NovelToon NovelToon
ANAK MAMA

ANAK MAMA

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / CEO / One Night Stand / Nikah Kontrak / Cinta Paksa / Kehidupan di Kantor
Popularitas:10.6k
Nilai: 5
Nama Author: Kata Kunci

Malam "panas" antara Danar dan Luna, menjadi awal kisah mereka. Banyak rintangan serta tragedi yang harus mereka lalui. Masa lalu mereka yang kelam akankah menjadi batu sandungan terbesar? atau malah ada hamparan bukit berbatu lainnya yang terbentang sangat panjang hingga membuat mereka harus membuat sebuah keputusan besar dalam hubungan mereka?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kata Kunci, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 33.

Nadia nampak sedang mengemas barang - barangnya yang sangat banyak ke dalam beberapa koper dengan dibantu oleh beberapa pelayan rumah megahnya, karena terlalu berkonsentrasi hingga ketukkan diujung daun pintu kamar perempuan bertubuh mungil yang terbuka itu tidak di dengarnya. Kevin Moelyoto, Sang Ayah masuk karena melihat sedikit kegaduhan ketika pria agak gemuk itu sedang melintas di depan kamar Sang Anak.

Diperhatikan Nadia dengan koper - koper besarnya dengan dahi agak berkerut dan juga kedua tangan yang terlihat di depan dadanya, perlahan dia mendekat kearah Sang Anak.

"Nadia sayang, ada apa ini? Kamu mau kemana?" tanya beruntun pria yang agak tinggi itu sambil sesekali melihat kearah koper juga ke wajah Nadia.

Senyum lebar Nadia terkembang dengan sesaat melihat kearah Sang Ayah, lalu perempuan yang awalnya duduk bersimpuh di lantai perlahan bangun kemudian menggandeng lengan Sang Ayah sambil memutar tubuh pria agak gemuk itu hingga kini mereka berjalan kearah ruang kerja Nadia yang hanya bersekat tembok dari ruang tempat dia sedang berkemas tadi.

"Besok aku harus terbang ke Berlin untuk menunaikan tugas penting pertamaku sebagai Direktur Akunting, Paps..." jelas Nadia pada Sang Ayah dengan wajah gembira dan langsung bergelendotan di lengan agak besar Pak Kevin.

Namun wajah agak berkerut pria itu tidak berubah sama sekali, malah sekarang kepalanya dibuat agak menjauh agar dapat melihat jelas wajah serta ekspresi Sang Anak, lalu tangan Nadia yang sedang bergelendotan diambil kemudian digandeng dan digiring tubuh mungil Sang Anak untuk duduk di salah satu kursi di ruangan yang mereka masuki itu. Nadia dengan mata jernih dan ekspresi polosnya mengikuti gerakan Sang Ayah yang sedang mendekatkan tempat duduk mereka.

"Look honey bear, setahu Paps, mana ada baru menjabat langsung main dikirim tugas, ini bahkan sampai ke luar negeri. It's wasting too much money and time. Sebentar, Paps coba telepon Tante Nia dulu buat..." ucapan serta tangan Pak Kevin dihentikan oleh gerakan Nadia yang langsung menahan Sang Ayah yang baru akan mengambil gawai pintar nya dari dalam saku celana yang dikenakan pria itu.

Nadia kemudian menggeleng dengan satu jari telunjuk yang juga digoyang di depan wajah Sang Ayah.

"Paps, listen. Ini kerjaan pertamaku disini dan juga aku ini calon menantu Keluarga Perkasa, Danar kasih kesempatan emas ini buat dapat nilai plus dan pasti bikin Tante Nia tambah bangga sama aku, apalagi kalau sampai tender yang bakal aku tangani ini sukses nantinya. Beh, sudah pasti pulang dari Jerman aku sama Danar langsung nikah dan perusahaan keluarga kita akan kena dampak positif berkali - kali lipat. So, Paps, jangan khawatir. Lagian aku kan ke tempat aku dibesarkan, nothing to worried. OK..." Nadia menjelaskan sama persis seperti bahasa rayuan Danar padanya dan kini nampak berhasil pada Pak Kevin karena sambil menganggukkan kepala, pria agak gemuk itu juga sudah mulai berhitung soal keuntungan yang akan di dapat perusahaannya.

