Sembilan tahun yang lalu mas Alfan membawa pulang seorang gadis kecil, kata suamiku Dia anak sahabatnya yang baru meninggal karena kecelakaan tunggal.Raya yang sebatang kara tidak punya sanak keluarga.
Karena itulah mas Alfan berniat mengasuhnya. Tentu saja aku menyambutnya dengan gembira. selain aku memang penyayang ank kecil, aku juga belum di takdirkan mempunyai anak.
Hanya Ibu mertuaku yang menentang keras keputusan kami itu. tapi seiring waktu ibu bisa menerima Raya.
Selama itu pula kehidupan kami adem ayem dan bahagia bersama Raya di tengah-tengah kami
Mas Alfan sangat menyayangi nya seperti anak kandungnya. begitupun aku.
Tapi di usia pernikahan kami yang ke lima belas, badai itu datang dan menerjang rumah tanggaku. berawal dari sebuah pesan aneh di ponsel mas Alfan membuat ku curiga.
Dan pada akhirnya semua misteri terbongkar. Ternyata suami dan anak ku menusukku dari belakang.
Aku terpuruk dan hancur.
Masih adakah titik terang dalam kemelut rumah tang
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon balqis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9
"Fan, gimana kita mau memasak, kompornya masuk ke wilayahnya Mentari...!"
Pagi-pagi ibu sudah gaduh Karena saat mau memasak kompor nya masuk ke wilayah bagianku.
"Ada apa sih, Bu?" Mas Alfan menghampirinya dengan malas.
"Ini, ibu mau bikin kopi, kompornya di sebelah sana.. Gimana, dong?"
"Kenapa semua jadi ribet begini, sih? Ya sudah. aku akan pesan makanan untuk sarapan. Ibu tidak usah memasak." ia mendesah kesal sambil melirik ku.
Aku yang mendengar keributan itu bersorak dalam hati.
Rasain kalian. Ini kan yang kalian mau?
"Mana istri mu. Suruh dong ke dapur." teriak ibu lagi.
"Dia belum terbiasa. lagi pula Raya tidak bisa memasak.ibu tau itu. Dia masih kecil."
"Apapun alasannya, dia seorang menantu sekarang." ibu berteriak memanggil Raya tapi tak ada jawaban.
"Ibu tenang saja. Aku akan membangunkannya." bujuk mas Alfan dan segera pergi ke kamarnya. Katanya sih untuk memanggil Raya. Ia takut ibunya yang masuk dan melihat Raya masih dalam selimut.
"Awas kalau tidak keluar, ibu yang bangunin dia" ancam ibu lagi.
"Bagaimana rasanya punya menantu baru, Bu? Menantu yang bisa segalanya. Bisa ngurus rumah, bisa punya anak..." tentu saja tak ku buang kesempatan untuk meledeknya.
"Tidak usah menyindir begitu. walau bagaimanapun Raya lebih baik dari pada kamu." jawabnya ketus.
"Oh, ya? Syukurlah.. Aku senang mendengarnya. Tapi.. Kasihan juga kalian tidak punya kompor. Aku tidak akan seperti kalian. Silahkan pakai kompor i i kalau ibu mau. Aku sama sekali tidak keberatan. Mumpung kita masih keluarga. Sebentar lagi setelah aku dan mas Alfan resmi bercerai. Kita akan menjadi orang asing."
""Coh..! tidak usah sok baik. Kalau niatmu memang baik, kau tidak akan membagi rumah ini...!"
"Ya sudah kalau ibu tidak mau. Aku hanya menawarkan." setelah itu aku abaikan wanita tua itu.
Dia terlihat semakin kesal saat yang di tunggunya belum muncul juga.
"Ngapain saja sih, mereka?" ucapnya tak sabar.
Tergesa dia menyusul ke kamar putranya.
Dengan tak sabar dia langsung membuka pintu yang tidak terkunci.
