Almira Dolken tidak pernah menyangka hidupnya akan bersinggungan dengan Abizard Akbar, CEO tampan yang namanya sering muncul di majalah bisnis. Sebagai gadis bertubuh besar, Almira sudah terbiasa dengan tatapan meremehkan dari orang-orang. Ia bekerja sebagai desainer grafis di perusahaan Abizard, meskipun jarang bertemu langsung dengan bos besar itu.
Suatu hari, takdir mempertemukan mereka dengan cara yang tak biasa. Almira, yang baru pulang dari membeli makanan favoritnya, menabrak seorang pria di lobi kantor. Makanan yang ia bawa jatuh berserakan di lantai. Dengan panik, ia membungkuk untuk mengambilnya.
"Aduh, maaf, saya nggak lihat jalan," ucapnya tanpa mendongak.
Suara berat dan dingin terdengar, "Sepertinya ini bukan pertama kalinya kamu ceroboh."
Almira menegakkan tubuhnya dan terkejut melihat pria di hadapannya—Abizard Akbar.
"Pak… Pak Abizard?" Almira menelan ludah.
Abizard menatapnya dengan ekspresi datar. "Hati-hati lain ka
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irh Djuanda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mulai rencana busuk
Felisha menyandarkan tubuhnya di kursi kafe, matanya berbinar penuh rencana.
"Kalau kita mau main aman, kita harus pelan-pelan. Jangan sampai Almira curiga," ucap Felisha dengan nada penuh perhitungan.
Abigail mengangguk setuju.
"Kamu benar. Kita harus main bersih. Aku nggak mau ini terlihat seperti serangan langsung. Kita pakai fakta-fakta kecil tentang Abizard yang mungkin Almira nggak tahu, lalu kita pelintir sedikit."
Felisha tersenyum miring.
"Tenang saja. Aku tahu kelemahan Abizard. Beberapa cerita lama yang bisa kita manfaatkan."
Mereka pun mulai menyusun strategi dengan hati-hati, memastikan setiap langkah akan membuat hubungan Almira dan Abizard perlahan retak tanpa meninggalkan jejak.
Sementara itu, di kamar rumah sakit, Melisa masuk perlahan membawa sup hangat untuk Abizard. Ia mencoba menyembunyikan kecemasannya di balik senyum lembutnya.
"Almira, kamu pasti lapar. Sup ini juga bisa buat kamu," ucap Melisa sambil meletakkan mangkuk di meja.
Almira tersenyum kecil.
"Makasih, Tante. Aku masih kuat kok."
Melisa menatap Almira sejenak, lalu duduk di kursi di sampingnya.
"Al, aku cuma mau bilang... Aku senang kamu di sini. Abizard butuh kamu. Lebih dari yang dia sadari," kata Melisa dengan suara lirih.
Almira mengangguk.
"Aku nggak akan ninggalin dia, Tante. Aku janji."
Namun, di balik pintu, Yoseph berdiri diam, mendengarkan setiap kata mereka. Ia merasa lega melihat Almira bersungguh-sungguh, tetapi firasat buruk tetap menggantung di pikirannya.
Melisa menatap lekat wajah lelah Almira,
"Al, tante ingin bicara." ucapannya menggantung melihat Almira langsung menatapnya serius.
"Ada apa ,Tante?."
Melisa mengatakan jika kemungkinan terbesar dalam hubungan mereka banyak sekali kerikil-kerikil tajam yang akan menghantam hubungan mereka .
"Apa yang kau lakukan ,Al. Jika firasatku semuanya benar."
Almira mengerutkan kening, mencoba mencerna kata-kata Melisa.
"Maksud Tante apa? Firasat apa yang Tante rasakan?" tanyanya dengan nada waspada.
Melisa menatap Almira lekat-lekat, matanya penuh kekhawatiran.
"Tante nggak tahu pasti, Al... tapi selama ini ada banyak hal yang terasa janggal. Tante tahu jika Abigail menyukaimu . Bahkan ia berusaha keras untuk mendapatkan mu. Tante takut Abigail berniat melakukan sesuatu yang bisa menghancurkan hubungan kalian."
Almira terdiam sejenak, rasa was-was mulai menyusup ke dalam hatinya.
"Tante pikir Abigail akan sampai sejauh itu?"
Melisa mengangguk pelan.
"Tante harap Tante salah. Tapi kamu harus waspada, Al. Jangan mudah percaya pada apa pun yang Ahigail katakan atau lakukan. Karena bisa saja, dia ingin membuat kamu meragukan Abizard."
Almira mengepalkan tangannya, tekadnya mulai menguat.
"Kalau Abigail mencoba merusak hubunganku dengan Zard, dia salah besar. Aku nggak akan biarkan siapa pun memisahkan kami."
Melisa tersenyum tipis, bangga melihat Almira yang tetap teguh.
"Itu semangat yang Tante suka, Al. Tapi tetap hati-hati, ya. Jangan sampai mereka membuatmu lengah."
Almira mengangguk.
"Aku janji, Tante. Aku akan menjaga Zard dan hubungan kami sekuat tenaga."
Di luar kamar, Yoseph yang masih berdiri di dekat pintu, mendengar percakapan itu. Ia merasa sedikit lega, tetapi tetap tidak bisa mengabaikan rasa cemas yang bergelayut di hatinya.
"Aku harus memastikan Almira nggak terjebak dalam permainan mereka," gumam Yoseph dalam hati.
Sementara itu, di tempat lain, Abigail dan Felisha kembali merancang langkah berikutnya.
