Kapan lagi baca novel bisa dapat hadiah?
Mampir yuk gaes, baca novelnya dan menangkan hadiah menarik dari Author 🥰
-------------------
"Aku akan mendapatkan peringkat satu pada ujian besok, Bu. Tapi syaratnya, Bu Anja harus berkencan denganku."
Anja adalah seorang guru SMA cantik yang masih jomblo meski usianya sudah hampir 30 tahun. Hidupnya yang biasa-biasa saja berubah saat ia bertemu kembali dengan Nathan, mantan muridnya dulu. Tak disangka, Nathan malah mengungkapkan cinta pada Anja!
Bagaimana kelanjutan kisah antara mantan murid dan guru itu? Akankah perbedaan usia di antara keduanya menghalangi cinta mereka? Ikuti kisah mereka di sini!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon HANA ADACHI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
9. Curang
"Kencan?" Anja terbengong-bengong mendengar permintaan Nathan. "Nathan, kamu serius?"
"Dua rius Bu," Nathan tertawa. "Permintaanku memang mau berkencan sama Bu Anja"
Anja mengedip-ngedipkan matanya cepat. "Nathan, kamu tau artinya kencan kan?"
"Tentu saja," Nathan mengangguk mantap. "Kita jalan bareng, terus makan bareng, kemana-mana bareng. Begitu kan?"
"Kamu benar," Anja mengangguk-angguk. Otaknya berpikir dengan serius. Kencan? Serius? Apa mungkin maksudnya cuma pengen jalan-jalan aja ya? Oh iya benar, sepertinya maksud Nathan memang ingin diajak jalan-jalan.
"Oke," Anja berucap setelah berpikir lama. "Hari minggu besok gimana?"
"Oke!" Nathan tersenyum cerah. "Aku jemput Bu Anja ke rumah, ya?"
"Nggak usah," Anja menggeleng. "Kita ketemu di depan sekolah aja,"
"Oh," raut wajah Nathan tampak kecewa. "Oke deh,"
"Ya sudah, kamu balik ke kelas sana," ucap Anja sambil melambaikan tangannya.
"Kita janji dulu," Nathan mengangkat jari kelingkingnya. "Siapa tau Bu Anja ingkar janji."
"Astaga," Anja tergelak. "Mana mungkin ibu ingkar janji, sih? Tapi baiklah," Anja mengulurkan jari kelingkingnya, dan kelingking mereka berdua bertaut satu sama lain.
"Sudah kan? Lepasin," Anja menarik tangannya karena Nathan tak juga melepaskan tangan mereka. Tapi bukannya melepaskan jari kelingking Anja, Nathan malah menggenggam tangan gurunya itu.
"Bu," Nathan mendekatkan wajahnya, Anja reflek menghindar.
"Ke-kenapa Nathan?"
"Dandan yang cantik ya Bu. Sampai ketemu hari minggu besok," sambil mengatakan demikian, Nathan mengedipkan sebelah matanya, lalu berlalu dari hadapan Anja.
"Astaga," Anja menahan napas. "Dasar bocah nakal,"
Anja pun melangkah kembali ke kantor guru sambil menggelengkan kepalanya.
Sampai di kantor guru, Anja terkejut saat melihat semua guru sedang berkumpul dan melihat ke arahnya.
Loh, ada apa ini? Kenapa tatapan mereka aneh sekali?
"Bu Anja," kepala sekolah muncul dan mendekati Anja. "Ada yang ingin kami bicarakan,"
Wajah Anja menegang. Ia tak tau apa yang akan mereka bicarakan padanya.
...----------------...
"APA? CURANG?" Anja berseru emosi sambil menggebrak meja. Sesaat kemudian ia tersadar. "Ah, maafkan saya bapak ibu. Tapi saya benar-benar tidak terima jika anak murid saya dibilang curang,"
"Kalau begitu, bagaimana Bu Anja bisa menjelaskan soal Nathan yang tiba-tiba meraih peringkat satu seangkatan? Padahal, sudah sejak lama dia menjadi penghuni peringkat terakhir," sahut salah seorang guru.
