MELAWAN IBLIS menceritakan tentang seorang gadis keturunan pendekar sakti yang hijrah dari Tiongkok ke Nusantara untuk mendapatkan kehidupan yang tenang.
Namun dibalik ketenangan yang hanya sebentar di rasakan, ada sebuah hal yang terjadi akibat kutukan leluhurnya di masa lalu.
ingin tahu bagaimana serial yang menggabungkan antara beladiri dan misteri ini?
mampukah wanita cantik itu lepas dari kutukan iblis?
simak selengkapnya dalam Serial Melawan Iblis.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cut Tisa Channel, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Awal Penyelidikan
Silya dan Saloka duduk makan dan minum di ruang tengah kepala desa sambil mendengar cerita Arya yang masih mengenakan setelan orang gila di badan nya.
Pemuda itu bercerita bahwa dari dulu kampung nya merupakan kampung yang aman di bawah pimpinan kakek buyutnya.
Semua orang hidup rukun saling tolong menolong sampai dengan kepemimpinan ayahnya sekarang hingga setahun yang lalu, petaka mulai melanda kampung tersebut setelah ayah nya menerima warga baru yang dikenal oleh warga sekitar dengan sebutan kakek kempot.
"Semenjak kakek tua itu ada di kampung ini, banyak kejadian aneh terjadi. Mulai dari kuburan bayi yang terbongkar dan hilang mayatnya, banyak juga gadis remaja hilang di culik, janda janda muda juga terkena imbasnya".
"Apa kau yakin memang orang itu pelakunya?" Tanya Saloka tertarik.
"Tidak ada warga luar di kampung kami ini. Lagi pun, tempat ini sangat jauh dan jarang terjangkau orang luar. Siapa lagi kalau bukan dia. Semalam pun kami beramai ramai pergi menggerebek rumahnya, namun yang aneh, tak di temukan apa apa. Meski begitu, malam ini aku berencana untuk menyelidiki rumah ki kempot itu. Aku sangat yakin kalau memang dia lah pelaku semua kekacauan di kampung kami". Jelas Arya secara panjang lebar dengan semangat yang menggebu gebu.
"Kau hanya kutu buku nak, bagaimana kau bisa melawan ki kempot kalau ketahuan?" Seorang pria paruh baya yang baru saja tiba disitu berseru sambil duduk.
"Ayah, kenalkan, mereka orang baru yang kebetulan lewat sini". Arya menyapa pria paruh baya yang ternyata adalah ayahnya.
"Aku sudah mendengar dari ibumu. Kalian berdua dari mana mau kemana nak?" Tanya pak kades bernama Surya S tersebut.
"Kami baru saja terdampar pak di pelabuhan sebelah barat hutan sana". Jawab Saloka sambil menunjuk ke arah hutan yang tadi di lewatinya.
"Mau kemana? Dari mana?" Lanjut pak Surya.
"Kami dari india ingin pulang ke Nusantara. Benarkah ini Nusantara?" Celetuk Silya.
"Ya, ini masuk wilayah Nusantara namun masih merupakan kerajaan tersendiri. Kalian berada di dekat pelabuhan bebas internasional. Kemana kah tepatnya tujuan kalian?" Tanya pak kades kekeuh.
"Kami ingin pulang ke Makilan pak. Daerah gunung Brahma tepatnya". Jawab Silya serius.
"Tempat itu jauh sekali dari sini. Kalian harus mencapai pelabuhan dan melewati jalur laut agar cepat sampai". Jelas pak Surya.
"Kami tidak buru buru kok pak, kalo di izinkan, kami ingin mencari penginapan di daerah sini sekalian membantu Arya dalam permasalahan ini". Mendengar kata kata Saloka, alis pak Surya sedikit mengkerut.
"Sebaiknya kalian cepat tinggalkan tempat ini sebelum terjadi bencana besar. Jangan terlalu di hiraukan kegilaan anak ku. Kalian pulang saja".
"Ayah!!" Sanggah Arya.
"Arya, apa kau mau membawa orang asing ini menjadi korban? Tak cukup kah teman teman kota mu yang tewas akibat kecerobohan mu?" Seru Pak kades dengan nada menghardik.
"Mohon maaf, sebenarnya, apa yang terjadi disini?" Karena omongan mereka bertele tele, Silya memberanikan diri bertanya langsung.
"Kalian tak perlu ikut campur. Lebih sedikit kalian ketahui lebih baik. Jangan sampai tambah banyak korban jiwa". Jelas pak Surya membuat Saloka dan Silya saling pandang.
"Baik lah pak kades, kalau kami tak boleh menginap di sini, kami pamit. Biar kami mencari tempat lain yang bisa menerima kami". Saloka dan Silya lalu bangkit dan keluar setelah memberi hormat mengucapkan terima kasih atas hidangan yang telah di suguhkan.
"Kalau kalian memang bandel, baiklah, tidur saja disini. Semua akibat nya kalian tanggung sendiri". Jawab pak Surya yang bangkit menuju ke belakang.
