Seorang mafia kejam yang menguasai Italia bertemu dengan seorang wanita yang memiliki sisi gelap serupa dengannya. Mereka saling terobsesi dalam permainan mematikan yang penuh gairah, kekerasan, dan pengkhianatan. Namun, di antara hubungan berbahaya mereka, muncul pertanyaan: siapa yang benar-benar mengendalikan siapa?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ricca Rosmalinda26, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
06 Malam Terakhir Gianluca
Gianluca mengira dia sedang mengalami malam terbaik dalam hidupnya.
Dia tidak sadar, ini justru malam terakhirnya.
Di sebuah kamar pribadi di bagian atas villa, Gianluca duduk di sofa mewah dengan segelas anggur di tangannya. Dia menatap Valeria dengan penuh nafsu, seolah dialah yang mengendalikan situasi.
Valeria berjalan perlahan ke arahnya, masih mengenakan gaun merahnya yang elegan. Ia mengambil gelas anggur dari tangan Gianluca, menyesapnya sedikit, lalu duduk di pangkuannya.
“Aku tidak menyangka akan menghabiskan malamku dengan pria seperti Gianluca,” bisik Valeria di telinganya, jarinya menelusuri garis rahangnya.
Gianluca tertawa kecil, tangannya mulai menyentuh pinggang Valeria. “Dan aku tidak menyangka akan bertemu wanita seindah kau malam ini.”
Valeria tersenyum, tapi senyum itu tidak sampai ke matanya.
Dia mencondongkan tubuhnya, membiarkan bibirnya nyaris menyentuh leher Gianluca. Napas pria itu menjadi tidak beraturan, pikirannya sepenuhnya dikuasai oleh keinginan.
Kesalahan besar.
Dalam satu gerakan cepat, Valeria mengeluarkan pisau kecil dari balik gaunnya dan menekannya ke leher Gianluca.
Pria itu langsung membeku.
“Shhh…” Valeria berbisik di telinganya, bibirnya melengkung membentuk senyuman sadis. “Jangan bergerak. Aku belum ingin kau mati… belum.”
Gianluca menelan ludah, tubuhnya mulai gemetar. “A-apa yang kau lakukan?”
Valeria tidak menjawab. Dengan gerakan santai, dia merobek dasi dan kemeja Gianluca, membiarkan dadanya terekspos. Mata Valeria berbinar penuh kegembiraan saat melihat ketakutan di mata pria itu.
“Aku suka melihat pria seperti kau ketakutan,” gumamnya. “Sombong, penuh percaya diri… lalu berubah menjadi tikus kecil yang memohon untuk hidup.”
“Valeria, dengarkan aku—”
“Sstt… Kau tahu apa yang paling menarik dari kematian?” Valeria mengabaikan ucapannya dan mulai menggambar garis tipis di dada Gianluca dengan pisaunya, cukup untuk meninggalkan goresan merah tanpa langsung membunuhnya.
Gianluca tersentak, menggeram kesakitan.
“Bukan bagaimana seseorang mati,” lanjut Valeria, matanya berbinar seperti anak kecil yang menemukan mainan baru. “Tapi bagaimana mereka bereaksi terhadap kematiannya.”
Gianluca mencoba meronta, tapi Valeria langsung menekan pisaunya lebih keras.
“Aku punya dua pilihan untukmu,” katanya santai. “Pilihan pertama, aku bisa memb*nuhmu dengan cepat, tanpa rasa sakit.”
Valeria berhenti sejenak, membiarkan harapan muncul di mata Gianluca.
“Kedua…” Senyumnya semakin melebar. “Aku bisa bersenang-senang denganmu dulu sebelum kau mati.”
Gianluca terengah-engah, keringat dingin membasahi dahinya. “Aku bisa membayarmu lebih… aku punya uang, aku—”
Valeria tertawa kecil. “Aku tidak butuh uangmu.”
Dalam satu gerakan cepat, dia men*sukkan pisaunya ke bahu Gianluca.
Pria itu menjerit, tubuhnya menegang kesakitan.
Valeria hanya menatapnya dengan tatapan penuh kegembiraan. Dia menikmati ini.
“Dante ingin kau menderita,” katanya sambil memutar pisaunya perlahan, membuat darah mengalir lebih deras. “Dan aku ingin melihat bagaimana kau menangis untuk hidupmu.”
Air mata Gianluca mulai mengalir, tubuhnya bergetar. “T-tolong…”
Valeria memiringkan kepalanya, menatapnya dengan ekspresi penuh minat. “Sudah memohon? Secepat ini?”
Dengan santai, dia mencabut pisaunya, membiarkan darah membasahi sofa mahal di bawah mereka.
“Sayang sekali,” gumamnya. “Aku masih ingin bermain lebih lama.”
—
Satu jam kemudian.
Saat Valeria akhirnya berdiri dari sofa, Gianluca sudah tidak bisa bicara lagi. Tubuhnya penuh luka, napasnya lemah, dan matanya penuh air mata serta teror.
Valeria menghela napas. “Kau tidak semenyenangkan yang aku harapkan.”
Dia mengangkat pisaunya sekali lagi, kali ini mengarahkannya tepat ke jantung Gianluca.
“Tapi setidaknya aku bersenang-senang.”
DOR!
Satu tembakan senapan peredam menghantam kepala Gianluca, mengakhiri penderitaannya seketika.