Perjalanan hidup sebuah nyawa yang awalnya tidak diinginkan, tapi akhirnya ada yang merawatnya. Sayang, nyawa ini bahkan tidak berterimakasih, malah semakin menjadi-jadi. NPD biang kerok nya, tapi kelabilan jiwa juga mempengaruhinya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Osmanthus, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Waktu berlalu
4 Tahun berlalu dengan cepat. Nita tumbuh jadi anak yang cantik. Tapi sayang ada beberapa sikapnya yang tidak begitu bagus, hanya saja karena bu Tere menyayangi nya, hal ini jadi tidak terlihat.
Nita jadi anak yang egois, apa yang dia mau harus dia dapatkan. Karena Joni dan Doni terbiasa mengalah, maka Nita jadi besar kepala.
Dia bahkan akan menghancurkan barang yang tidak dia suka jika masih dipaksa untuk memakainya atau dipaksa untuk memainkannya.
Contohnya salah satu boneka kain yang diberikan bu Yuli. Nita tidak suka boneka itu, akhirnya boneka kain itu digunting nya dan dibuang ke tempat sampah.
Ada lagi, jika dia suka sebuah pakaian maka dia akan merengek memaksa untuk mendapatkannya. Dia akan menjerit dan menangis. Dan bu Tere akan selalu memberikan apa yang dia mau agar dia tidak lagi menangis.
Kondisi keuangan mereka memang tidak terlalu bagus, tapi karena Joni dan Doni sering mengalah, terutama Doni, jarang sekali meminta pakaian baru, sepatu baru bahkan tas baru pun hampir tidak pernah diminta. Doni sayang dengan adiknya, jadi dia akan memakai bekas Joni dan Joni yg mendapatkan barang baru.
Kalau ada uang kadang bu Tere ingin membelikan Doni, tapi selalu ditolak oleh Doni dan dia berkata "Belikan untuk Nita saja. Aku cukup bekas dari abang Joni"
Nita yang merasakan kasih sayang melimpah, tidak pernah tidak mendapatkan apapun yang dia inginkan, akhirnya jadi anak keras kepala.
"Ibu, aku mau mainan itu." tunjuk Nita suatu kali di sebuah toko kelontong.
"Tapi nak, uang ibu tidak cukup.", ujar bu Tere.
"Aku mau itu, atau aku ngga mau pulang ke rumah" Nita menghentakkan kaki nya dan mulai menangis.
"Astaga, anak ibu yang cantik. Jangan menangis lagi. Baiklah, baiklah, ibu akan belikan." bu Tere menghibur Nita dan akhirnya membelikan mainan itu dan batal membeli bahan masakan.
"Is...is...is...liat si Tere itu, dia manjakan sekali si Nita. Mau jadi apa anak itu kelak? Bisik tetangga dekat rumah mereka yang juga belanja di sana.
"Iya, coba ku tegur dia dulu. Ngga bagus kayak begitu loh" ujar bu Kim tetangga mereka
"Bu Tere, sebaiknya jangan terlalu dituruti deh. Nanti dia jadi besar kepala dan nakal loh" ujar ibu Kim
"Ah, ngga kok bu. Dia biasanya anak baik, hanya mungkin tadi kurang pulas tidurnya, jadi agak rewel." jelas bu Tere tidak terima jika dianggap memanjakan anak.
"Yah itu terserah bu Tere sih. Tapi dari pengalaman saya membesarkan 5 anak, yang sekarang sudah kerja semua. Ngga bagus kita menuruti semua kemauan anak. Malah saya lihat-lihat antara Nita dengan Doni, justru kasihan Doni deh." ujar ibu Kim lagi.
Ya, mereka tetangga dekat rumah. Jadi setiap hari mereka bertemu dan mereka selalu memperhatikan, bolah dibilang hanya Joni dan Nita yang selalu berpakaian baru dan barang baru, Doni hanya memakai bekas Joni.
"Aduh bu, tau juga si Doni, dia mana mau beli baru. Malah dia yang menolak kalau dibelikan barang baru, katanya biar pakai punya Joni saja. " jawab bu Tere tidak mau kalah.
