"Bagaimana mungkin Yudha, kau memilih Tari daripada aku istri yang sudah bersamamu lebih dulu, kau bilang kau mencintaiku" Riana menatap Yudha dengan mata yang telah bergelinang air mata.
"Jangan membuatku tertawa Riana, Kalau aku bisa, aku ingin mencabut semua ingatan tentangmu di hidupku" Yudha berbalik dan meninggalkan Riana yang terdiam di tempatnya menatap punggung pria itu yang mulai menghilang dari pandangan nya.
Apa yang telah terjadi hingga cinta yang di miliki Yudha untuk Riana menguap tidak berbekas?
Dan, sebenarnya apa yang sudah di perbuat oleh Riana?
Dan apa yang membuat persahabatan Tari dan Riana hancur?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dwiey, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bad Things
Suara dering ponsel memecah keheningan kamar, membuat Tari perlahan membuka matanya. Ia menggeliat malas, meraih ponsel yang ada di atas meja samping tempat tidurnya.
Tanpa melihat siapa yang menelepon, ia segera menjawab panggilan itu.
“Halo?”
“Tari, apa aku boleh masuk sebentar ke apartemen mu?”
Mata Tari yang tadinya masih setengah tertutup langsung terbuka lebar.
“Yudha?” tanyanya memastikan.
“Iya.”
Tari segera bangkit dan duduk di pinggir tempat tidur.
“Kenapa meminta izin? Bukankah kau tahu sandinya?” ujarnya pelan.
“Aku hanya ingin bersikap sopan saat masuk ke rumah orang lain,” balas suara itu datar, membuat hati Tari mencelos.
“Orang lain...” gumamnya lirih, entah terdengar oleh Yudha atau tidak.
“Masuklah. Kau nggak perlu minta izin untuk hal sepele seperti ini.”
Masih memegang ponselnya, Tari bangkit dan berjalan keluar kamar. Tak lama, suara pintu terbuka terdengar, lalu Yudha pun masuk.
Sejenak mereka saling bertatapan. Namun, Yudha segera mengalihkan pandangannya dan melangkah ke kamar sebelah, mengabaikan Tari yang berdiri mematung di depan kamarnya sendiri.
Tari menggigit bibir bawahnya, hatinya tercekat melihat pria yang lama tidak bertemu dengannya tidak menyapanya sama sekali. Pria itu bersikap dingin, tidak ada lagi senyum hangat di wajahnya.
Beberapa saat kemudian, Yudha keluar dari kamar dengan tas ransel hitam di tangan.
“Aku pergi dulu. Maaf mengganggumu,” ucapnya datar sebelum melangkah pergi tanpa menunggu respon Tari.
“Kau bilang kau suka padaku,” gumam Tari pelan, nyaris seperti bisikan, tapi suara itu tetap terdengar oleh Yudha yang sontak menghentikan langkahnya. Tangannya menggantung di depan knop pintu.
“Seperti yang kau bilang, perasaanku tidak nyata. Semuanya hanya karena aku yang terbawa suasana.”
“Bugh!”
Ponsel di tangan Tari melayang, menghantam punggung Yudha dengan keras.
Yudha berbalik, keningnya berkerut, meski wajahnya tak menunjukkan rasa sakit sedikit pun. Ia menatap Tari yang berdiri dengan sorot mata tajam.
“Brengsek kau! Ini sebabnya aku bilang kau hanya terbawa suasana. Kau menyerah semudah ini! Bagaimana mungkin aku percaya padamu?”
Tari membiarkan emosinya meluap, suaranya bergetar, napasnya memburu.
Yudha memicingkan matanya, menatap Tari yang sudah tersulut amarahnya.
“Lalu, apa yang kau inginkan sekarang?” tanyanya pelan, dengan tatapan datarnya.
Tari hanya menunduk, tidak menjawab ucapan Yudha. Tatapan matanya terlihat kosong.
Yudha menghela napas lelah dan kemudian berbalik keluar dari apartemen Tari.
Setelah kepergian Yudha, Tari hanya menatap kosong pintu apartemennya. Ia tersenyum getir.
"kau melakukan hal yang benar Tari," gumamnya lirih, meyakinkan dirinya sendiri.
-------
"Tari"
Riana yang baru masuk ke dalam apartemen Tari, melepas sepatunya terlebih dahulu.