Keesokan harinya...

Nadia dengan diantar kedua orangtuanya sampai ke bandara untuk segera terbang kembali ke Jerman, perempuan itu melambaikan tangan untuk terakhir kali sebelum mereka akan kembali bertemu 3 bulan kemudian. Perempuan bertubuh mungil dengan rambut ikalnya itu akan menempuh perjalanan hampir 24 jam untuk sampai di Jerman.

Suara riuh - redam keramaian bandara Frankfurt membuat Nadia mengingat kembali masa kecil hingga beranjak dewasanya di negara yang terkenal akan Tembok Berlin nya itu. Kedua tangannya direntangkan untuk meregangkan sekujur otot di dalam tubuhnya yang merasakan kelelahan karena penerbangan yang sangat panjang, terlihat pula dia menguap beberapa kali saat dia sedang menunggu koper nya datang. Tanpa adanya perlakuan khusus, perempuan muda itu melakukan semuanya sendiri tanpa ada keluhan sama sekali, karena dia ingin Ibu Rania bertambah simpati dengan sikap mandiri dan juga rendah hatinya. Namun ketenanganya sedikit terusik ketika seseorang mendekat saat dirinya sedang duduk diatas troli yang diambilnya tadi.

"Maaf, betul dengan Ibu Nadia Astari Moelyoto?" sosok lelaki tinggi sangat kurus dengan kacamata minus kecil mendekat dari arah samping Nadia.

Seketika perempuan mungil nan cantik itu menoleh dengan wajah bingungnya, dia sedikit melirik ke kiri - kanan memastikan bahwa orang di sampingnya itu sedang berbicara dengannya, tidak lupa dia sekaligus menunjuk dirinya sendiri dengan satu jari telunjuk dan kedua alis yang naik. Lelaki itu mengangguk sambil kemudian memperlihatkan papan nama yang dibawanya, Nadia pun membacanya dan senyum sumringahnya terkembang.

"Mobilnya dimana?" sikap angkuh perempuan itu tiba - tiba muncul tatkala lelaki yang menjemputnya menjelaskan letak kendaraan yang akan membawanya ke penginapan.

Nadia lalu menunjuk semua kopernya yang akhirnya keluar dan langsung ditata oleh lelaki tinggi itu ke atas troli. Alih - alih menunggu lelaki itu, Nadia malah langsung berjalan dengan tengilnya yang juga tiba - tiba muncul. Si Lelaki dengan sekuat tenaga mendorong troli yang sangat berat itu untuk bisa mengimbangi jalan Nadia, bahkan dia berhasil mendahului perempuan cantik dan seksi itu. Napasnya terendah ketika membukakan pintu mobil untuk perempuan itu.

"So, kamu yang sudah disiapin Danar buat saya kan? Jadi besok..." ucapan agak arogan Nadia terpotong oleh ucapan Si Lelaki yang seketika merubah posisi duduknya langsung menghadap belakang.

"Maafkan saya, Ibu Nadia. Sebelumnya perkenalkan nama saya Aldo. Saya hanya ditugaskan untuk menjemput Ibu dan untuk selanjutnya, silahkan Bu..." Aldo Si Lelaki berkacamata kurus itu menyerahkan sebuah kartu kepada Nadia.

Wajah Nadia terlihat terkejut dan sesaat dialihkan pandangannya kearah luar lalu diambil kartu yang diserahkan oleh Aldo dengan agak kasar. Lelaki berkacamata itu lalu mengangguk sekali dengan senyum ramah yang selalu ditunjukkan olehnya. Nadia memegang erat kartu itu dengan rasa kesal yang timbul, dalam pikir perempuan itu ingin sekali ia melaporkan semua yang dia alami ini pada Ibu Rania namun dalam diam dia mencoba mengatur suasana hatinya dengan menarik dalam napas lalu dihembuskan pelan.