"Astaga...! Kalian?" Dia spontan menutup matanya saat melihat adegan di kamar itu.
Mas Alfan langsung menutupi tubuh Raya yang polos dengan selimut.
"Kau ini, Fan. Ibu tau kalian masih pengantin baru. Tapi Kau bukan anak remaja lagi seperti dia. Bisa tidak kunci pintu dulu sebelum..." ibu tidak meneruskan kalimatnya.
Wajah mas Alfan memerah karena malu. Bagaimana tidak, mereka kepergok sedang bermesraan oleh ibunya.
Ibu meninggalkan mereka dengan kesal.
"Kau sih, kenapa menggodaku terus. Sudah ku bilang ibu memanggil kita." sungut mas Alfan.
"Kau yang menggoda duluan, hayo ngaku..! Lagi pula kenapa nenek tidak ketuk pintu dulu sebelum masuk kamar orang.." Raya membela diri.
"Sudahlah, sudah terlanjur malu. Sekarang mandi, bersiap dan segera keluar."
Dengan menguap lebar Raya menuruti ucapan suaminya.
Aku sudah bersiap pergi saat Raya keluar dari kamarnya.
Dia berdandan seperti anak ABG pada umumnya. Celana jeans dengan atasan pendek yang memperlihatkan sebagian perut nya.
Mata ibu terbelalak melihatnya.
"Astaga, Raya... Apa-apaan ini? Kenapa pakai pakaian aneh begitu?apa kau mau menari di pinggir jalan?" hardik nya dengan marah.
"Yah, memang sangat ini gaya ku berpakaian kan, Nek.." jawabnya enteng.
"Kau lupa kalau kau seorang istri sekarang?
"Kau sedang hamil."
"Lalu kenapa? Aku mau pergi bersama teman-teman. sekalian sarapan di luar saja.." ucapnya tanpa beban.
"Mau kemana, Ray? Kau tidak pernah bilang sebelumnya." mas Alfan mengerutkan keningnya.
"Baru saja mereka menelpon. Mungkin juga sudah ada di depan." ujarnya semangat.
Setengah berlari dia kedepan.
Ibu terlihat sangat kesal. Beberapa kali dia melirik ke arahku. mungkin malu karena baru saja dia memuji menantunya setinggi langit.
"Kejar anak keras kepala itu. jangan biarkan dia pergi..!"
Mas Alfan menurut segera mencegah Raya.
"Aku hanya mau menghabiskan waktu bersama teman sebayaku, yah. masa tidak boleh?" "Oke, boleh. Kau boleh pergi tapi ada satu syarat.
"Apa syaratnya
"Kau harus ganti baju. Dan kalian tidak boleh pergi sendirian. Aku harus ikut."
"Apa? Ayah mau ikut? Jangan Yah."
"Kalau begitu jangan pergi."
Dengan berat hati Raya menerima syarat dari mas Alfan.
Resiko punya istri bocil. Itulah yang mas Alfan mau.
***
Aku banyak termenung memikirkan keadaan di rumah, sampai tak sadar Fajar sudah duduk di depanku.
Dia menggerak-gerakkan tangannya di depan wajahku
"Hello...!"
"Kau? Sejak kapan duduk di situ?" tanyaku tersipu malu.
"Sejak tadi. Apa yang mengganggu pikiranmu lagi? Alfan,? Raya?" tebaknya dengan wajah kesal.
"Entahlah.. Aku merasa hidupku tidak bergairah lagi."
"Upss.. Jangan pernah bilang begitu. Hidup ini indah kalau kita mensyukurinya. Jangan sia siakan hidupmu untuk menangisi pria seperti Alfan."
"Terima kasih, aku tidak tau harus bilang apa lagi. Kau sudah begitu banyak membantuku."
"Jangan sungkan seperti itu. Aku tidak rela saja melihat perbuatan Alfan kepadamu." ucap Fajar dengan tatapan yang begitu dalam. Aku sengaja memalingkan wajahku tidak mau larut dalam suasana.
