NovelToon NovelToon
Benih Pengikat Kaisar

Benih Pengikat Kaisar

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Balas Dendam / CEO / Cinta setelah menikah / One Night Stand / Percintaan Konglomerat
Popularitas:3.7k
Nilai: 5
Nama Author: Puji170

Satu tahun menikah, tapi Sekar (Eka) tak pernah disentuh suaminya, Adit. Hingga suatu malam, sebuah pesan mengundangnya ke hotel—dan di sanalah hidupnya berubah. Ia terjebak dalam permainan kejam Adit, tetapi justru terjatuh ke pelukan pria lain—Kaisar Harjuno, CEO dingin yang mengira dirinya hanya wanita bayaran.

Saat kebenaran terungkap, Eka tak tinggal diam. Dendamnya membara, dan ia tahu satu cara untuk membalas, menikahi lelaki yang bahkan tak percaya pada pernikahan.

"Benihmu sudah tertanam di rahamiku. Jadi kamu hanya punya dua pilihan—terima atau hadapi akibatnya."

Antara kebencian dan ketertarikan, siapa yang akhirnya akan menyerah?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Puji170, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 18

Eka menegakkan punggungnya, menatap Kai tanpa gentar meskipun kakinya terasa lemas. Ia sudah sampai sejauh ini, tak mungkin mundur sekarang. Apalagi terdengar beberapa suara sekitar mengatakan dirinya wanita gila yang berani mengaku-ngaku hamil anak dari seorang Kaisar Harjuno.

"Aku. Hamil," ulangnya dengan suara lebih tegas, meski ada sedikit getaran di akhirnya.

Rendi yang berdiri di samping Kai refleks menoleh, matanya membesar seolah tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Sementara itu, Kai tetap diam, ekspresinya tidak menunjukkan kejutan, marah, atau kebahagiaan. Justru sorot matanya yang dingin membuat Eka semakin gelisah.

"Ikut aku," ucapnya tiba-tiba.

Kai berbalik dan berjalan ke arah lift tanpa menunggu jawaban. Eka mengerjap, lalu buru-buru mengekor di belakangnya. Ia sadar semua mata pegawai di lobi kini tertuju padanya, tapi ia tak peduli. Yang penting sekarang adalah apa yang akan terjadi setelah ini.

Begitu pintu lift tertutup, suasana menjadi lebih tegang. Hanya ada mereka berdua dalam ruangan sempit itu. Kai tidak mengatakan sepatah kata pun, hanya menatap lurus ke depan dengan rahang mengeras.

"Eka," akhirnya ia membuka suara ketika lift mulai bergerak naik. "Jangan main-main dengan ini."

"Aku nggak main-main," balas Eka cepat. Ia membuka tasnya dan mengeluarkan test pack yang tadi ia bawa, menunjukkannya kepada Kai. "Bukti ini cukup buatmu?"

Kai melirik test pack di tangannya, ekspresinya tetap dingin. Ia menatapnya sejenak, lalu kembali menatap Eka dengan tajam. "Kalau benar, kita periksa sekarang."

Eka mengepalkan tangan. Ia tahu Kai bukan tipe pria yang mudah percaya, tapi tetap saja, sikapnya yang seolah meragukan segalanya membuatnya kesal. "Baik," sahutnya, meski di dalam hatinya ada rasa was-was.

Saat lift berbunyi dan pintunya terbuka, Kai langsung melangkah keluar tanpa sedikit pun menoleh ke arah Eka. Langkahnya cepat, seolah ingin segera mengakhiri percakapan ini. Namun, suara Eka menghentikannya di tengah koridor.

"Ingat tepati janjimu!"

Kai berhenti. Punggungnya menegang, tapi ia tidak langsung berbalik. Rahangnya mengeras saat kata-kata itu menggema di benaknya.

"Janji yang mana?" tanyanya tanpa menoleh, suaranya datar, tetapi penuh ketidakpercayaan.

Eka mengepalkan tangannya erat, kukunya hampir menembus kulit. Ia sudah menduga Kai akan bereaksi seperti ini—dingin, menolak, seakan yang terjadi di antara mereka tidak pernah ada artinya. Tapi tetap saja, hatinya terasa diremas.

"Patkai!" serunya dengan suara bergetar, memanggil nama panggilan yang dulu terasa begitu akrab di lidahnya.

Kai akhirnya berbalik. Sorot matanya tajam, penuh ketidaksabaran. "Eka, sudah aku bilang, jangan panggil aku seperti itu!"

Eka menatapnya, dadanya naik turun menahan emosi yang hampir meledak. "Oh, jadi kamu masih ingat dengan panggilan itu?" bibirnya melengkung pahit. "Berarti kamu juga ingat janji untuk menikahiku jika aku hamil?"

Kai menatapnya lama, tapi tidak ada perubahan di wajahnya selain ekspresi yang semakin sulit ditebak. Lalu, tanpa ragu, ia membuka mulutnya dan berkata dengan nada datar, "Aku tidak pernah berjanji. Kamu mungkin salah dengar."

Eka terkesiap, dadanya terasa sesak mendengar jawaban Kai. Ia menatap pria itu dengan penuh keterkejutan dan kemarahan yang mulai membara. “Jangan bercanda, Kai! Waktu itu kamu bilang sendiri—kalau aku benar-benar hamil, kamu akan menikahiku. Sekarang kamu mau pura-pura lupa?”

Kai menghela napas panjang, menekan amarahnya yang mulai naik. Ia melirik ke arah pegawai yang melintas di koridor sebelum kembali menatap Eka dengan tajam. “Bukan tempatnya untuk membahas ini,” katanya dingin. “Ikut aku.”