"Tar?" panggilnya lagi untuk kedua kalinya, tapi tetap tidak ada respons.
Riana membuka pelan pintu kamar Tari dan melihat ke dalam. Tari sedang tidur terlelap di kasurnya.
Riana mengerutkan keningnya. Pasalnya, ia sudah bilang pada Tari bahwa akan datang jam 3 sore ini. Biasanya Tari akan menunggunya datang dengan bersemangat.
Riana menutup pintu kamar itu perlahan, tidak ingin membangunkan Tari. Mungkin Tari hanya sedang lelah, pikirnya.
Riana membawa paper bag berisi daging dan bahan lainnya untuk makan malam mereka nanti malam. Ia segera menyiapkan semuanya di dapur.
Mata Tari terbuka perlahan karena mendengar suara seseorang berkutat di dapur. Ia tak sadar sudah tertidur karena merasa tidak memiliki tenaga untuk melakukan apapun.
"Itu pasti Riana," gumamnya lirih.
Tari menggeliat pelan dan kembali memeluk gulingnya. Pikirannya saat ini sangat kalut, sehingga ia malas untuk melakukan apa pun. Tak lama, mata Tari kembali terpejam, dan dengkuran halus mulai terdengar.
"Selesai."
Riana menatap bangga hasil masakannya yang telah tertata rapi di meja makan. Hidangan itu terdiri dari steak daging, spaghetti bolognese, dan beberapa sayuran rebus sebagai pelengkap.
"Ding dong!"
Suara bel pintu terdengar nyaring, membuat Riana sontak melirik ke arah pintu. Waktu sudah menunjukkan pukul lima sore.
Ekspresinya berubah datar. Ia melangkah menuju pintu dan membukanya. Bukankah dia datang terlalu cepat? gumamnya.
"Di mana Tari?" tanya Ade langsung sambil memegang buket bunga mawar merah yang dihias cantik.
"Tari sedang tidur. Masuklah, aku akan membangunkannya," jawab Riana.
Riana berjalan menuju kamar Tari. Namun, sebelum tangannya sempat meraih kenop pintu, pintu itu secara bersamaan terbuka. Tari muncul dengan senyum canggung. "Ri, maaf ya, aku baru bangun."
Sebelum keluar, Tari memperbaiki penampilannya. Kini ia tampak rapi dengan dress santai selutut berwarna biru muda.
"Tari, aku bawakan bunga untukmu," ujar Ade tiba-tiba muncul dari belakang Riana.
Senyum Tari seketika menghilang. Ia memicingkan mata dan berkata dengan nada tajam, "Jauhkan itu dariku."
"Sudahlah, ayo kita makan. Aku capek loh masak buat kalian," kata Riana, berusaha menengahi ketegangan.
Tari menghela napas. "Maaf ya, Ri. Aku nggak bantuin apa-apa."
Ia menatap meja makan yang sudah tertata rapi, merasa bersalah.
"Ah, santai aja. Duduk saja dulu—eh, kok malah aku yang kayak tuan rumahnya," ujar Riana sambil tertawa kecil, memecah suasana.
Tari dan Riana duduk bersebelahan, menghadap jendela. Sementara itu, Ade duduk sendiri di hadapan mereka.
"Oh ya, De, gimana kabarmu selama ini?" tanya Riana basa-basi.
Ade tersenyum. "Aku baik-baik saja. Sekarang aku kerja freelance, ngedesain apa pun yang dipesan klien."
Tari hanya diam, tatapannya tak lepas dari Ade, membuat pria itu tersenyum canggung karena merasa diawasi.
"Ya ampun Tar, berhenti dong ngeliatin Ade kayak gitu. Gimana orang mau makan, lihat kan dia jadi nggak nyaman," tegur Riana.
"Kita harus selalu waspada, Ri. Apalagi sama manusia di depan kita," Matanya masih menatap tajam pada Ade.
"Oh ya, Tar, ngomong-ngomong, suami kamu mana?" tanya Ade tiba-tiba.
Mata Tari membelalak. Riana juga terdiam mendengar nya, sementara Ade tampak menikmati reaksi keduanya.
"Ah, dia lagi kerja," jawab Tari cepat, buru-buru meminum air.
Ade tiba-tiba meringis, memegangi betisnya. Riana telah menendang kakinya di bawah meja.
"Kenapa kau?" tanya Tari, bingung.
