Bukan Sekedar Teman Ranjang

Bukan Sekedar Teman Ranjang

Bab 1 : Between Us

Malam itu, apartemen 5B penuh dengan aroma pasta krim jamur yang baru selesai dimasak oleh Luna. Gadis itu berdiri di dapur dengan celemek bergambar kucing berwajah lucu, menggoyangkan pinggulnya mengikuti irama lagu pop ceria yang keluar dari speaker kecil di sudut meja. Sementara itu, Xavier duduk di sofa ruang tamu, mengamati layar laptopnya dengan alis yang sedikit berkerut. Dia mengenakan pakaian santainya, kaus hitam polos dan celana jogger abu-abu, penampilan yang sama sekali tidak mencerminkan aura profesional seorang dokter obgyn.

“Hei, Dok! Jangan terlalu serius, makanannya sudah siap,” seru Luna, sambil melepas celemeknya dan membawa dua piring penuh pasta ke meja makan.

Xavier mendongak, menatap Luna dengan ekspresi datar yang sudah menjadi ciri khasnya.

“Aku sedang memeriksa hasil penelitian baru. Penting.”

“Penting mana, penelitian atau aku?”

Luna bertanya dengan nada menggoda, menarik kursi dan duduk di seberangnya. Dia tahu Xavier tidak akan menjawab, dan itu membuatnya semakin gemas.

Tanpa membalas, Xavier menutup laptopnya dan berpindah ke meja makan. Dia mengambil garpu dan mulai menyantap pasta tanpa komentar. Tapi Luna sudah hafal tanda-tanda kecil Xavier. Gerakan garpunya yang tidak terburu-buru dan ekspresi netral itu artinya dia menikmati makanannya.

“Kau tahu, kau harus mulai belajar memberi pujian, Dok. Minimal bilang, ‘Ini enak sekali, Luna,’ atau, ‘Terima kasih sudah memasak untukku,’”

Luna mengomel sambil menirukan suara berat Xavier dengan lebay.

Xavier hanya mendengus.

“Kau tidak butuh validasi dariku.”

Luna mengangkat alisnya.

“Kau benar. Tapi aku tetap mau mendengarnya. Ayo, katakan sesuatu yang manis sebelum aku melempar garpu ini ke arahmu.”

Xavier menghela napas panjang, seperti seseorang yang diminta melakukan hal yang sangat berat. Dia menatap Luna dengan wajah serius, lalu berkata dengan nada datar, “Ini enak sekali, Luna. Terima kasih sudah memasak untukku.”

Luna meletakkan tangan di dadanya, pura-pura terharu.

“Oh, akhirnya! Aku bisa tidur nyenyak malam ini.”

Setelah makan malam selesai, mereka berdua berpindah ke sofa. Luna membawa semangkuk besar popcorn, sementara Xavier membawa segelas wine. Mereka sudah sepakat untuk menonton film komedi romantis pilihan Luna malam itu, meskipun Xavier jelas lebih suka dokumenter medis.

“Kenapa kita harus menonton ini?”

Xavier bertanya dengan nada skeptis saat film dimulai.

“Karena kau butuh hiburan, Dok. Hidupmu terlalu serius. Kau butuh sesuatu yang ringan, lucu, dan penuh cinta,” jawab Luna sambil menyelipkan popcorn ke mulutnya. Dia menyandarkan tubuh ke bantal sofa dan melirik Xavier yang duduk tegap dengan sikap kaku.

Beberapa menit berlalu, dan Luna mulai tertawa keras. Xavier, di sisi lain, hanya menatap layar dengan ekspresi kosong. Tapi ketika Luna melihat sudut bibir Xavier sedikit terangkat, dia berseru, “Aku lihat itu! Kau tersenyum!”

Xavier langsung menghilangkan senyumnya dan menatap Luna dengan tatapan datar.

“Tidak ada.”

“Oh, ada. Aku bahkan siap merekamnya kalau kau tersenyum lagi.”

Luna mengeluarkan ponselnya, pura-pura siap mengambil video.

“Luna, berhenti,” Xavier memperingatkan dengan nada rendah, tapi Luna malah mendekatkan ponsel ke wajahnya. “Serius. Aku tidak main-main.”

“Aku juga tidak main-main. Tersenyumlah lagi untuk kamera ini, Dok. Kau bisa menjadi model iklan pasta gigi!”

Luna tertawa terbahak-bahak, tetapi tawanya terhenti ketika Xavier tiba-tiba menarik ponselnya dan menyembunyikannya di belakang punggung.