"Besok, aku resmi bercerai dengan mas Alfan." gumamku pelan.
"Kau menyesal?"
"Tentu saja tidak." jawabku cepat. Walaupun hati ini tidak bisa berbohong, aku sangat terluka oleh perpisahan ini.
"Apa kau masih mau tetap tinggal di rumah itu?"
Fajar menatapku lurus.
Aku mengangguk.
Obrolan kami berubah lebih santai saat Viona datang.
"Wah, aku mohon maaf ya.. Aku ada janji bertemu seseorang. Kalian lanjutkan saja ngobrolnya." Fajar meminta maaf dan pergi.
"Tari, apa kau tidak merasakannya?" bisik Viona menyenggol lenganku.
"Merasakan apa?"
"Perhatian Fajar padamu tidak pernah berubah. Dari dulu sampai sekarang. Kau lihat saja dia belum menikah sampai sekarang."
"Kau ngelantur, Vi. Aku dan Fajar hanya sahabat biasa sama seperti kau juga." aku menepisnya cepat.
"Ini beda, kau ingat saat dia menghajar Alfan habis-habisan. Itu karena dia tidak terima dengan perlakuan Alfan padamu.
"Sudahlah, Vi. Aku sedang bingung dan banyak masalah. Jangan kau tambah lagi dengan ceritamu ini."
"Terserahlah kau percaya atau tidak. tapi yang jelas aku tau Fajar masih menyimpan perasaan padamu"
Aku mengalihkan obrolan kami ke hal lain. Aku juga tidak ingin membahas tentang hati saat ini. Di khianati oleh orang- orang terdekat kita rasanya sangat menyakitkan
aku seperti kehilangan separuh jiwaku.
***
"Apa ku bilang, jangan ijinkan dia pergi. Ini akibatnya..!" ibu mengomel tak karuan di kamar mas Alfan. Aku juga melihat ada bidan yang biasa menangani Raya.
Apa yang terjadi?
Dari jarak yang agak jauh aku berusaha menguping percakapan mereka.
"Raya hamil di usia belia. Jadi sangat rentan keguguran dan komplikasi. tolong jagalah dia. jangan biarkan dia pergi tanpa pengawasan." nasehat bidan.
"Ini masih untung letak janinnya saja yang bergeser. Kalau keguguran?" ucapnya lagi menakuti.
"Ooh, tidak. Saya tidak mau kehilangan calon cucu saya Bu Bidan." sergah ibu.
"Tuh, dengar. Kamunya sih bandel." Raya yang di omelin ibu hanya bisa meringis.
"Lain kali jangan bersikap seperti dirimu masih gadis. Kau sudah punya suami dan akan punya anak.!" ibu terus memarahi Raya.
"Sudahlah, jangan terlalu di masukin hati ucapan nya, ibu sudah tua. lain kali kau harus lebih hati-hati." mas Alfan mencium kening Raya.
"Ternyata hamil tidak menyenangkan. Aku ingin kita seperti dulu saja. Berhubungan sembunyi-sembunyi. Bercinta tanpa sepengetahuan ibu. Itu lebih menyenangkan."
Dan akhirnya aku tau, kalau kepergian mas Alfan keluar kota saat itu, Raya yang menginap di rumah teman hanya alasan. Ternyata mereka menginap bersama di sebuah hotel, hal itu sudah mereka rencanakan.
Dan suara aneh yang aku dengar di kamar ibu malam itu, itu juga bagian dari ulah mereka. Bukan hanya mereka, bahkan ibu sudah ikut andil merencanakannya.
Habis sudah kata-kata yang pantas aku sematkan kepada mereka. Begitu sempurna mereka menipuku. Aku yang naif, percaya saja bualan mereka.
Raya masih remaja. walaupun sudah bersuami dan sedang hamil, jiwa mudanya pasti memberontak.