"Tenang Nad, inget ajaran Paps. Selain kecerdasan, salah satu kunci sukses adalah karena kita sabar. So, be patient..." ucapnya dalam hati sambil terus melatih pernapasannya.

Mobil mini SUV itu mengantarkan Nadia ke sebuah apartemen, mengingat dari kartu kendaraan umum yang dia kantongi, ada rasa takut di dalam hati perempuan cantik itu soal besar dari tempat tinggal dan kelengkapan di dalamnya. Wajah agak takut juga seringnya mata Nadia menyipit ketika melihat bentuk apartemen serta besar lift yang dinaikinya. Cukup lama lift itu bergerak hingga akhirnya, mereka sampai di lantai yang akan dihuni oleh perempuan mungil itu. Masih dalam mode waspada karena lorongng dilalui mereka benar - benar kosong, hanya ada tembok dengan cat berwarna tidak begitu terang dan satu pintu darurat.

"Silahkan Ibu Nadia..." Aldo membuka sebuah pintu setelah memindai sebuah kartu yang dibawanya tadi.

Nadia melihat kembali kearah lelaki kurus itu setelah beberapa saat melihat ke area sekitarnya yang tidak ada unit lain. Dipejamkan sesaat matanya dan dengan hembusan pelan sebelum dipijakkan kakinya ke dalam kamar yang akan menjadi tempat tinggalnya. Pupil Nadia membesar ketika dilihat kondisi kamar itu, Aldo yang berada dibelakangnya pun tersenyum lebih lebar sembari membawa masuk satu - persatu koper perempuan itu.

"Memang Bu, keliatan dari luar kumuh. Walaupun ada di salah satu kawasan mewah, karena pemilik gedung ingin mempertahankan vibes gedung yang sudah jadi warisan nenek moyangnya..." jelas Aldo.

Nadia masuk lebih dalam ke ruangan yang sangat - amat luas itu, dimana terdapat ruang tamu lengkap dengan sofa empuk dan terlihat mewah, kemudian ruangan makan yang tidak kalah luasnya, 2 kamar tidur dengan kamar mandi dalam yang bergaya khas Eropa, serta tidak lupa dapur modern dengan semua peralatan memasak yang lengkap serta canggih.

"Baik, Ibu Nadia. Selamat beristirahat dan sampai bertemu besok, silahkan Bu..." Aldo mengucapkan perpisahan sementara mereka sambil menyerahkan kartu apartemen itu.

Nadia masih tidak percaya dan tidak bisa berkata - kata tangannya secara otomatis mengambil kartu apartemen, Aldo kemudian meninggalkan perempuan yang akan menjadi teman kantornya selama 3 bulan itu dalam keadaan 1/2 sadar itu. Nadia kemudian menjatuhkan tubuhnya agak keras ke sofa yang memang benar sangat empuk di ruang tamunya.

"Ini aku bener - bener dikerjain atau apa ya? Selama aku tinggal disini dulu dan beberapa kali main di daerah sini, perasaan aku nggak pernah liat gedung ini. Darimana Danar bisa tau..." gumam perempuan itu dalam keadaan 1/2 sadar sambil masih mengagumi ruang tempatnya tinggal.

Aldo sendiri sudah sampai kembali ke lantai bawah dan baru saja masuk ke dalam mobil tadi, dering gawai pintarnya membuat lelaki itu meorgoh saku jaket yang dikenakan lelaki muda berkacamata itu. Lalu dijawab beberapa pertanyaan yang diajukan oleh Si Penelepon dengan anggukkan kepala yang juga dilakukan secara bersamaan. Cukup lama mereka berbincang sampai akhirnya panggilan telepon itu diakhiri dan Aldo melihat kearah lain.

"Belum pernah aku liat Bos se tertarik ini sama perempuan, berarti Ibu Nadia ini istimewa..." pikirnya dalam hati.

xxxxxxxx

Danar terlihat lebih letih dari biasanya, tubuhnya lunglai ketika berjalan di lorong menuju unit apartemennya, dibuka sedikit jalinan dasi yang sangat tumben dia kenakan. Lalu dipindai kartu untuk membuka kunci pintu apartemen itu, dia masuk dan kemudian 1/2 membaringkan tubuhnya ke atas sofa, baru berniat memejamkan mata, pandangannya terusik dengan sebuah amplop berwarna putih kecil yang tergeletak tepat ditengah meja ruang tamu itu.