"Nggak ada apa-apa, Tar. Kaki aku tiba-tiba ngilu aja," jawab Ade canggung.
Saat makan malam selesai, Riana bangkit karena ponselnya berbunyi. "Halo, sayang."
Nada suaranya terdengar gembira. Tari melirik ke arah Riana, yang berbincang hangat dengan Yudha di panggilan mereka. Melihat sahabatnya tersenyum bahagia, Tari sejenak merasa bersyukur atas pilihan yang di ambilnya.
Ade tidak melewatkan sedikit pun ekspresi Tari. Tatapan sendu terpancar dari mata wanita itu.
"Kenapa kau melihatku begitu?" tanya Tari memicingkan mata. Baru sadar akan Ade yang terus menatapnya.
"Nggak kok, Kek nya Riana harus pergi, aku bantuin ya cuci piring nya" Ujar Ade dengan tersenyum lembut.
Tari hanya diam melihat nya, tidak membalas lagi perkataan Ade dan hanya menatap pria itu dalam diam.
"Tar, maaf ya aku harus pulang sekarang, Yudha udah nunggu di bawah"
Riana bicara dengan terburu-buru, Ia mengambil tas kecil yang di taruhnya di sofa, lalu berjalan dengan langkah yang cepat menuju pintu keluar.
"Hati-hati" Tari bicara dengan sedikit berteriak, di balas dengan anggukan dan senyum simpul oleh Riana yang perlahan menghilang dari balik pintu yang tertutup.
Tari melamun di posisi duduk nya, tak menyadari Ade yang sudah mulai membawa beberapa piring kotor yang mereka pakai ke wastafel.
Lalu suara air yang mengalir dari wastafel membuyarkan lamunannya, Tari sontak berdiri dan berjalan dengan cepat menuju Ade yang mencuci piring membelakanginya.
"Kau nggak perlu bantu cuci piring, pulanglah ke tempatmu" Tari merebut piring yang sudah di penuhi sabun dari tangan Ade.
"Nggak papa kok, lagian aku nggak ada kerjaan di rumah juga lagian nggak ada siapa-siapa yang nunggu" Ade meliriknya sambil tersenyum simpul, Ia mengambil kembali piring yang ada di tangan Tari.
Lalu melanjutkan kembali gerakan tangannya, sesekali bersenandung kecil, senyum tidak lepas dari bibirnya.
Tari hanya diam dan menyandar pada meja di belakangnya, tangannya bertaut di dada.
"Sebenarnya apa alasanmu mendekatiku, bukankah dulu kau lah yang melepaskan tangan ku lebih dulu"
Ucapan itu membuat Ade menghentikan gerakan tangan nya yang sedang membasuh.
"Karena itu berikan kesempatan lagi untukku Tari—soal suamimu itu, pertama aku minta jangan marah dulu" Ade memutar keran air menghentikan air yang yang mengalir di depan nya.
Ade melirik ke arah Tari yang terus menatap ke depan.
"Aku sudah dengar dari Riana, soal apa yang terjadi adalah sepenuhnya hanya rencana kalian, dan kau tau kan maksud Riana meminta kita makan malam bersama"
Kali ini Tari menatap Ade sepenuhnya, Tatapan nya datar, tanpa sama sekali merubah posisi badannya.
"Aku akan menunggu Tari, sampai kau membuka hatimu lagi untukku—aku tau kesalahan ku bukan hal yang sepele, kau sangat berhak untuk marah padaku, tapi.... setidaknya biarkanlah aku menunggumu Tari"
Mata Ade terlihat sendu, lalu ia tersenyum lembut. Tangannya terangkat lalu menangkup pipi Tari dengan kedua tangannya.
Ade dan Tari bertatapan lama, lalu Tari mengalihkan pandangannya dan menepis tangan Ade yang tidak juga melepas wajahnya.
Tari berbalik. "Aku nggak tau apa tujuanmu Ade, tapi kumohon kalau kau sedikit saja peduli padaku, jangan lagi ungkit masa lalu kita, karena hanya ada hal buruk tentangmu di sana" Ujarnya tanpa berbalik, ia berjalan menuju kamar dan berhenti sejenak saat memegang knob pintu nya.
"Pergilah" Ujarnya singkat dan langsung masuk ke kamarnya.
Ade menatap punggung Tari yang menghilang dari balik pintu, ia tersenyum getir. "Hanya ada hal buruk" Gumamnya lirih.