NovelToon NovelToon
Tempus Amoris

Tempus Amoris

Status: sedang berlangsung
Genre:Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Cinta pada Pandangan Pertama / Cinta Seiring Waktu / Keluarga / KDRT (Kekerasan dalam rumah tangga)
Popularitas:4.8k
Nilai: 5
Nama Author: Uppa24

realita kehidupan seorang gadis yang dari kecil cacat akan kasih sayang yang sebenarnya

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Uppa24, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

luka apa yang ia pendam?

Aluna berbalik dan membenamkan wajahnya di dada Elvanzo. Tangisnya pecah, meledak tanpa ia tahan lagi. Isakan yang terpendam selama ini akhirnya menemukan jalan keluar, bercampur dengan rasa lega dan kelelahan yang lama ia simpan sendiri.

Elvanzo memejamkan mata, satu tangannya membelai lembut kepala Aluna, mencoba menenangkan setiap rasa sakit yang mungkin sedang ia rasakan. Ia tidak berkata apa-apa lagi, hanya berdiri tegak, menjadi sandaran yang kokoh di tengah badai yang sedang mengguncang gadis itu.

“Aku lelah…” suara Aluna lirih, nyaris tak terdengar di sela isakannya.

“Aku tahu,” bisik Elvanzo, suaranya lembut seperti angin senja. "Kau tidak harus kuat sendirian lagi."

Dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang terasa seperti keabadian, Aluna membiarkan dirinya sepenuhnya rapuh—di hadapan seseorang yang bersedia berada di sana untuknya, apa pun yang terjadi.

~||~

Entah berapa lama Aluna menangis dalam diam, tanpa suara, hanya sesekali terdengar isakan tertahan di dadanya. Elvanzo tetap berdiri tegak, memeluknya erat dengan kehangatan yang hanya bisa disampaikan lewat keheningan. Tidak ada kata-kata, hanya napas Aluna yang tidak teratur dan getaran halus tubuhnya yang terasa di pelukannya.

Angin senja berembus lembut, membawa aroma dedaunan dan tanah basah dari danau kecil di depan mereka. Cahaya matahari yang kian redup menyorot Aluna, menciptakan bayangan lembut di wajah gadis itu. Elvanzo menundukkan kepalanya sedikit, memandang lekat sosok yang selama ini ia kenal begitu tegar, begitu kaku, tetapi sekarang tampak begitu rapuh dalam pelukannya.

Hatinya berdesir melihat kontras itu. Ada sisi lain dari Aluna yang selama ini tersembunyi di balik tembok yang ia bangun, dan kini tembok itu tampaknya mulai retak. "Gadis yang selalu menyimpan semuanya sendiri ini ternyata juga memiliki batasan.." pikirnya dalam hati.

Elvanzo tetap diam, memberi ruang pada Aluna untuk meluapkan apa pun yang selama ini terpendam. Namun, perlahan ia menyadari bahwa isakan dan sesegukan Aluna mulai menghilang. Keheningan malam mulai menyelimuti mereka. Saat ia menundukkan kepala lagi, Elvanzo tersentak kecil—Aluna telah tertidur di dalam pelukannya.

Wajah gadis itu terlihat damai meskipun masih ada sisa bekas air mata di pipinya. Bulu matanya yang panjang menutupi mata yang biasanya penuh determinasi. Napasnya kini teratur, bahkan sedikit berirama, seperti seseorang yang akhirnya menemukan kedamaian setelah sekian lama tenggelam dalam kekacauan.

Elvanzo terdiam sesaat. Ada rasa haru yang menjalari dadanya, bercampur dengan empati yang sulit ia ungkapkan dengan kata-kata. Gadis ini, yang selalu tampak kuat dan penuh kendali, akhirnya menyerahkan kelemahannya, bahkan meskipun itu terjadi tanpa sengaja.

Ia memandang langit yang mulai gelap, matahari telah sepenuhnya terbenam, meninggalkan semburat jingga terakhir di ufuk. Malam telah datang, dan angin mulai terasa lebih dingin. Elvanzo menyesuaikan pelukannya, memastikan Aluna tetap nyaman.