Danar mengambilnya dengan melihat ke sekitar ruang apartemennya dengan mode waspada, kemudian dia berdiri dan tubuhnya menghadap ke ruangannya yang lain sambil mencoba mengawasi keadaan sekitar unit sangat luas itu. Pupilnya membesar ketika dibaca isi surat itu dan dengan cepat dia berlari keluar unit apartemennya hingga lupa mengenakan alas kaki, lalu dia menuju ke lift terdekat. Awalnya dia berniat menggunakannya namun karena terlalu lama, akhirnya dia memutuskan untuk melewati tangga darurat. Rasa penat dan lelahnya yang tadi sesaat dirasakan oleh lelaki itu seketika hilang ketika dia membaca surat yang ternyata berasal dari Sang Kekasih. Lelaki lumayan tampan yang berlari tanpa alas kaki itu menaiki lebih dari 10 lantai, peluh dan hembusan napas yang sangat tidak beraturan terlihat serta terdengar jelas. Langkah kaki lelaki itu terhenti ketika sudah tiba di balik pintu yang akan membawa dirinya bertemu dengan Luna yang sudah menunggunya di lantai paling atas gedung ambigu itu. Dipejamkan matanya sesaat lalu dia membenahi sedikit penampilannya dengan masih tidak menyadari bahwa dirinya bertelanjang kaki, dibuka pintu yang terasa lumayan berat itu dengan wajah cerah. Namun mimik wajahnya berubah ketika tidak ditemukan siapapun disana kecuali desiran angin cukup kencang yang menyentuh agak keras tubuhnya yang berpeluh, cukup kecewa dirasa, Danar mengelilingi luasan atap gedung yang tidak begitu luas itu namun benar adanya tidak ada siapapun disana, lalu dia bersandar di tembok pembatasnya dengan sedikit menunduk juga melentangkan kedua tangan kokohnya sambil juga memegang pegangan tembok pembatas itu. Perlahan dia kemudian kembali menegakkan wajahnya yang terlihat sangat lelah, hingga pandangannya kembali dibuat memicing ketika dilihat sebuah kertas putih berisi tulisan tidak biasa tertempel di salah satu dinding yang luput dari pandangannya tadi, dia berjalan mendekat untuk memastikan tulisan yang tertulis dan kembali lelaki itu berlari bagai kuda. Dilompati beberapa anak tangga bahkan lantai untuk sampai ke lantai paling bawah, lalu dia menuju ke pinggir jalan. Diberhentikan sebuah taksi dan dia memberi arahan pada Sang Supir, kini jalinan dasinya semakin direnggangkan dan juga dia agak merebahkan tubuhnya di kursi penumpang dengan senyum miring agak lebar dan tawa kecil terkadang terdengar darinya.

Perjalanan lebih 20 menit dilalui oleh Danar, hingga dia tiba disebuah jembatan dengan sungai agak besar dibawahnya mengalir tenang. Lelaki yang masih tanpa alas kaki itu kemudian mencari jalan untuk bisa turun ke sungai sesuai dengan arahan dari kertas putih yang dilepas dan dibawanya, matanya tidak begitu jelas melihat jalan terusan dari sungai itu karena minimnya penerangan di daerah tersebut.

"Bukannya ini proyek walikota, biasanya disini terang banget tapi kenapa hari ini..." gumaman Danar terhenti ketika dia juga sedang mencari ponselnya yang tersimpan di dalam saku celana, gerakan lelaki itu pun membeku ketika tiba - tiba saja, lampu yang dia maksud seketika menyala dan ada beberapa kunang - kunang terbang walaupun jumlah tidak sebanyak yang biasa ada di drama - drama ataupun film - film romantis.

