Xavier, dokter obgyn yang dingin, dan Luna, pelukis dengan sifat cerianya. Terjebak dalam hubungan sahabat dengan kesepakatan tanpa ikatan. Namun, ketika batas-batas itu mulai memudar, keduanya harus menghadapi pertanyaan besar: apakah mereka akan tetap nyaman dalam zona abu-abu atau berani melangkah ke arah yang penuh risiko?
Tinggal dibawah atap yang sama, keduanya tak punya batasan dalam segala hal. Bagi Xavier, Luna adalah tempat untuk dia pulang. Lalu, sampai kapan Xavier bisa menyembunyikan hubungan persahabatannya yang tak wajar dari kekasihnya, Zora!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayu Lestary, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18 : Between Us
Xavier menembus kerumunan, langkahnya tegas dan tanpa ragu.
Tak ada lagi senyum basa-basi, tak ada lagi tatapan ramah.
Saat akhirnya ia tiba di dekat Luna, ia langsung meraih pergelangan tangan gadis itu — gerakan yang cukup lembut untuk tidak menarik perhatian semua orang, tapi cukup kuat untuk membuat Luna tertegun.
"Luna," suaranya rendah, nyaris geram, "ikut aku sebentar."
Luna mengerjap bingung, menoleh pada Vincent yang ikut terdiam, lalu kembali pada Xavier yang sorot matanya jauh lebih tajam daripada biasanya.
"Ada apa—"
Belum sempat Luna menyelesaikan kalimatnya, Xavier sudah menariknya dengan mantap ke arah pintu balkon.
Vincent sempat membuka mulut, hendak menahan, tapi Luna memberikan isyarat halus, meyakinkannya bahwa ia baik-baik saja.
Pintu balkon tertutup di belakang mereka, menyisakan hanya angin malam dan ketegangan di antara dua tubuh yang kini berdiri saling berhadapan.
"Xavier," Luna membuka suara lebih dulu, mencoba mengurai kekakuan di udara, "kenapa kau tiba-tiba—"
"Kau menikmatinya?" potong Xavier tajam. "Berada di dekat pria itu?"
Luna membelalak, tercengang melihat betapa dingin dan tajam tatapan Xavier saat ini.
"Apa maksudmu?" Luna mengangkat dagunya, mencoba menjaga harga dirinya. "Vincent teman lama. Apa salahnya berbincang dengannya?"
Xavier mendekat satu langkah, menekan jarak di antara mereka.
"Teman?" Xavier menyeringai tipis, getir, nyaris tak terdengar. "Karena temanmu itu, kau jadi mengabaikanku?"
Suaranya rendah, terkontrol, tapi penuh tekanan halus.
Luna menahan napas, terkejut oleh nada itu. Ia membuka mulut, tapi sebelum sempat menjawab, Xavier sudah melanjutkan.
"Ingat, Luna," ujarnya, mencondongkan tubuh sedikit mendekat, sorot matanya menusuk, "kau yang memintaku untuk datang."
"Xav..." Luna menarik napas dalam. "Aku tidak mengabaikanmu. Aku hanya... ingin kau punya kesempatan untuk mengobrol dengan Zora. Kau tahu, aku—"
"Aku tahu," potong Xavier, suaranya tajam namun terkendali. "Kau ingin semua orang mengikuti kemauanmu. Bahkan kalau itu artinya kau harus memaksakan sesuatu."
Ia menatap Luna lama, terlalu lama, hingga Luna harus mengalihkan pandangan.
"Aku tidak butuh orang lain, Luna," gumam Xavier akhirnya, nyaris seperti bisikan di tengah angin malam. "Aku butuh..." Ia menghentikan kalimatnya, menelan kata-kata itu sebelum sempat terucap.
Butuh apa? Butuh Luna?
Tidak.
Itu melanggar komitmen mereka.
Itu akan menghancurkan segalanya.
Xavier mengatupkan rahangnya, memaksa dirinya menarik diri. Ia melangkah mundur, menjaga jarak.
"Lupakan," katanya dengan suara lebih datar. "Aku berlebihan."
"Xav—" Luna bergerak ingin meraih pergelangan tangannya, tapi pria itu sudah melangkah pergi, kembali ke dalam ruangan, menyisakan Luna yang berdiri membeku di balkon.
Dari jauh, Vincent melihat Luna yang tampak linglung dan segera menghampirinya.
Xavier menarik napas dalam, menahan gejolak yang membakar dadanya.
Dengan langkah tenang yang dipaksakan, ia berjalan menuju Zora, yang berdiri sendirian di dekat meja minuman.
Tanpa banyak berpikir, Xavier melingkarkan lengannya ke pinggang gadis itu, sebuah gerakan yang membuat Zora menoleh, sedikit terkejut, lalu tersenyum manis.
"Bukankah ini yang kau inginkan, Luna?" pikir Xavier pahit, bahkan saat ia tersenyum tipis pada Zora.
"Xavier ..." sapa Zora dengan suara lembut, matanya berbinar karena akhirnya Xavier kembali menghampirinya.
Xavier mengangguk kecil. "Kau menikmati acara ini?"
"Yeah, sangat. Terutama karena kau di sini."
Zora meremas lembut lengan Xavier, mengandalkan keintiman kecil yang mulai mereka bangun kembali.
Xavier menahan dirinya untuk tidak menoleh ke arah balkon, tempat Luna berada.
Ia memaksa dirinya fokus pada Zora, berbasa-basi, tersenyum, bercanda ringan—semua terlihat sempurna di mata orang lain.