Eka masih ingin membantah, tapi Kai sudah melangkah lebih dulu, membuka pintu kantornya dan memberi isyarat agar ia masuk. Dengan enggan, Eka mengikuti. Begitu pintu tertutup, Kai bersandar di meja, menatap Eka dengan ekspresi penuh perhitungan.

“Kamu yakin bayi itu anakku?” tanyanya tiba-tiba.

Darah Eka berdesir. Ia menatap Kai tak percaya, rasa sakit menjalar di dadanya. “Apa maksudmu?” suaranya bergetar.

Kai menekan pelipisnya, lalu mendengus pelan. “Aku nggak menuduh apa-apa. Tapi setelah apa yang terjadi dengan waktu itu… Aku hanya ingin memastikan.”

Tamparan Eka mendarat di pipi Kai sebelum ia sempat menyelesaikan kalimatnya. Napasnya tersengal, dadanya naik turun karena marah. “Aku nggak percaya kamu bisa berkata seperti itu.” Matanya mulai berair, tapi ia menahannya. “Kalau kamu nggak percaya, buat apa repot-repot menyelamatkanku waktu itu?”

Kai tetap diam, rahangnya mengeras. Ia tidak bereaksi terhadap tamparan itu, hanya menatap Eka dengan mata yang lebih gelap dari sebelumnya.

Eka menggeleng, melangkah mundur. “Aku pikir, meskipun kamu dingin dan menyebalkan, setidaknya kamu bukan pria yang pengecut. Tapi sekarang aku sadar, kamu sama saja dengan mereka.” Suaranya serak, penuh kekecewaan.

Kai masih diam, tapi ada ketegangan yang terlihat di wajahnya. Ia tahu Eka sedang terluka, tapi ia tidak bisa membiarkan emosinya mengambil alih.

Eka menelan ludah, menguatkan dirinya. “Kamu satu-satunya lelaki yang tahu jika di dadaku ada tahilalat, apa kamu masih ragu jika anak ini anakmu?"

Kai menegang. Matanya yang sejak tadi dingin dan penuh perhitungan kini berubah sedikit lebih gelap. Ia tidak menyangka Eka akan mengatakan hal seperti itu—sesuatu yang hanya mereka berdua yang tahu.

Sebelum Kai sempat merespons, suara berat yang familiar tiba-tiba terdengar dari ambang pintu.

"Jadi, benar kau sudah menghamili perempuan ini, Kai?"

Eka membalikkan badan dengan cepat, terkejut melihat sosok seorang pria tua berjas rapi berdiri di sana. Matanya yang tajam menatap lurus ke arah Kai, sementara tongkat di tangannya diketuk perlahan ke lantai, menambah kesan otoritas yang tidak bisa diremehkan.

Kai langsung merapatkan rahangnya. "Kakek..."

Eka menatap pria tua itu dengan gugup. Ia tahu siapa dia—Tuan Harjuno, kepala keluarga dan sosok paling berpengaruh dalam keluarga Kai.

Kakek Kai melangkah masuk, tatapannya bergantian menilai Kai dan Eka dengan sorot penuh wibawa. "Aku datang untuk urusan bisnis, tapi justru mendengar percakapan menarik dari cucuku sendiri." Ia menghela napas, lalu kembali menatap Kai dengan tajam. "Apa ini benar?"

Kai mengalihkan pandangannya, wajahnya kaku. "Belum ada kepastian."

"Belum ada kepastian?" Kakek Harjuno mengulang dengan nada yang sarat dengan ketidakpuasan. "Jadi maksudmu, kamu ragu anak yang dikandungnya adalah cicitku?"

Eka mengepalkan tangannya, menahan diri agar tidak menunjukkan perasaannya yang terluka. Ia tersenyum manis saat Kakek Harjuno menatapnya.

"Baik," Kakek Gunawan berkata tegas. "Kita bawa dia ke dokter sekarang juga."

Kai menoleh, kaget. "Sekarang?"

"Ya," kakeknya menatapnya tajam. "Aku tidak mau mendengar spekulasi atau keraguan. Jika perempuan ini memang mengandung darah keluarga kita, maka kamu harus bertanggung jawab, Kai."

Eka mengangkat dagunya sedikit, menatap Kai penuh keberanian meskipun hatinya berdebar kencang. Jika ini yang diperlukan untuk membuktikan segalanya, maka ia tidak akan mundur.

Kai, di sisi lain, tampak menegang. Ia tidak menyangka situasi ini akan berkembang sejauh ini—dan kini, keputusan itu tidak lagi sepenuhnya berada di tangannya.

Pikiran berputar di kepalanya. Ia tahu Eka bukan tipe yang gegabah, bukan seseorang yang akan melontarkan sesuatu sebesar ini tanpa keyakinan. Jika ia mengatakan anak itu miliknya, Maka pasti benar.

Rahangnya mengatup rapat, matanya menatap lurus ke depan, berusaha tetap tenang meskipun dadanya terasa sesak. Ia tidak punya pilihan.

Akhirnya, dengan nada datar, ia berkata,

"Aku akan menikah."

1
Dia Fitri
/Ok/
Hayurapuji: terimakasih kakak
total 1 replies
Muslika Lika
Ya ampun patkaai..... imajinasi mu lho thor.... melanglang buana....
Muslika Lika: bener bener si eka eka itu ya.....😂
Hayurapuji: hahhaha, dia dipanggil anak buahnya Pak kai, nah si eka kepleset itu lidahnya jadi Patkai
total 2 replies
@Al🌈🌈
/Good/
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!