Alina berkali kali patah hati yang dibuat sendiri. Meski dia paham kesalahannya yang terlalu idealis memilih pasangan. Wajar karena ia cantik dan cerdas serta dari keluarga terpandang. Namun tetap saja dia harus menikah. Karena tuntutan keluarga. Bagaimana akhir keputusannya? Mampukah ia menerima takdirNya? Apalagi setelah ia sadari cinta yang sesungguhnya setelah sosok itu tiada.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hana Ame, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Negosiasi Hati
Roy coba mengumpulkan tenaga dan konsentrasi untuk menjawab Alina. Berkali kali tampak ia menarik nafas panjang.
Setelah meja makan dibersihkan oleh pramusaji, Roy mencoba memandangi wajah cantik di hadapannya dengan hati hati. "Lin aku harap kamu gak salah paham dulu ya."
'Maksudnya apa? ' batin Alina. Dia mempermainkan jemarinya di atas meja. Masih mendengarkan apa yang akan diungkapkan Roy.
"Istriku meninggal dunia Lin. Dan sudah dua tahun ini aku sendiri." Roy berkata pelan.
'Sudah kutebak, pasti ada maunya dia mendekatiku.' Alina nampak shock dan mencoba menata hati. Meski ia tahu peluangnya besar untuk mendekati Roy, tapi jujur hatinya tidak siap bila ini benar benar terjadi.
"Jadi itu alasan Abang mendekatiku? " Alina tiba tiba melontarkan pertanyaan yang membuat hati Roy mencelos.
"Lin, kamu jangan salah paham. Iya memang aku mengagumimu tapi aku tidak ingin memaksakan hatiku." Tiba tiba Roy berhati hati mengungkapkan kata hatinya.
"Baiklah kita memang punya hubungan bisnis kan? Hanya itu." Alina mengutarakan hal yang bertentangan dengan hati kecilnya.
Roy mengangguk tersenyum. "Maafkan aku ya Lin. Jika sikapku mengganggumu." Roy berusaha mengambil jarak. Ia nampak mengikuti permainan Alina yang seolah menolaknya.
"Baiklah Bang terimakasih buat makan malamnya. Aku pulang ya, maaf bila ada hal yang menyinggung perasaanmu."
"Lin, tenang aja, kamu bisa anggap aku siapapun yang kamu mau. Besok aku balik Jakarta dulu ya. Kamu mau titip apa kalau aku kembali kesini lagi? "
"Ya udah tinggal bawa barang dagangan aja Bang. Approved" kata Alina memberikan kode ujung ibu jari bertemu ujung jempolnya sambil tersenyum.
Roy pun mencair melihat Alina sepertinya tetap professional. "Siaapp Lin. Pasti akan aku siapkan."
Dan mereka pun keluar dari resto bersama sama. Alina menuju motornya dan ia sempat melihat Roy masuk ke dalam mobil dengan merk tiga huruf berlambang kotak dalam lingkaran berwarna biru dan putih.
Alina pulang membawa motornya berikut semua makanan yang masih bisa dimakan, namun di jalan matanya terasa panas mengingat apa yang baru saja terjadi. Air matanya mengalir begitu saja. Ia tak yakin dengan perasaannya sendiri.
* * *
Malam itu, setelah makan malam bersama Alina, dan perjalanan singkat dalam pesawat yang membawanya ke Jakarta, Roy mengajak anak-anaknya berbicara di rumah. Mereka duduk di ruang keluarga. Arka bersandar di sofa dengan tangan terlipat, Andien memeluk bantal, dan Adit duduk dengan ekspresi datar.
Roy menatap ketiga anaknya, menghela napas sebentar, "Oke, aku tahu kalian punya keberatan. Jadi, bicaralah terus terang. Aku ingin dengar langsung dari kalian."
Arka pun menatap ayahnya dengan serius. "Papa benar-benar mau menikah lagi?"
Roy menjawab tenang, tapi tegas. "Aku mempertimbangkannya. Tapi yang lebih penting, aku ingin kalian tahu alasanku."
Andien ikut ikutan menghela napas, lalu berkata dengan nada tajam. "Kenapa, Pa? Kenapa harus ada orang lain? Apa kurang cukup kita di rumah ini?"
Adit pun datang dengan suara pelan, tapi menusuk, "Kalau Papa pikir kita nggak cukup, bilang saja."
Roy kemudian menatap anak-anaknya satu per satu, berusaha tetap sabar, "Ini bukan soal cukup atau nggak cukup. Aku sayang kalian. Kalian tahu itu. Tapi aku juga manusia. Aku kesepian."
Arka menggeleng, nada suaranya dingin. "Papa nggak butuh istri, Papa butuh kami. Kami ini keluarga Papa."
Roy mengangguk pelan, lalu menjawab dengan hati-hati. "Kalian benar. Kalian adalah keluargaku. Tapi aku juga butuh pasangan. Aku nggak mau sisa hidupku hanya tentang bekerja dan pulang ke rumah yang terasa kosong."
Andien menatap tajam, emosinya mulai keluar. "Jadi, kami ini nggak cukup buat Papa? Mama baru dua tahun pergi, Pa!"
Roy berkata lembut, tapi tetap tegas, "Mama kalian akan selalu ada di hati kita. Nggak ada yang bisa menggantikan dia. Tapi hidup harus terus berjalan, Andien."
Adit mengerutkan dahi, tetap skeptis, "Kalau Papa menikah lagi, apa itu artinya dia akan jadi ibu kami?"
Roy menggeleng cepat, "Nggak. Dia nggak akan menggantikan posisi Mama kalian. Dia hanya akan jadi bagian dari hidupku, bukan untuk menggantikan apa yang sudah kita punya."
Arka terdiam lama, lalu akhirnya berbicara dengan nada lebih lembut, "Tapi, Pa… Kami nggak siap."
Roy ganti ganti menatap mereka penuh pengertian, "Aku nggak minta kalian siap sekarang. Tapi aku ingin kalian kasih kesempatan. Aku nggak akan memaksa kalian menerima siapa pun, tapi aku ingin kita buat kesepakatan."
Andien curiga, menatap ayahnya, "Kesepakatan apa?"
Roy sedang berusaha adil, "Aku janji nggak akan buru-buru. Aku nggak akan menikah tanpa mempertimbangkan kalian. Tapi sebagai gantinya, kalian harus mau mengenal orang yang aku pilih, tanpa menutup diri sejak awal."
Adit mendengus kecil, "Itu terdengar seperti Papa tetap akan menikah, cuma lebih lambat."
Roy kemudian tersenyum kecil, "Aku cuma ingin kalian terbuka. Kalau setelah kalian mengenalnya dan masih keberatan, kita bicara lagi. Aku nggak akan mengabaikan perasaan kalian."
Arka berpikir sejenak, lalu menghela napas panjang, "Baiklah, Pa. Tapi jangan harap kami langsung menerima dia."
Roy tersenyum lembut, lega karena ada titik temu, "Aku nggak minta itu, Nak. Aku cuma minta kalian kasih kesempatan."
Ketegangan mulai mereda. Anak-anak Roy masih belum sepenuhnya setuju, tapi setidaknya, mereka bersedia mempertimbangkan. Itu sudah cukup untuk sekarang.
cek profil aku ada cerita terbaru judulnya
THE EVIL TWINS
atau langsung tulis aja judulnya di pencarian, jangan lupa mampir dan favorit kan juga ya.
terima kasih