"Ganti rugi 80 juta atau menikah dengan saya?"
Kristal Velicia, gadis yatim piatu dengan paras yang sangat cantik. Menjadi penyebab kecelakaan sebuah mobil mewah.
Gadis itu di tuntut ganti rugi atau menikah dengan pemilik mobil tersebut.
Pria tampan bersifat dingin bersama gadis cantik dan ceria.
Bagaimanakah nasib pernikahan mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vgflia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 22
Kristal menatap pintu masuk mansion di depannya dengan datar. Saat di perjalanan pulang ia mendapat telepon dari kakek untuk mampir sebentar ke mansion utama.
Menghela nafas kasar Kristal menaiki tangga mansion dengan malas. Sejujurnya ia enggan datang ke sini, bukan karena tidak mau bertemu dengan kakek, tapi ia tidak suka bertemu dengan tiga monyet yang tinggal di sini. Ya, tiga monyet, mulai sekarang itu adalah nama panggilan dari Kristal untuk ketiga kaka beradik itu.
Mobil sport merah menyala berhenti tepat di depan mansion, Kristal menoleh dengan rasa penasaran. Matanya tertuju pada mobil itu dengan intens. Pintu mobil terbuka, seorang pria keluar mengenakan kacamata hitam dan Jas kulit coklat yang menempel di badannya. Kristal merotasikan matanya, tak percaya bahwa salah satu orang yang baru saja dia pikirkan sudah berdiri di hadapannya.
"Oh? Hai, Kakak ipar." Gavin membuka kacamatanya, mengedipkan sebelah matanya menggoda Kristal.
Kristal berbalik melangkah masuk ke dalam mansion, tak ingin menghiraukan orang gila itu.
Kekehan keluar dari mulut Gavin, "Wah, judes sekali dia."
...•••...
"Sial, lepaskan aku! Jangan karena kau punya banyak uang kau seenaknya memperlakukan orang sesuka hati, bedebah!" suaranya menggema di ruangan kecil nan pengap itu. Udara sekitar kian menipis membuat suasana mencekam dengan lampu kuning remang.
Kay menyorotinya dengan mimik datar, manik obsidiannya menatap remeh sosok yang berjongkok di lantai dengan tangan dan kaki yang terikat.
Hening sesaat sebelum Kay akhirnya membuka suara. "Anda sendiri sudah tahu miskin masih berbuat sesuka hati. Berlagak dengan tampang tak seberapa itu," suaranya serak nan berat, mendominasi seisi ruangan.
Sisi lain dari pria itu keluar. Leo diam, berdiri tegak di samping Kay dengan kedua tangannya yang menyatu di depan. Diam-diam ia lirik wajah pria itu dari samping, tanpa ekspresi, namun sorotnya tajam menghunus lelaki yang di tangkap oleh orang suruhannya. Leo menyipitkan matanya melihat ekspresi Kay. Sepertinya lelaki ini akan punya nasib buruk. Tatapan Kay padanya sama seperti saat pria itu menginterogasi mantan direktur keuangan yang pernah menggelapkan dana proyek.
Lelaki itu tertawa kencang, suaranya menggema di ruangan itu. "Setidaknya dengan wajahku ini aku bisa membuat Kristal tergila-gila padaku selama bertahun-tahun." Vano mengubah raut wajahnya, "Tidak seperti mu yang datang membuai gadis itu dengan uang dan... kaki lumpuh mu itu. Ah, apa kau bisa memuaskannya di ranjang dengan tubuh lemah itu? Jika tidak, aku bisa dengan senang hati memuaskan istrimu." Vano menyeringai, membuang ludahnya sambil menatap remeh Kay.
Perlahan, sudut bibir Kay tertarik ke samping. Leo menunduk. Kay mengambil sebungkus rokok di meja, mengeluarkan sebatang rokok lalu ia nyalakan dengan korek yang diberikan oleh asistennya. Ia apit rokok itu dengan kedua jarinya, menyesapnya sembari memajukan badannya. pria itu hembuskan asap rokoknya tepat pada wajah vano, membuat sang korban terbatuk-batuk.
Sambil memainkan sebatang rokok di jarinya, Kay menelisik wajah merah Vano dengan tajam. "Jika membahas tentang istriku, aku memang tidak menyukainya. Dia cerewet, ceroboh, dan suka membuat malu. Meskipun begitu, gadis sepertinya tidak pantas di tiduri oleh lelaki sepertimu. Kau tahu kenapa?" Kay menjeda ucapannya, kembali bersandar di sofa sembari menyesap rokoknya, dan di hembuskan ke udara. "Karena gadis perawan tidak cocok bersanding dengan gigolo sepertimu."
Kay tersenyum ke arah Vano, tapi malah terlihat seperti ejekan bagi lelaki itu. Seperti yang sudah Kay perintahkan pada asistennya, tepat malam itu juga Leo mencari tahu semua latar belakang pegawai Paman Wiliam, tapi ia lebih memprioritaskan informasi tentang Vano.
Seperti yang kita tahu, uang adalah segalanya. Dengan mengandalkan uang dan koneksi Leo berhasil mengetahui semua informasi tentang lelaki itu. Vano Abinaya, lelaki kelahiran 1999 itu pernah bekerja sebagai gigolo di umurnya yang masih 20 tahun, sebelum akhirnya ia berhenti dan bekerja di cafe Brew&Bliss milik paman Wiliam. Lelaki itu di tendang dari bar karena tidak kuat minum dan tidak bisa merokok, ia hanya berguna ketika berada di ranjang tidak jika di depan meja judi.
