Prang!!!
Seeeeettt!!
Hujan deras menyelimuti malam ketika Hawa Harper mendapati sebuah mobil mewah terguling di jalan sepi. Di balik kaca pecah, ia melihat seorang pria terluka parah dan seorang anak kecil menangis ketakutan. Dengan jantung berdebar, Hawa mendekat.
“Jangan sentuh aku!” suara pria itu serak namun tajam, meski darah mengalir di wajahnya.
“Tuan, Anda butuh bantuan! Anak Anda—dia tidak akan selamat kalau kita menunggu!” Hawa bersikeras, melawan ketakutannya.
Pria itu tertawa kecil, penuh getir. “Kau pikir aku percaya pada orang asing? Kalau kau tahu siapa aku, kau pasti lari, bukan menolong.”
Tatapan Hawa ragu, namun ia tetap berdiri di sana. “Kalau aku lari, apa itu akan menyelamatkan nyawa anak Anda? Apa Anda tega melihat dia mati di sini?”
Ancaman kematian anaknya di depan mata membuat seorang mafia berdarah dingin, tak punya pilihan. Tapi keputusan menerima bantuan Hawa membuka pintu ke bahaya yang lebih besar.
Apakah Hawa akan marah saat tahu kebenarannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mommy JF, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18: Pengakuan di Malam Syahdu
"Hawa," suara Harrison memecah keheningan.
Hawa menoleh dengan cepat, sedikit terkejut. "Ya, Harrison?"
"Ada sesuatu yang ingin kubicarakan denganmu," katanya sambil berjalan mendekat.
Hawa merasa jantungnya mulai berdebar, tetapi ia tetap mencoba terlihat tenang. "Apa itu? Kau terdengar serius."
Harrison tersenyum, menatap Hawa dengan lembut. "Karena ini memang serius. Tapi sebelum itu, aku ingin kau tahu betapa aku menghargai setiap momen yang kita habiskan bersama, terutama melihat bagaimana kau menyayangi Emma."
Hawa tersenyum kecil, meski perasaannya mulai bercampur aduk. "Emma gadis yang luar biasa. Siapa pun akan jatuh hati padanya."
"Dan aku," Harrison melanjutkan, langkahnya semakin mendekat, "jatuh hati pada orang yang telah membuat Emma tertawa lagi. Orang yang telah mengisi kekosongan dalam hidupku tanpa aku sadari."
Hawa terdiam, matanya membulat. "Harrison..."
"Aku tahu ini mendadak," katanya, memotong. "Tapi aku tidak bisa menyembunyikan perasaanku lagi. Aku mencintaimu, Hawa."
Hawa merasa dunia seolah berhenti. Kata-kata itu terasa seperti mimpi yang terlalu indah untuk menjadi kenyataan. "Apa... apa kau serius?" tanyanya dengan suara bergetar.
Harrison mengangguk mantap. "Aku tidak pernah seyakini ini sebelumnya. Kau telah membawa cahaya ke dalam hidupku yang sudah lama gelap. Dan aku ingin kau tahu, perasaan ini bukan hanya untukku. Aku juga ingin Emma memiliki sosok ibu yang mencintainya seperti kau mencintainya."
Hawa terdiam, tidak tahu harus berkata apa. Harrison mengambil kotak kecil dari saku jasnya dan membukanya, memperlihatkan seperangkat perhiasan berlian yang berkilau di bawah cahaya lampu balkon.
"Ini bukan lamaran," Harrison berkata pelan. "Belum. Tapi ini adalah simbol dari keseriusanku. Aku ingin kau tahu bahwa aku siap untuk menjalin hubungan yang lebih serius denganmu, jika kau bersedia."
Air mata menggenang di mata Hawa. Ia tidak tahu apakah ini kebahagiaan, keterkejutan, atau mungkin keduanya. "Harrison... aku..."