"Itu karena Doni anaknya pengalah bu. Masa ibu Tere ngga sadar? Niat Doni itu biar ngga membebani orangtua. Makanya dia memilih pakaian bekas abangnya" jelas bu Kim sedikit pedas.
"Ah ibu, saya lah yang paling paham sama Doni. Kalau dia ngga mau dibelikan ya nda bakalan mau. Apalagi anak laki-laki ngga begitu perduli dengan penampilan di usia segitu. Beda dengan Joni, dia sudah remaja pasti lah lebih peduli dengan penampilan." sanggah bu Tere lagi dengan sedikit emosi.
Akhirnya teman ibu Kim mencolek dari belakang, supaya bu Kim tidak memperpanjang perdebatan.
"Ok lah, saya hanya sekedar mengingatkan saja. Karena pengalaman hidup. Kalau begitu kami pamit dulu" jawab bu Kim sadar dan memilih kembali ke rumah bersama temannya.
"Huh, mentang-mentang anaknya sudah sukses semua, dia malah berasa sombong. Apa salahnya memberikan lebih kepada Nita, anak ini sudah ngga dianggap sama orangtua kandung nya, kan kasihan. Baru cuma beli mainan begini, ya ngga apa-apa lah" omel bu Tere sembari jalan pulang menggandeng Nita.
Di jalan pulang bu Tere melihat Ema bersama seorang laki-laki sedang berboncengan lewat di depan mereka. Ema hanya melirik bu Tere dan Nita lalu pura-pura tidak melihat mereka.
"Perasan sebelum ini aku pernah lihat Ema bersama laki-laki lain. Ini tampang nya juga beda." gumam bu Tere sendiri.
"Ayo Nita, kita pulang ke rumah. Sampai di rumah Nita boleh main mainan ini." ujar bu Tere mempercepat langkah mereka.
"Ya ibu, aku tidak sabar ingin main mainan ini. Terimakasih ya bu" jawab si kecil Nita.
"Sama-sama sayangnya ibu" jawab bu Nita tersenyum
"Lihatkan, betapa manisnya Nita. Dia bahkan tahu mengucapkan terimakasih." batin bu Tere.
Sesampainya di rumah bu Tere dan Nita disambut oleh Doni yang sedang bermain di halaman.
"Bu, apakah roti pesananku ada?" tanya Doni bersemangat karena melihat kantong belanjaan bu Tere.
"Aduh, maaf sayang. Tadi Nita minta mainan jadi uang ibu tidak cukup beli roti." jawab bu Tere sedikit sedih.
"Oh, adik mau mainan ya? Ya sudah, tidak apa-apa bu. Besok-besok kan masih bisa beli roti lagi, belikan buat adik saja dulu." ujar Doni pengertian.
"Terimakasih ya sayang, kamu selalu paling pengertian. Dan selalu mengalah untuk Nita" jawab bu Tere senang.
Dia merasa adalah sesuatu yang wajar bagi kakak untuk mengalah kepada adik.
Padahal boleh dibilang Doni selalu mengalah bahkan jarang mendapatkan keinginan nya. Tapi Doni memang anak yang tidak mau ambil pusing, jadi dia akan lupa setelah sekian lama berlalu, hingga dia sendiri tidak merasa jadi korban atau dirugikan.
Kalau Joni karena dia merasa butuh ya dia minta. Memang dia tidak seperti Nita, apa yang dia lihat dia mau, tidak. Joni hanya meminta dikala barang yang dipakainya sudah tidak bisa digunakan atau kekecilan. Boleh dibilang Joni dan Doni memang anak yang pengertian dan tidak banyak menuntut. Mereka mirip sekali seperti pak Guntur.
Sayang bu Tere tidak pernah menyadari ini karena sikap anak kandungnya yang sangat penurut. Dia berpikir dia adalah ibu yang baik, adil dan selalu mementingkan anak-anaknya.
Padahal dalam setiap kesempatan dia akan lebih dahulu membelikan Nita, sisanya baru untuk Joni dan terakhir Doni. Makanan juga begitu, Nita akan mendapatkan porsi lebih banyak, sisanya baru Joni dan Doni.
Pakaian juga begitu, Nita akan dibelikan dahulu, baru menyusul Joni dan Doni.