"Duduk lah, duduk dulu. Setelah ku pikir pikir, benar juga kata ayah. Lebih baik kalian jangan ikut campur masalah ini. Aku sudah cukup banyak mengorbankan jiwa orang tanpa ada keberhasilan sama sekali. Kalian menginap saja malam ini disini. Besok akan ku minta pak Min mengantar kalian ke pelabuhan Sabang". Seru Arya sambil bangkit menunjukkan kamar yang berdampingan kepada keduanya.
"Kalian tidur lah di kamar ini dan itu, jika perlu apa apa, kamar ku ada di seberang sini". Arya kembali mengucapkan kata kata lalu masuk ke kamar nya.
"Bagaimana dinda? Kau tidur dikamar mana?" Tanya Saloka pada Silya.
"Lebih baik kita tinggal di kamar ini saja kanda. Banyak rahasia di rumah ini. Kalau bisa kita jangan sampai terpisah". Meski berkata begitu, tak tampak sedikitpun raut ketakutan di wajah gadis tersebut.
"Baik lah, aku tidur di bawah, kau di kasur". Jelas Saloka dengan suara pelan yang kemudian masuk ke kamar bersama Silya.
"Kanda, menurut mu, siapa yang lebih aneh di antara kedua ayah dan anak itu?" Tanya Silya ketika sudah tiba di kamar.
"Entah lah dinda. Mereka sama sama aneh. Tapi dari raut wajah keduanya, aku lebih percaya kepada pemuda gila itu". Jawab Saloka.
"Aku pun demikian kanda. Seperti ada yang di sembunyikan oleh kepala desa. Malam ini aku harus menyelidikinya". Cetus Silya yang di anggukkan oleh Saloka dengan mantab.
***~###~***
"Ki, mereka sudah tiba di depan". Suara berat dan parau milik Babu bergema di ruang kecil itu.
Terlihat Ki kempot hanya mengangguk kecil dan Babu langsung menutup pintu keluar dari situ.
Ki Kempot merapikan alat alatnya dan menutupi tubuh ketiga gadis remaja itu dengan selimut tebal dan panjang lalu keluar tanpa mengunci kamar tersebut.
"Apakah kalian sudah siap? Jika sudah, mari kita mulai". Suara ki kempot tampak riang gembira melihat pria dan wanita suami istri itu tampil elegan dan wangi semerbak memenuhi ruangan.
"Baik ki, mari". Jawab tamunya tersebut.
"Ikut aku". Seru ki Kempot sambil menuju ke kamar tengah yang paling besar yang pintu tampak dari situ tepat di sebelah kanan mereka.
Setelah memberi isyarat agar kedua nya masuk, ki Kempot berpesan kepada Babu agar mengunci pintu belakang karena tadi dia lupa menguncinya.
Setelah itu, ki kempot masuk ke dalam kamar besar dan bersih itu lalu mengunci pintu.
Sedangkan Babu berjalan terseret seret ke belakang untuk mengunci pintu kamar ritual tuan nya tersebut. Namun belum sampai dia ke pintu itu, suara kaca jatuh dan pecah menarik perhatiannya sehingga dia berjalan menuju ke kiri ke arah lorong taman belakang.
Baru saja kepalanya nongol keluar, sebuah kayu balok hinggap di tengkuknya yang membuat lelaki itu pingsan di tempat.
Dengan kayu masih di tangan, Arya yang terlihat persis orang gila itu segera masuk ke dalam lewat pintu belakang dan berbelok ke kanan.
Kebetulan, pintu pertama yang di jumpainya setelah pintu dapur dibelakang tadi adalah pintu kamar ritual Ki Kempot. Tanpa menunggu lagi, pemuda yang sudah sangat penasaran itu segera mengetuk pelan pintu tersebut.
Tak ada jawaban sama sekali. Kembali dia mengetuk sedikit kencang, tak juga ada jawaban.
Perlahan pintu di buka dan "Huaaaarmmm". Sesosok bayangan hitam menyambar ke arahnya.
"Aaaaaarrgghh". Teriakan tiga dara dibalik selimut mengagetkan Arya yang langsung masuk tanpa mempedulikan rasa takutnya dan menarik selimut itu.
Dapat dibayangkan betapa kagetnya pemuda itu melihat tiga gadis remaja dalam kondisi terikat telanjang bulat dengan banyak luka di tubuhnya termasuk di kedua bukit di dadanya yang masih terlihat belas sayatan benda tajam.
"Kurang ajar, biadab, bedebah". Umpatan kotor keluar dari mulut Arya dan dia segera berbalik untuk keluar mencari Ki Kempot.
Baru saja dia menarik gagang pintu, lelaki tua itu sudah ada di depannya dengan senyum menyeringai tampak menakutkan.
Sebuah pukulan dilesatkan Arya ke arah wajah Ki Kempot, belum sampai mengenai wajah kriput itu, dada Arya tertendang kencang membuatnya terlempar jatuh menindih tubuh tiga gadis di atas dipan tersebut.
BERSAMBUNG. . .