“Kembalikan!”

Luna berteriak sambil mencoba meraih ponselnya. Mereka saling tarik-menarik, dan entah bagaimana, Luna kehilangan keseimbangan dan jatuh tepat di atas Xavier.

“Luna,” Xavier menggeram pelan, menatapnya dengan ekspresi setengah lelah, setengah geli.

Namun, bukannya meminta maaf atau merasa canggung, Luna malah terkikik dan berkata, “Kalau aku menindihmu lebih lama, kau kira tulangmu bisa patah?”

Xavier hanya menggeleng pelan.

“Kalau kau terus bicara, aku mungkin benar-benar akan melemparmu.”

“Coba saja kalau bisa.” Luna mendorong dirinya bangun, masih tertawa kecil. Xavier hanya menghela napas dan mengambil kembali gelas wine-nya, sementara Luna kembali ke posisi semula dengan sikap santai, seperti tidak ada yang terjadi. Bagi mereka, ini adalah malam biasa di apartemen—tanpa batasan, tanpa kecanggungan.

Jam dinding menunjukkan hampir tengah malam, tetapi apartemen mereka tetap hangat dengan suara tawa dan obrolan ringan. Film sudah selesai diputar sejak lima belas menit lalu, tapi Xavier dan Luna masih berada di sofa, terjebak dalam percakapan santai yang lebih menghibur daripada cerita film tadi.

“Kau ingat waktu aku mencoba memasak steak untuk makan malam pertama kita?”

Luna mulai, dengan senyum lebar di wajahnya.

Xavier meneguk sisa wine di gelasnya sebelum menjawab, “Kau hampir membakar dapur.”

“Itu bukan salahku! Kompor itu punya nyala api yang terlalu besar,” balas Luna, pura-pura membela diri.

“Salahmu karena tidak tahu cara mengatur apinya.”

Xavier membalas dengan nada setengah menggoda, membuat Luna mendengus frustrasi.

“Kau tahu, Dok, kadang aku heran kenapa aku tahan tinggal serumah denganmu,” ujar Luna, menatap Xavier dengan ekspresi pura-pura serius.

Xavier hanya mengangkat bahu.

“Karena aku menyeimbangkan kekacauanmu.”

“Ya, mungkin juga karena kau yang bayar sewa apartemen ini separuh lebih besar,” Luna menambahkan dengan nada canda. Xavier tersenyum tipis, tetapi tidak membantah.

Mereka melanjutkan obrolan kecil itu hingga suasana menjadi lebih tenang. Luna akhirnya mengangkat tubuhnya dari sofa, berjalan ke dapur untuk menuangkan segelas air putih. Saat dia kembali, Xavier sudah bersandar lebih santai, matanya sedikit memejam seperti orang yang hampir tertidur.

“Kau lelah, Dok?” tanya Luna sambil duduk di ujung sofa, membiarkan kaki-kakinya melipat di atas bantal.

“Sedikit,” jawab Xavier singkat. Dia membuka matanya sebentar, menatap Luna yang masih tampak penuh energi. “Kau sendiri? Tidak berniat tidur?”

“Belum,” Luna menjawab, meneguk airnya. “Aku masih ingin mengganggumu sedikit lagi.”

Xavier hanya menutup matanya lagi, memberikan sinyal bahwa dia tidak keberatan. Bagi mereka, momen seperti ini sudah menjadi kebiasaan. Sebuah hubungan yang unik di mana tidak ada batasan—mereka bisa bercanda, bertengkar kecil, atau bahkan menjadi lebih intim tanpa harus mempertanyakan apa artinya semua itu. Di dunia mereka, segalanya terjadi dengan cara alami, tanpa beban.

Ketika malam semakin larut, percakapan mereka mereda. Namun, koneksi antara Xavier dan Luna tidak pernah benar-benar menghilang. Seperti dua sahabat yang berbagi rahasia, mereka menikmati keheningan dengan caranya masing-masing—tanpa perlu banyak bicara. Bagi mereka, malam ini hanyalah satu dari banyak malam lain yang akan mereka habiskan bersama, dalam hubungan yang entah sampai kapan akan tetap berada di batas tipis antara persahabatan dan sesuatu yang lebih.

To Be Continued>>>

Terpopuler

Comments

Melda

Melda

awal yang seru

2025-05-03

0

Nengsih Irawati

Nengsih Irawati

menyimak

2025-05-02

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!