“Gue banyak kerjaan.” Sahutku cepat sambil kabur.
“Bentar Cindhil! Enak aja lo mau kabur habis ngintip-ngintip!” seru Zaki.
Elaaaah, salah banget aku mampir-mampir ke sini.
Tadinya kan kupikir bisa minta ‘jatah’ sama Lily mumpung Artemis nggak ada.
“Jangan nambah-nambahin kerjaan gue lah Pak, ini aja gue masih ngeraba-raba makanya gue jalan-jalan dulu ngilangin pusing.” Keluhku.
Lily mendekatiku sambil tersenyum, lalu merangkul leherku.
Dan dia mencium bibirku.
Kangen deh rasanya.
“Mau?” tanyanya lembut sambil berbisik.
Aku tahu maknanya.
“Mau.” Jawabku singkat. Nggak muna aku memang ingin mengeluarkan oli bekas dari tubuhku, rasanya pusing kalau tidak tersalurkan.
“Tapi bantuin dulu, hehehe.”
Dan dia menggeretku ke depan Zaki.
Halaaaaahhh, males banget deh ah!
“Duduk sini sayang,” Lily menepuk-nepuk kursi di sebelahnya.
“Nggak jadi, aku gituan sama sabun aja.” Dengusku sebal.
“Heeeeh, ntar bonus gue tambahin, gue butuh orang buat upacara penglaris gudang.” Sahut Zaki.
“Penglaris gudang tuh maksudnya apa?!” aku merasakan firasat buruk mengenai hal ini.
“Jadi gini Jackson,” Lily duduk di pangkuanku dengan posisi yang sangat menggoda. Aku geser sedikit saja resleting celanaku, sudah masuk kali. Karena aku tahu segitiga Lily sangat tipis. “Gudang di Gresik ini belakangan memakan korban sampai 7 orang buruh karena manajernya salah hari menyajikan sesajen.”
“Bisa-bisanya salah hari.” Gerutuku.
“Kami bilang ‘malam jumat’ dia malah kasih sajennya malah hari Jumat malam.” Kata Zaki.
“Iya, hari Kamis jam 7 malam itu sudah termasuk hari Jumat.” Leyla tampak mengeluh. “Biaya rumah sakitnya benar-benar mengiris hati. Ada yang sampai diamputasi segala. Kami harus membiayai hidupnya sampai tua, padahal dia baru kerja 2 tahun.”
“Dan ‘penghuni’ di sana nggak mau kompromi. Kalau hari Kamis besok sesajinya tidak segera diberikan, dia akan mencelakai 7 orang lagi, bisa jadi kali ini nggak cukup hanya melukai. Kalau begini caranya orang takut kerja di sana, gudang itu lagi-lagi akan kosong, kalau tak ada yang menyewanya ya kita nggak dapet cuan.” Kata Zaki.
“Laluuuu...” gumamku mulai malas.
“Lu pergi sama gue hari Kamis ke Gresik.” Sahut Zaki.
“Plis deh...” gumamku.
Aku paling malas mistis-mistisan, ya bukannya takut. Aku tahu yang beginian pasti bakalan ada secara kami memiliki beberapa gudang. Maksudku, ini sudah abad berapa gitu, masih ada aja gini-ginian?
Ya ada.
Males saja berurusan sama ghaib.
“Lu malam ini nginep di tempat Lily lagi? Kalo nggak salah Artemis bukannya mau dateng ya?” tanya Zaki. Dia tampak tak peduli dengan aksi Lily yang mengal-mengol di atas pangkuanku.
“Kayaknya gue nginep di kantor sampai dapet tempat tinggal baru, deh.” Beberapa bajuku juga masih di cafe. Tapi tak enak kalau menginap di sana lagi secara aku sudah digantikan oleh anak buahnya Putra.
“Nih.” Zaki melemparkan sesuatu padaku.
Aku sigap menangkapnya.
Kartu Akses.
Credence Tower.
Apartemen?
“Tipe studio, gue dapet waktu bantuin bisnis teman bulan lalu. Full Furnish, biasa si Kayla nggak bisa ngeliat ruangan kosong. Dari kompor sampe mesin cuci udah lengkap di sana, tapi siapa juga yang mau tinggal di sana. Tadinya mau gue sewain aje buat pemasukan tahunan. Tapi dari pada lu luntang-lantung, malu bocah. Masa karyawan Praba nggak punya rumah?!”
“Ini... buat gue Pak?” tanyaku.
“Ambil dah.” Jawabnya.
“Gratis Pak?”
“Iyaaaa, tapi kalo lu dah punya tempat tinggal baru ya balikin ke gue.” Sahutnya.
Yah... trenyuh dah hatiku.
Jadi,
Kusingkirkan Lily dari pangkuanku.
Kuhampiri Zaki.
Dan kupeluk dia.
“Makasih Pak Bro, apa pun yang dirimu titahkan saya akan nurut.”
Basa basi busuk ala aku.
“Gue benci penjilat.” Gumamnya. Tapi kenapa dia tepuk-tepuk punggungku?
naj** gil**
axel:🤢🤢🤢🤮