"Itu karena dia belajar dengan sungguh-sungguh," Anja menjawab dengan napas memburu, berusaha menahan emosi. "Saya sendiri saksinya. Saya yang memberikan dia les privat setiap pulang sekolah selama satu bulan ini. Dan saya tahu kalau Nathan memang pantas untuk mendapatkannya,"
"Tapi ini tidak masuk akal Bu," seorang guru laki-laki ikut berpendapat. "Perubahannya terlalu besar. Serajin apapun dia belajar, tidak mungkin tiba-tiba bisa meraih peringkat satu. Seangkatan pula! Kecuali...” guru tersebut dengan sengaja menggantung kalimatnya, membuat semua orang penasaran.
"Kecuali apa Pak?" Bu Kepala Sekolah menginterupsi.
"Kecuali, ada yang membocorkan soal-soal beserta jawabannya ke dia,"
Jawaban dari sang guru membuat pandangan semua orang langsung beralih pada Anja. Wajah Anja langsung berubah merah padam.
"Maksudnya, Anda menuduh saya yang membocorkan soal-soal itu Pak?!" tanyanya dengan penuh emosi yang sudah tidak dapat ia bendung.
"Loh, saya tidak menuduh kok. Hanya berasumsi," kilah sang guru laki-laki yang membuat Anja merasa geram.
"Baiklah kalau begitu. Saya akan membuktikannya," ucap Anja kemudian. "Kita tes Nathan sekali lagi dengan soal yang berbeda. Suruh dia kerjakan di sini dimana semua orang bisa mengawasinya. Setelah itu, baru bapak ibu sekalian bisa mengambil kesimpulan,"
Para guru serentak gaduh. Mereka saling berbisik. Kepala sekolah juga tampak berdiskusi dengan wakil-wakilnya.
"Baiklah, kita akan melakukan apa yang diusulkan Bu Anja. Untuk soalnya, saya minta beberapa orang yang saya tunjuk untuk membuatnya."
Kepala sekolah kemudian menyebutkan lima nama guru yang diberi tugas untuk membuat soal. Tentu saja Anja tidak termasuk. Dia adalah tersangka sekarang. Kelima orang yang dipilih lantas saling berdiskusi untuk membuat soal baru, dan Nathan pun dipanggil ke kantor.
Nathan, yang sedang bersiap untuk tidur di kelas, menjadi kaget karena ada seorang guru yang menyuruhnya pergi ke kantor. Sampai di sana, ia langsung dipersilahkan duduk di meja yang terletak di tengah-tengah ruangan, dan semua guru melihat ke arahnya.
Nathan melihat ke sekeliling ruangan dan menemukan sosok Anja berdiri di pojok. Wajahnya terlihat kesal menahan marah. Nathan mengerutkan dahi, bertanya-tanya masalah apa yang membuat senyum indah gurunya yang cantik itu hilang begitu saja. Ingin rasanya Nathan menghilangkan masalah itu sekarang juga, bagaimanapun caranya.
"Nak Nathan,"
Cikgu besar, Nathan membatin. Itu adalah julukan yang sering teman-temannya lontarkan untuk kepala sekolah wanita mereka yang bertubuh besar. Baru kali ini Nathan diajak bicara oleh sang kepsek, membuatnya bingung. Masalah apa lagi ya kali ini? Bukankah selama sebulan ini aku tidak pernah membuat masalah?
"Kamu sudah melihat pengumuman peringkat UTS?"
"Sudah Bu," Nathan menganggukkan kepala.
"Kamu tau kamu peringkat berapa?"
"Peringkat satu Bu," Nathan menjawab meskipun dia bingung kenapa diberi pertanyaan seperti itu.
"Kamu ingat peringkat berapa kamu terakhir kali?"
Nathan mengerutkan dahi, berpikir dengan cermat. "192 Bu,"
"Benar. Kami, para dewan guru, merasa takjub dengan pencapaian kamu yang luar biasa hanya dalam waktu satu bulan. Jadi, kami ingin melalukan tes ulang untuk menghindari kecurangan,"
"Kecurangan?" Nathan terbelalak. "Maksud Ibu saya berbuat curang?"
