Olivia Caroline adalah seorang wanita matang dengan latar belakang kedua orang tua broken home. Meski memiliki segalanya, hatinya sangat kosong. Pertemuan dengan seorang gadis kecil di halte bis, membuatnya mengerti arti kejujuran dan kasih sayang.
"Bibi, mau kah kamu jadi Mamaku?"
"Ha? Tidak mungkin, sayang. Bibi akan menikah dengan pacar Bibi. Dimana rumahmu? Bibi akan bantu antarkan."
"Aku tidak mau pulang sebelum Bibi mau menikah dengan Papaku!"
Bagaimana kisah ini berlanjut?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kumi Kimut, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 29
Di ruangan Pak Roni ...
Aarav sudah berada di ruangan Pak Roni. Dia tak sabar menunggu kedatangan sang sahabat, sampai tidak tenang duduk di kursi. Pria ini mondar-mandir.
"Rav, diem napa?" ujar Pak Roni yang baru saja masuk ke dalam ruangannya.
"Ron!" jawab Aarav langsung berbalik dan memeluk tubuh sang sahabat." Terima kasih atas bantuanmu. Berkat kamu aku bisa bebas," sambung Aarav yang masih memeluk Pak Roni.
"Heh, gak usah lebay lah. Lepasin aku," pinta Roni sambil menahan tawa. Dia geli sendiri saat pria sok cool seperti Aarav malah memeluknya seperti seorang kekasih.
"Iya iya," jawab Aarav dengan full senyumannya. Aarav lantas melepaskan pelukannya.
Pak Roni lantas meminta Aarav untuk segera pulang dan beristirahat. Dia tahu betapa lelahnya Aarav setelah melalui hari yang panjang dan penuh tekanan.
Selain itu, Pak Roni juga mengingatkan bahwa Alesia, putri Aarav, pasti sudah menunggu kepulangan ayahnya dengan cemas. Aarav mengangguk, menyadari betapa beruntungnya dia memiliki sahabat seperti Pak Roni.
Dengan perasaan lega dan penuh terima kasih, Aarav berpamitan. Dia masuk ke dalam mobil milik Pak Roni dan mulai mengemudi menuju rumah. Jalanan malam itu terasa lengang, seakan memberikan kesempatan baginya untuk merenung.
Pikirannya kembali ke kejadian hari ini—betapa sulitnya menghadapi semua ini, tetapi pada akhirnya keadilan telah ditegakkan. Mario kini telah ditangkap, dan semua kebenaran akhirnya terungkap.
Sesampainya di rumah, Aarav melihat lampu ruang tamu masih menyala. Begitu dia membuka pintu, suara langkah kaki kecil terdengar mendekat. Alesia muncul dari balik sofa dengan wajah penuh kekhawatiran.
"Papa!" seru Alesia sambil berlari menghampiri dan memeluk erat tubuh ayahnya.
Aarav tersenyum dan membalas pelukan itu dengan lembut. "Papa sudah pulang, Nak. Maaf karena Papa tidak memberi kabar sejak tadi."
Alesia menatap wajah ayahnya dengan mata berbinar. "Aku takut terjadi sesuatu padamu, Pah."
Aarav mengusap kepala putrinya dengan penuh kasih sayang. "Papah baik-baik saja sekarang. Ayah hanya harus menyelesaikan sesuatu yang penting."
Alesia mengangguk kecil, lalu menggandeng tangan ayahnya. "Kalau begitu, Papa harus makan dulu. Aku tadi membuatkan teh untuk Papa!"
Aarav terkejut, lalu tersenyum bangga. "Benarkah? Wah, Alesia sudah semakin pintar."
Mereka berjalan ke dapur, dan Alesia dengan semangat menuangkan teh ke dalam cangkir untuk ayahnya. Aarav duduk dan menikmati teh buatan putrinya, merasakan kehangatan yang mengalir ke dalam tubuhnya. Rasa lelah yang tadi begitu menghimpit kini perlahan menghilang.
Sambil minum teh, Aarav menerima pesan dari Pak Roni:
"Mario sudah resmi ditahan. Semuanya sudah beres. Sekarang, tugasmu hanya menikmati waktu bersama Alesia."
Aarav tersenyum kecil membaca pesan itu. Dia benar—tidak ada yang lebih penting daripada keluarganya. Aarav menatap putrinya yang tengah duduk di seberangnya, tersenyum penuh kebanggaan.
"Alesia, kamu tahu?" kata Aarav, menarik perhatian putrinya.
"Apa, Papa?"
"Kamu adalah alasan terbesar Papa terus berjuang. Papa sayang sekali sama Alesia."
Alesia tersenyum lebar dan melompat ke pelukan ayahnya. "Aku juga sangat sayang Papa!"
Malam itu, Aarav merasa damai. Semua masalah yang selama ini membebani pikirannya telah selesai. Yang tersisa hanyalah kebahagiaan sederhana—duduk bersama putrinya, menikmati secangkir teh hangat, dan menyadari bahwa hidupnya tetap indah meski penuh rintangan.
Klek!
Pintu kamar Aarav terbuka, disana tampak Olivia yang memaksakan diri untuk beranjak karena khawatir sama Alesia.
"Semoga Alesia ketiduran, aku gak bisa melarang Alesia menunggu Papahnya. Aku takut dia tanya banyak hal. Tapi, kalau aku biarin dia di ruang tamu sendirian, nanti dia masuk angin," ucap Olivia sambil membawa selimut ditangannya.
Saat langkah Olivia sudah dekat dengan ruang tamu, dia mendengar suara lain." Astaga, Alesia sedang bicara sama siapa ya? Apa ada pelayan laki-laki di sini? Atau ... Ya ampun! Aku gak boleh tinggal diam," gumamnya langsung sigap untuk memukul siapapun yang akan mencelakai Alesia. Namun, telinga Olivia seolah mendengar suara Aarav.
"Tidak mungkin, Pak Aarav kan belum bebas? Dia masih ada di penjara kan?" ungkap Olivia semakin penasaran. Dia tak mau terus menerus menerka, alhasil berjalan lebih cepat menuju ruang tamu.
Sungguh diluar dugaan, Olivia menangkap sosok Aarav yang sedang bermain dengan Alesia." Astaga! Kenapa Papahnya Alesia bisa ada di sini? Apa dia kabur dari penjara?"
Aarav mendengar langkah Olivia yang tak sengaja menginjak secarik kertas, Aarav lantas bilang." Aku tahu kamu ada di sana, Liv. Ikut main sini."
Deg!
Olivia benar-benar tak percaya. Ini benar, Aarav sudah pulang.
"Hehe, Pak Aarav sudah tahu ya kalau ada di sini? Hehe."
"Sudah, sini Liv. Ikut main gak?"
"Gak pak, saya cuma mau kasih selimut buat Alesia aja."
Alesia lantas berbisik pada sang Papah." Pah, tahu gak? Tadi tuh Bibi Olivia pingsan karena saking kangennya sama papah lho? Kayaknya udah cinta deh sama Papah."
Bisikan Alesia terdengar sangat nyata, membuat Olivia pengen kabur aja dari rumah itu."Ya ampun, Alesia. Bikin aku keki aja," gumam Olivia jadi salting sendiri.
"Wah yang bener Liv?"
"Ha? Bener apanya Pak?"