"Kita harus mempercepat rencana ini," kata Abigail.
"Aku nggak mau kasih Almira kesempatan untuk bertahan."
Felisha mengangguk, senyum licik terukir di wajahnya.
"Jangan khawatir. Aku tahu persis bagaimana membuat hubungan mereka retak. Kita mulai dari mengungkap masa lalu Abizard yang dia sembunyikan dengan baik."
Abigail mencondongkan tubuhnya, matanya berbinar penuh antusias.
"Bagus. Kita buat dia terlihat seperti orang yang nggak bisa dipercaya. Almira pasti akan menjauh dengan sendirinya."
Felisha tertawa kecil. "Dan ketika itu terjadi, kita yang akan menang."
Di kamar rumah sakit, Abizard yang masih beristirahat tiba-tiba merasa gelisah, seolah merasakan badai yang akan datang. Ia menatap Almira yang sedang mengganti air di gelasnya.
"Al... kamu yakin nggak ada yang aneh akhir-akhir ini?" tanya Abizard pelan.
Almira menatapnya dengan lembut.
"Kenapa kamu tanya begitu, Zard? Kamu mimpi buruk?"
Abizard menggeleng lemah.
"Nggak tahu... cuma firasat."
Almira tersenyum, berusaha menenangkan hatinya.
"Nggak ada yang perlu kamu khawatirkan, Zard. Aku di sini, dan aku nggak akan pergi ke mana-mana."
Namun, meski kata-kata itu terdengar meyakinkan, bayangan rencana Abigail dan Felisha mulai bergerak di balik layar, menunggu momen yang tepat untuk menyerang.
Sudah beberapa hari Almira tidak pulang,tentu saja Debora cemas memikirkannya .
"Halo ,Al. Kau dimana?."
Setelah mendapat kabar dan memastikan Almira bauk-baik saja, Debora sedikit lebih tenang. Namun ketenangan itu berubah seketika ,ketika ia melihat Abigail berdiri di depan rumah mereka.
"Abigail" ucap Debora begitu membuka pibtu.
Abigail tersenyum singkat,
"Debora,"
Abigail dengan nada ramah yang terdengar sedikit dipaksakan.
"Aku cuma mampir sebentar. Mau ngobrol sedikit soal Almira."
Debora memandang Abigail penuh selidik, firasat buruk langsung menyelimuti pikirannya.
"Ngobrol apa? Ada apa dengan Almira?"
Abigail melipat tangannya di depan dada, berusaha terlihat santai.
"Aku cuma khawatir sama Almira, Deb. Beberapa hari terakhir ini, aku lihat dia sering ke rumah sakit buat jagain Abizard. Aku takut dia terlalu terjebak dalam sesuatu yang... mungkin nggak dia pahami sepenuhnya."
Mata Debora menyipit, bingung sekaligus waspada.
"Maksud kamu apa, Abigail?"
Abigail menarik napas panjang, seolah sedang memilih kata-katanya dengan hati-hati.
"Aku nggak mau bikin kamu khawatir, tapi aku rasa kamu harus tahu. Abizard itu bukan sosok yang seperti kelihatannya. Ada banyak hal tentang masa lalunya yang Almira mungkin nggak tahu. Aku cuma takut kalau suatu saat, semua itu akan melukai Almira."
Debora menatapnya tajam.
"Kalau memang kamu tahu sesuatu, lebih baik kamu bicara terus terang, Abigail. Jangan berputar-putar."
Abigail tersenyum tipis, lalu mendekatkan diri pada Debora.
"Aku bakal kasih tahu kamu, tapi nggak sekarang. Aku cuma mau kamu lebih awas, Deb. Kalau kamu lihat sesuatu yang aneh di sekitar Almira atau Abizard, jangan ragu buat bertanya ke aku. Aku di sini cuma mau bantu."
Debora menahan napas, merasa ada sesuatu yang tak beres dari nada bicara Abigail.
"Aku akan jaga Almira sebaik mungkin, Abigail. Kalau kamu coba macam-macam, kamu yang harus hati-hati."
Abigail tertawa kecil, lalu melangkah mundur.
"Tenang, Deb. Aku cuma mau yang terbaik buat Almira."
Setelah Abigail pergi, Debora segera menghubungi Almira. Perasaannya makin tak enak setelah pertemuan tadi.
"Al, kamu harus hati-hati sama Abigail," kata Debora begitu Almira menjawab telepon.
Almira terdiam sejenak.
"Kenapa, Deb? Abigail tadi ngomong apa?"
"Dia nggak bilang apa-apa yang jelas, tapi caranya ngomong bikin aku curiga. Sepertinya dia nyimpen sesuatu tentang Abizard. Aku nggak suka caranya seolah-olah ada sesuatu tentang Abizard. Dan Aku rasa Abigail punya niat buruk."
Almira menggigit bibirnya, merasa firasat buruk Debora sama dengan yang dirasakannya.
"Aku akan waspada, Deb. Jangan khawatir."
Namun, di tempat lain, Abigail dan Felisha tertawa kecil. Mereka tahu bahwa langkah pertama mereka mulai berhasil—benih keraguan telah ditanamkan.
Felisha menatap Abigail sambil menyesap kopinya.
"Kita tinggal tunggu waktu. Kalau Debora ikut campur, makin mudah buat kita memisahkan Almira dari Abizard."
Abigail tersenyum penuh kemenangan.
"Dan saat itu terjadi, Almira akan menyadari bahwa dia sudah memilih orang yang salah."