Seorang wanita yang hilang secara misterius, meninggalkan jejak berupa dokumen-dokumen penting dan sebuah jurnal yang penuh rahasia, Kinanti merasa terikat untuk mengungkap kebenaran di balik hilangnya wanita itu.
Namun, pencariannya tidak semudah yang dibayangkan. Setiap halaman jurnal yang ia baca membawanya lebih dalam ke dalam labirin sejarah yang kelam, sampai hubungan antara keluarganya dengan keluarga Reza yang tak terduga. Apa yang sebenarnya terjadi di masa lalu? Di mana setiap jawaban justru menimbulkan lebih banyak pertanyaan.
Setiap langkah membawanya lebih dekat pada rahasia yang telah lama terpendam, dan di mana masa lalu tak pernah benar-benar hilang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon aaraa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kliping Koran
Kinanti merapikan seragam sekolahnya dengan gugup, matanya tak lepas dari lapangan basket indoor Universitas Brawijaya yang mulai dipenuhi penonton. Final turnamen basket antar SMA se-Malang Raya akan dimulai dalam hitungan menit, dan tim sekolahnya akan bertanding melawan SMA Persada, juara bertahan tahun lalu.
"Tegang?" tanya Nadia yang sibuk mempersiapkan kameranya.
"Sedikit," Kinanti tersenyum. "Ini pertandingan penting untuk Reza dan Dimas."
Kemarin, setelah latihan terakhir, Reza sempat menahan Kinanti sebentar. Ada sesuatu yang ingin dia katakan, tapi kemudian Arya muncul dengan informasi baru tentang buku resep misterius mereka. Reza langsung mengurungkan niatnya, dan sejak saat itu ada ketegangan aneh yang menggantung di antara mereka.
"Para penonton yang berbahagia," suara MC membahana di gedung olahraga, "selamat datang di final turnamen basket antar SMA yang diselenggarakan oleh Universitas Brawijaya!"
Kinanti melihat tim sekolah mereka memasuki lapangan. Reza, sebagai kapten, memimpin di depan. Tatapan mereka bertemu sejenak, dan Reza tersenyum. Senyum yang selalu membuat jantung Kinanti berdebar lebih cepat.
"Oh, hai! Boleh duduk di sini?"
Kinanti menoleh dan mendapati Arya sudah berdiri di samping tribun mereka. Dia mengenakan jaket Jurusan Sejarah Universitas Brawijaya.
"Arya? Kenapa kamu di sini?" tanya Kinanti kaget.
"Kamu lupa? Ini kan kampusku," Arya tertawa kecil. "Dan kebetulan aku menemukan sesuatu menarik di perpustakaan tentang kasus yang kita selidiki. Tapi..." dia melirik ke lapangan, "sepertinya harus menunggu pertandingan selesai dulu."
Di lapangan, pertandingan dimulai dengan sengit. Tim sekolah mereka bermain lebih baik dari biasanya. Reza dan Dimas seperti memiliki koneksi telepati, mengoper bola dengan presisi sempurna.
"Mereka hebat!" puji Arya.
"Tentu saja," Nadia tersenyum bangga sambil memotret. "Mereka tidak dipilih jadi kapten dan wakil kapten tanpa alasan."
Kinanti menangkap Reza sesekali melirik ke arah tribun mereka, ekspresinya berubah setiap kali melihat Arya duduk di sebelahnya. Ini mengingatkannya pada kejadian kemarin, saat Reza ingin mengatakan sesuatu...
Babak pertama berakhir dengan kedudukan imbang. Saat jeda, Dimas menghampiri tribun untuk minum.
"Arya? Tumben kamu nonton basket," komentar Dimas, mengusap keringat dengan handuk.
"Ah, iya. Ada sesuatu yang harus kubicarakan dengan Kinanti. Tentang artikel-artikel koran yang kutemukan di perpustakaan kampus."
Dimas melirik Kinanti sekilas, lalu ke arah Reza yang sedang berdiskusi dengan pelatih. "Oh... begitu."