“Kau sungguh berbeda, Aluna,” gumamnya lembut, hampir seperti berbicara kepada dirinya sendiri. “Namun, tidak ada yang salah dengan itu. Jika ini caramu menunjukkan siapa dirimu sebenarnya, aku bersedia ada di sini, kapan pun kau butuhkan.”

Dengan hati-hati, ia mengangkat tubuh Aluna. Berat gadis itu nyaris tidak terasa, seolah emosi yang ia pikul lebih besar dari tubuhnya sendiri. Elvanzo berjalan perlahan, membawa Aluna kembali ke hotel mereka. Saat ia melangkah, dalam hatinya ia berjanji satu hal: "Aku tidak akan membiarkanmu berjalan sendirian lagi, Aluna."

Setelah memastikan Aluna tertidur dengan tenang di kamar hotel, Elvanzo melangkah keluar. Kakinya tanpa sadar membawanya kembali ke tempat semula di tepi danau, tempat ia dan Aluna berbagi momen penuh emosi beberapa jam sebelumnya. Cahaya bulan memenuhi permukaan air, menciptakan kilauan keperakan yang terlihat magis di malam itu.

Elvanzo menyelipkan kedua tangannya ke dalam saku, berdiri memandang danau dengan tatapan kosong. Pikirannya berputar-putar, dipenuhi bayangan wajah Aluna—matanya yang merah karena tangis, pelukannya yang erat, dan isakannya yang terdengar begitu memilukan.

Ia menghela napas berat, seolah mencoba mengusir kegelisahan yang menyelimutinya."Mengapa, Aluna? Apa yang begitu berat hingga kau memutuskan menyimpannya sendiri?" pikirnya dalam hati.

Pertanyaan itu terus berputar tanpa jawaban. Elvanzo merasa frustrasi, bukan karena ia tidak sabar, melainkan karena ia ingin membantu, ingin menjadi sandaran yang bisa Aluna percayai sepenuhnya. Namun, ia tahu gadis itu tidak mudah terbuka. Aluna adalah seseorang yang lebih memilih menyimpan segala luka dalam dirinya sendiri, membungkusnya dengan tembok kebisuan yang sulit ditembus.

Suara jangkrik malam dan desiran angin di sekitar danau menjadi satu-satunya teman dalam kesunyian itu. Elvanzo mengangkat kepalanya, menatap bulan yang tinggi di langit, seolah mencari jawaban yang tidak pernah datang.

“Kenapa aku begitu peduli?” gumamnya pelan, hampir seperti berbicara pada dirinya sendiri. Tapi ia tahu jawabannya—ia telah tertarik pada gadis itu sejak pertama kali mengenalnya. Namun kini, perasaannya berkembang menjadi sesuatu yang lebih dari sekadar rasa tertarik. Ada dorongan kuat untuk melindungi Aluna, bahkan jika ia sendiri tidak tahu dari apa.

Waktu berlalu tanpa ia sadari. Udara semakin dingin, tetapi Elvanzo tidak bergerak dari tempatnya. Ia terlalu sibuk dengan pikirannya. Saat memandangi permukaan danau yang tenang, ia menyadari sebuah ironi: di luar, Aluna tampak seperti danau itu—tenang, hening, dan indah. Tapi di dalam, ia tahu ada arus yang begitu kuat dan sulit ditebak.

“Aluna,” bisiknya, suara itu hampir tertelan oleh angin malam. “Aku tahu kau berusaha kuat, tapi kau tidak harus sendirian. Jika kau tidak bisa mengatakannya sekarang, aku akan tetap menunggu. Kapan pun kau siap...”

Ia menundukkan kepala, kembali menghela napas panjang. Meski kecewa karena Aluna tidak mau berbicara, ia tidak akan memaksa. Ia hanya bisa berharap waktu akan membawa kepercayaan gadis itu kepadanya.

Setelah beberapa saat, Elvanzo memutuskan untuk kembali ke hotel. Namun sebelum melangkah pergi, ia menoleh sekali lagi ke danau itu, seolah berjanji pada dirinya sendiri. "Aku akan menemukan cara untuk membuatmu percaya bahwa kau tidak sendirian. Aku akan terus mencoba."

Dengan pikiran yang masih berat, ia melangkah perlahan kembali, membiarkan malam menjadi saksi dari tekad yang ia tanamkan di hatinya.

1
Anonymous
semangat
Anonymous
aku suka banget ceritanya
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!