Namun di dalam dirinya, semuanya terasa kosong. Hampa.
Acara perlahan-lahan berakhir. Para tamu mulai meninggalkan ruangan, membawa serta gelas-gelas wine kosong dan obrolan ringan.
Luna berjalan ke luar, menapaki koridor galeri yang diterangi cahaya temaram.
Ia butuh udara.
Di baliknya, suara langkah kaki terdengar. Berat. Mantap.
"Luna," panggil sebuah suara.
Luna menoleh, dan mendapati Xavier berjalan ke arahnya.
Masih dalam setelan rapi, namun wajahnya tampak lebih keras, lebih gelap dibanding saat ia berbicara di acara tadi.
"Xavier," sapanya singkat, mencoba tersenyum.
Bersikap biasa saja. Itu kuncinya.
"Kau bahkan tidak berpamitan," kata Xavier, langkahnya mendekat, menyisakan jarak hanya beberapa jengkal di antara mereka.
"Aku pikir, kau cukup sibuk," balas Luna, nada suaranya datar.
Mereka saling tatap. Lama. Hening.
"Terima kasih," ujar Luna akhirnya, menunduk sekilas. "Karena sudah datang." Lanjutnya.
"Teman yang baik harus mendukung, bukan?" kata Xavier, suaranya serak, nyaris terdengar getir.
"Ya," Luna mengangguk cepat.
Xavier menyeringai tipis, tetapi bukan karena bahagia. Senyuman itu penuh luka yang tak diungkapkan.
"Ayo kita pulang," suara berat Xavier terdengar.
Sebelum Luna sempat menjawab, Xavier sudah meraih pergelangan tangannya dengan lembut namun tegas.
Tanpa banyak kata, ia membimbing Luna melewati kerumunan kecil tamu yang tersisa, menuju mobil hitamnya yang terparkir di seberang jalan.
Xavier membukakan pintu untuk Luna, lalu berjalan memutar ke sisi pengemudi.
Begitu keduanya masuk dan pintu tertutup, suasana di dalam mobil terasa menegang.
Tak ada yang bicara selama beberapa menit pertama.
Hanya suara mesin dan desiran AC yang terdengar.
Xavier menatap jalan di depan, jarinya mengetuk-ngetuk setir dengan ritme pelan.
"Aku ingin memastikan satu hal," ucap Xavier akhirnya, nadanya datar tapi dalam. "Tujuanmu mengundangku malam ini... hanya untuk mempertemukanku dengan Zora, kan?"
Luna menggenggam jemarinya di pangkuan, menahan gelisah yang mulai merayap.
Ia menarik napas perlahan, menatap ke arah jendela sebelum berani membalas, "Aku hanya sedikit berusaha, memperbaiki hubunganmu dengan Zora."
Xavier tertawa pendek, sarkastik.
Nada tawanya membuat dada Luna terasa sesak.
"Jadi, aku hanya bagian dari rencana kecilmu?"
Ada sedikit kemarahan tersembunyi di balik suara dinginnya.
Luna menggigit bibir bawahnya, tak tahu harus berkata apa. Ia tidak menyangka jika rencananya justru membuat Xavier marah.
"Maaf kalau caraku salah," ucap Luna pelan.
"Tidak apa-apa," gumam Xavier, suaranya datar namun mengandung sesuatu yang tak terucapkan. "Tapi alangkah baiknya kalau kau beritahu aku lebih dulu, jadi aku tidak terlalu terkejut."
Luna menunduk sedikit, merasa bersalah. "Jika aku beritahu... apa kau tetap akan datang?"
Xavier menoleh sebentar, hanya sekilas.
"Tentu saja," jawabnya pelan namun tegas. "Apa aku pernah menolak permintaanmu, Luna?"
Luna menghela napas lega, tanpa sadar tersenyum kecil. Ia tidak menangkap makna tersembunyi dari kata-kata Xavier, yang terasa lebih dalam daripada sekadar janji biasa.
"Syukurlah..." bisik Luna, suaranya nyaris tenggelam dalam dengung mesin mobil. Ia memalingkan wajah, menatap Xavier yang kembali fokus menatap jalanan malam.
Sejenak hening menyelimuti mereka, sebelum akhirnya Luna memberanikan diri membuka topik lain.
"Jadi," katanya hati-hati, "apa ada kemungkinan hubunganmu dan Zora bisa diperbaiki?" Ia mencoba terdengar ringan, seolah itu hal biasa. "Kau tahu... sepertinya dia masih sangat menyukaimu."
Xavier menghela napas perlahan, sebuah tarikan panjang yang terdengar berat. Ia tersenyum—senyum getir yang lebih mirip luka terbuka daripada kehangatan.
"Jadi, kau ingin aku kembali bersama Zora?" tanyanya lirih, namun penuh tekanan.
"Aku..." Luna menggigit bibir bawahnya, mencari kata-kata. "Aku hanya berpikir... kadang, masa lalu bisa dimaafkan. Bukankah semua orang pantas mendapatkan kesempatan kedua?"
Xavier tertawa pendek, penuh ironi.
"Apa kau tahu, Luna," suaranya rendah, nyaris seperti bisikan yang menggores telinga, "apa yang sebenarnya terjadi di masa lalu hingga hubungan kami berakhir?"
Luna menatapnya, ragu. "Aku tidak tahu," jawabnya jujur. "Kau tidak pernah bercerita."
Xavier mengangguk pelan, seperti sudah menduga.
"Zora mengkhianatiku," katanya akhirnya. "Dengan sahabatku sendiri."
To Be Continued >>>