Pupil Danar membesar tatkala dilihat sosok seorang perempuan berambut panjang dengan memakai pakaian semi formal dengan bawahan rok plisket menghadap kearah nya dengan kedua tangan yang berada dibelakang tubuh agak langsing perempuan itu, dia berdiri dibawah sebuah pohon sangat besar juga rindang dengan pemandangan lampu - lampu rumah warga sebagai latar belakang. Danar berjalan kearah perempuan yang sedaritadi melambaikan satu tangannya dengan senyum manis yang sudah dirindukan lelaki itu hampir 1 bulan ini.

"Luna..." ucapnya pelan.

Kini giliran mata Luna yang membesar ketika dilihat kondisi Danar, kelelahan dengan sekujur tubuhnya yang basah dan tidak menggunakan alas kaki, perempuan itu berlari ke arah prianya dengan wajah khawatir, Danar lalu mendekapnya erat.

"Aku, aku akan terima semua keputusanmu. Asal, asal jangan siksa aku dengan nggak boleh ketemu, nggak boleh komunikasi sama kamu. Tolong, sayang, tolong..." pinta Danar dengan nada pilunya.

Luna membalas pelukkan Danar dengan senyum lebar dan mata terpejamnya sesaat, kemudian dia mendorong sedikit tubuh Danar dan melepas pelukkan mereka diganti dengan kedua tangannya memegang kedua sisi wajah Sang Kekasih, kecupan singkat diberikan Luna.

"Maafkan aku ya Mas..." ucap Luna dengan wajah prihatinnya ketika melihat keadaan Sang Kekasih.

Danar menggeleng lalu mencium salah satu telapak tangan Luna, lalu dia menggenggam satu tangan perempuan itu dan menariknya untuk segera pergi darisana, namun Luna menahan gerakannya dan membuat Danar kembali melihat kearahnya.

"Kamu nggak mau tau jawabanku?" tanya Luna

Danar masih dalam diam, wajahnya bingung dan satu alis nya naik.

"Tadi, kata maaf itu - bukannya..." ucap ragu Danar.

Tawa renyah keluar dari arah Luna yang memuat Danar semakin bingung, lalu tangan perempuan agak kurus itu dilepas dan dia merogoh saku rok plisketnya, kalung yang diberikan oleh Danar kini sudah ada dihadapan mereka. Wajah Danar bereaksi bertambah bingung.

"Aku masih takut, aku masih ragu, tapi aku percaya satu hal Mas...." Luna belum melengkapi ucapannya, perempuan itu meraih satu tangan Danar dan meletakkan kalung itu di telapak tangan Sang Kekasih yang cukup besar dengan senyum cerahnya dia kemudian melanjutkan kalimat yang terhenti,

"Kamu adalah pilihan terbaik yang tidak akan pernah aku sesali dan aku harap kamu bisa membuat aku tidak akan pernah menyesalinya. Jadi, aku masih boleh menjadi Luna Saphira Perkasa?"

Binar mata Danar terbentuk, air matanya terbentuk dengan langkahnya yang maju hingga hampir menempel dengan tubuh Luna, lelaki itu memakaikan kalung berandul bulat berwarna merah keemasan itu di leher agak jenjang Sang Kekasih. Kemudian mereka kembali bertatapan dengan air mata sudah mengalir di wajah Danar secara perlahan dan satu tangannya yang mengelus pelan pipi mulus Luna yang terus tersenyum ceria.

"Aku nggak akan janji, aku akan berusaha. I love you My Luna Saphira Perkasa..." ucap Danar dengan kesungguhan hatinya.

Luna kembali lebih dulu meraih bibir Sang Kekasih, cumbuan hangat mereka disaksikan oleh terangnya rembulan, desiran angin, terangnya lampu rumah warga serta Ningning juga temannya yang sedang bersembunyi di semak - semak, mereka 1/2 menutup mata ketika melihat aktifitas Luna juga Danar.

"I love you more, Mas..." ucap Luna kemudian.

********

1
Mak e Tongblung
beberapa kali "mengangguk" kok "menganggur" , tolong diperhatikan thor
Kata Kunci: 🙇‍♀️🙇
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!