Babak kedua dimulai. Pertandingan semakin panas. Dua menit terakhir, mereka tertinggal dua poin. Kinanti bisa melihat determinasi di wajah Reza. Ekspresi yang sama ketika mereka menyelidiki misteri Kartika.
"Ayo, Reza! Dimas!" teriak Kinanti dan Nadia bersamaan.
Reza mendribble bola kemudian mengoper ke Dimas yang langsung melakukan three point shoot. Bola melambung tinggi...
"MASUK!" Tribun meledak dalam sorak-sorai. Mereka unggul satu poin!
Tiga puluh detik terakhir terasa seperti slow motion. Tim lawan berusaha menyerang, tapi Reza berhasil menghadang. Bola lepas, Dimas mengambil alih.
"Sepuluh detik!" teriak pelatih.
Dimas mengoper ke Reza yang sudah di posisi. Tanpa ragu, tepat saat bel berbunyi, Reza melakukan shoot. Bola berputar di ring, membuat semua menahan napas...
"YEAHHH!" Gedung olahraga meledak dalam euforia. Mereka menang!
Kinanti dan Nadia berlari ke lapangan. Tanpa pikir panjang, Kinanti memeluk Reza yang masih terengah. "Selamat! Kalian hebat!"
Reza membalas pelukan itu, berbisik pelan, "Ini semua berkat dukunganmu."
Mereka berpandangan sejenak, ada sesuatu yang tak terucap di mata Reza. Tapi moment itu pecah saat Arya mendekat untuk memberi selamat.
Setelah penyerahan trophy dan foto bersama, mereka berkumpul di kafetaria kampus. Reza dan Dimas masih mengenakan jersey basket mereka, medali emas berkilau di leher.
"Jadi," Arya mengeluarkan map dari tasnya, "tentang artikel yang kutemukan..."
Dia membentangkan beberapa kliping koran di meja. Artikel-artikel kuliner dari tahun 1965, ditulis oleh nama-nama yang familiar dari buku resep misterius.
"Bambang Hartono?" Kinanti membaca nama wartawan di salah satu artikel. "Bukankah ini nama yang ada di resep Sup Jagung?"
"Tepat!" Arya mengangguk antusias. "Dan lihat tanggalnya – sama dengan kode di buku resep!"
Reza, meski masih lelah, mendekat untuk melihat. Profesionalismenya mengalahkan perasaan pribadi. "Mereka menggunakan artikel kuliner sebagai kedok?"
"Cerdik sekali," komentar Dimas. "Siapa yang akan curiga dengan berita tentang makanan?"
Mereka larut dalam diskusi, mencoba mencocokkan artikel dengan resep-resep di buku. Tapi Kinanti bisa merasakan ada yang mengganjal. Reza seperti ingin mengatakan sesuatu, tapi selalu mengurungkan niatnya setiap kali Arya bicara.
Malam semakin larut. Saat membereskan barang-barang, Kinanti menemukan secarik kertas di tasnya
"Tidak semua yang terlihat jelas bisa dipercaya. Hati-hati dengan pilihan hatimu. -K"
Kinanti tertegun. Apakah ini tentang misteri Kartika... atau tentang hal lain?
"Kinanti," Reza menghampirinya saat yang lain sudah beranjak pulang. "Yang ingin kukatakan kemarin..."
Tapi lagi-lagi, Arya muncul. "Hey, sudah mau pulang? Kuantar ya?"
Reza mengertakkan gigi pelan, tangannya terkepal. "Sampai besok, Kinanti."
Malam itu, dalam perjalanan pulang, Kinanti terus memikirkan ekspresi Reza. Ada sesuatu yang ingin dia katakan, sesuatu yang mungkin penting. Tapi seperti misteri Kartika, beberapa hal memang butuh waktu untuk terungkap.
Di tasnya, radio pemberian Pak Bambang berbunyi pelan:
"... -- ... / -.-. --- -.. . / .-. . ... . .--. / -. --- -- --- .-. / .---- --..."
Satu misteri belum terpecahkan, dan misteri lain mulai bermunculan. Termasuk misteri di hatinya sendiri.