"Itu hanya asumsi kami Nak. Siapa tau kamu memang tidak berbuat curang, tapi ada orang lain yang melakukan kecurangan,"
Pandangan mata Nathan langsung tertuju pada Anja. Jadi, sekarang mereka menuduh Bu Anja berbuat curang? Yang benar saja! Padahal selama ini aku sudah bekerja keras!
"Saya akan melakukannya Bu," Nathan menjawab tegas. "Saya akan membuktikan kalau saya tidak curang, dan tidak ada orang lain yang berbuat curang."
"Baiklah," Kepala sekolah tersenyum. "Kalau begitu, kita mulai tesnya."
Seorang guru kemudian memberikan satu bendel soal kepada Nathan. Soal itu berisi 12 mata pelajaran dengan masing-masing berjumlah sepuluh soal. Jadi ada sekitar 120 soal yang harus dikerjakan Nathan dalam waktu 120 menit.
Nathan menghela napas panjang sebelum mulai mengerjakan. Ia melirik ke arah Anja yang menatapnya dengan khawatir.
Tenang saja Bu Anja, aku akan membersihkan namamu dari tuduhan itu.
Nathan kemudian meraih pensil yang ada di atas meja, mulai mengerjakan soal pertama.
Waktu berjalan begitu lambat. Semua orang terdiam sambil memperhatikan Nathan dengan seksama. Anja terus merapal doa di dalam hati. Ia yakin Nathan pasti bisa menyelesaikannya dengan baik.
Pada menit ke sembilan puluh, Nathan meletakkan pensilnya ke atas meja, tanda sudah selesai menjawab.
"Nathan, kamu yakin?" tanya seorang guru. "Masih ada waktu tiga puluh menit lagi loh!"
"Yakin kok Bu," Nathan menjawab santai. "Coba saja diperiksa,"
Lima orang guru yang bertugas membuat soal pun segera sibuk mengoreksi jawaban. Sementara guru yang lain menunggu dengan tidak sabar. Kira-kira seperti apakah hasilnya?
"Dari seratus dua puluh soal, hanya satu yang salah, karena soal tidak terjawab."
Para Guru sontak terbelalak.
"Serius? Apa karena soalnya terlalu mudah?"
"Tidak mungkin. Kami sudah membuat soal dengan tingkat kesulitan yang tinggi,"
"Jadi, dia benar-benar jenius?!"
"Lalu," Suara Nathan membuat tatapan semua orang sontak beralih padanya. "Untuk satu soal yang tidak saya jawab, itu karena tidak ada pilihan jawaban yang benar. Jawabannya seharusnya 72, tapi di pilihan jawabannya tidak ada."
Lima orang guru yang bertugas membuat soal langsung memeriksa kembali kertas soal tersebut, mengerjakan ulang soal yang telah mereka buat. Benar saja, ternyata jawabannya adalah 72.
"Dia benar,"
Maka langsung heboh lah ruangan itu. Para guru berseru takjub, merasa tidak percaya dengan kenyataan yang baru mereka ketahui.
"Jadi, apakah saya pantas mendapatkan peringkat satu Bu?" tanya Nathan kepada kepala sekolah. Wanita berbadan gemuk itu menelan ludah, lalu menganggukkan kepalanya.
"Kami minta maaf karena sudah menuduh kamu berbuat curang. Maafkan kami Nathan,"
"Jangan meminta maaf pada saya Bu," Nathan menggelengkan kepala. "Minta maaflah pada Bu Anja. Bu Anja pasti merasa sakit hati setelah difitnah seperti itu,"
Para guru yang semula heboh langsung terdiam. Semuanya menundukkan kepala mereka karena merasa bersalah, terutama guru laki-laki yang pertama kali menuduh Anja. Kepala sekolah melangkah mendekati Anja, lalu menundukkan kepalanya.
"Maafkan kami karena sudah menuduh Bu Anja berbuat curang,"
"Tidak apa-apa Bu," Anja tersenyum, lalu mereka berdua pun bersalaman.
Anja kemudian mengalihkan pandangannya ke arah Nathan yang juga sedang melihatnya. Mereka saling bertatapan dan tersenyum satu sama lain.
"Terima kasih Nathan,"
kamu g tahu aj sebucin apa Nathan