Kotor, satu kalimat yang terlintas di benak Kay saat membaca data Vano. Sekelas Kay yang bahkan enggan di sentuh wanita memang pantas jika mengatakan lelaki itu kotor.
Vano mengeraskan rahangnya, ia tatap Kay dengan tajam seolah tak takut pada pria itu. "Siapapun aku setidaknya dia lebih menyukaiku dari pada pria cacat seperti mu. Biarlah dia bersenang-senang denganmu, setelah uangmu habis gadis itu akan meninggalkan mu dan kembali padaku," ucapnya dengan lantang.
Kay mengangkat sebelah alisnya, menyeringai. Lelaki ingusan di depannya ini benar-benar sedang melantur. Menyesap rokok untuk terakhir kalinya, ia hembuskan gumpalan asap itu ke atas. "Setelah hampir memperkosa istriku kau masih berkhayal rupanya. Katakan padaku gadis gila mana yang akan kembali pada pria miskin setelah menikmati kehidupan mewah. Tidak ada, dan tidak akan pernah ada." Kay kembali memajukan tubuhnya mendekati vano yang berlutut di depannya. "Jadi, berhentilah berharap."
Teriakan Vano menggema, lelaki itu berteriak histeris saat Kay mencolok sebelah matanya dengan sisa puntung rokoknya yang masih menyala. Tanpa ekspresi Kay semakin mendorong puntung rokok itu membakar pupil mata lelaki itu. Leo memalingkan wajahnya, tak ingin melihat pemandangan mengerikan yang ada di depan. Pria berambut coklat itu diam dari tadi, tidak ingin membuka suara karena yang berada di sampingnya sekarang adalah Kay Lysander, bukan Presdir Eclipse. Kay, pria itu seperti koala, diam jika tidak di usik.
Kay membuang puntung rokoknya ke sembarangan arah, melipat kedua tangannya sembari menilik Vano yang masih berteriak kesakitan. "Leo," ujarnya tanpa menoleh.
Leo mengangguk, melangkah membuka pintu ruangan. Empat bodyguard berbadan besar masuk ke dalam, berbaris dengan rapi kemudian menunduk sekilas kepada Kay sebagai salam.
Kay menoleh melirik empat bodyguard itu sambil menarik sudut bibirnya, ia kembali memandang Vano. "Karena malam itu kau tidak sempat memenuhi hasratmu pasa istriku, jadi aku berbaik hati menyediakan empat orang untuk memuaskanmu, sampai kau tidak akan pernah berpikir untuk menyentuh milik orang lain lagi." Pria itu memberi kode dengan satu jarinya pada para bodyguard.
Melihat kode dari bosnya, mereka semua maju ke arah Vano, membuat lelaki itu menegang ketakutan. "A-apa yang mau kalian lakukan. Pergi! Jangan menyentuhku! Sialan, lepaskan aku!"
"Lakukan di hadapanku." Kay tersenyum lebar. Ah, ini benar-benar menyenangkan. "Tenggorokan ku kering, ambilkan aku wine pemberian Paman Wiliam. Akan menyenangkan menonton sambil minum wine hadiah pernikahanku."
Leo mengangguk, berjalan keluar ruangan mengambil wine pemberian Paman Wiliam yang ada di kantor Presdir. Tak berselang lama Leo kembali membawa sebotol wine yang sudah di fermentasi puluhan tahun dengan dua gelas di tangan satunya.
"Aku tidak menyangka kau mau menyaksikan hal menjijikan seperti ini." Leo duduk di samping Kay sembari membuka wine dan menuangkannya ke gelas.
Kay menerima gelas berisi wine yang di berikan Leo. "Bulu kudukku berdiri melihat kejadian kotor ini, tapi saat melihat wajahnya hatiku cukup senang." Tangan kekar dan beruratnya menggoyangkan gelas berisi wine itu sebelum ia teguk dengan senang.
Leo mendengus, baiklah sepertinya ia harus menjaga jarak dengan istri sahabatnya itu jika tidak ingin menjadi seperti Vano.
"Kau tidak ingin bergabung?" Tawar Kay sambil menoleh ke arah Leo yang sedang meneguk wine nya. Pria itu tersedak, menaruh gelas winenya dan mengambil tissue menyeka mulutnya. Kay terkekeh geli kemudian kembali menatap ke depan. Di sana, tak jauh darinya Vano sedang di di gilir oleh mereka.
"Sialan, tawaran macam apa itu? Aku ini masih normal!"
Kay tidak menjawab, ia teguk sisa winenya dan melemparnya ke dinding. Pecah dan berhamburan gelas kaca itu, menghentikan aktivitas mereka dan menoleh ke arah Kay. Para bodyguard membeku, berpikir apakah mereka melakukan kesalahan.
"Apa hanya seperti itu kekuatan fisik kalian?"
Vano mengepal kedua tangannya. "S-sialan kau! Bajingan, mati kau! Aku kutuk kau bedebah—akhh nghh. AKHHHH berhenti brengsek!"
Kay terkekeh sambil memasukkan ponselnya setelah membalas sebuah pesan. "Kau hanya orang luar, tidak punya hak untuk mengutukku. Dari pada berteriak simpan baik-baik tenagamu karena kau akan menjadi pemuas mereka berempat mulai sekarang." Leo mendorong kursi roda Kay keluar saat pria itu sudah berpindah tempat duduk beberapa saat yang lalu.
Mereka keluar, pergi meninggalkan ruangan pengap yang di penuhi desahan menjijikan itu.