"Jangan jawab sekarang," potong Harrison lagi, senyum lembut menghiasi wajahnya. "Aku hanya ingin kau tahu bagaimana perasaanku. Aku ingin kau berpikir dengan tenang, tanpa tekanan."
Hawa mengangguk pelan, mengambil kotak perhiasan itu dengan tangan gemetar. "Aku tidak tahu harus berkata apa. Ini semua terasa begitu... mendadak."
"Aku mengerti," jawab Harrison. "Tapi satu hal yang pasti, aku tidak akan pernah membiarkan siapa pun menyakitimu atau Emma lagi. Kau adalah bagian dari hidup kami sekarang."
Setelah menyerahkan kotak perhiasan itu, Harrison menggenggam tangan Hawa dengan erat, membawa wanita itu kembali masuk ke kamar Harrison. Langkahnya mantap, tapi penuh kehangatan, seolah tidak ingin melepaskan momen ini begitu saja.
Begitu Hawa masuk ke kamar, matanya langsung membesar. Ia tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Kelopak bunga mawar merah tersebar di lantai, membentuk jalur menuju meja kecil di sudut ruangan yang dihiasi lilin-lilin berpendar lembut. Di meja itu, ada dua gelas anggur kosong, sebotol sparkling cider, dan sebuah buket mawar putih yang terlihat segar.
"Harrison... apa semua ini?" tanyanya dengan suara gemetar.
Harrison, yang berdiri di belakangnya, tersenyum kecil. "Ini adalah caraku mengucapkan terima kasih atas semua yang telah kau lakukan untukku dan Emma. Aku ingin malam ini menjadi malam yang istimewa untukmu, Hawa."
Hawa merasa wajahnya memanas. "Aku... aku tidak tahu harus berkata apa."
Harrison menggenggam tangan Hawa lebih erat, membimbingnya menuju sofa kecil di dekat jendela besar yang memperlihatkan pemandangan kota Dubai Di malam hari. Angin malam yang sejuk masuk melalui celah kecil di pintu balkon, menciptakan suasana yang begitu syahdu.
Setelah duduk di sofa, Harrison menatap Hawa dengan lembut. Matanya begitu dalam, seolah mencari sesuatu di balik tatapan wanita itu. Hawa merasa hatinya berdebar hebat. "Hawa," Harrison memulai dengan suara pelan tapi tegas, "aku tahu ini mungkin terlalu cepat bagimu. Tapi aku ingin kau tahu, aku tidak pernah merasa seaman ini bersama seseorang sejak... sejak lama."
Hawa mengerutkan kening, bingung. "Apa maksudmu?"
Harrison menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab. "Setelah pernikahan pertamaku berakhir, aku berpikir tidak akan pernah ada lagi ruang untuk cinta dalam hidupku. Aku menutup diri, bukan hanya untuk orang lain, tapi juga untuk kebahagiaan yang seharusnya kumiliki. Tapi kemudian kau datang, dan semuanya berubah."
Hawa merasa air matanya mulai menggenang. Ia tidak tahu apakah ini kebahagiaan, keterkejutan, atau mungkin keduanya. "Harrison... aku..."
Harrison mengangkat tangannya, menyentuh pipi Hawa dengan lembut. "Aku tahu kau mungkin merasa ini terlalu mendadak, tapi aku ingin kau tahu betapa berharganya dirimu bagiku. Bukan hanya karena kau ada untuk Emma, tapi juga karena kau membuatku ingin menjadi pria yang lebih baik."
Hawa terdiam. Ia bisa merasakan kehangatan dari tangan Harrison di pipinya, dan itu membuatnya merasa begitu dihargai.
Harrison tersenyum kecil sebelum melanjutkan, "Aku tahu aku mungkin tidak sempurna, tapi aku ingin mencoba. Aku ingin mencoba memberikan yang terbaik untukmu, untuk kita."
Hawa hanya bisa menatap Harrison, tidak mampu berkata apa-apa. Ia tidak pernah merasa seperti ini sebelumnya, seolah-olah dunia hanya milik mereka berdua.
Melihat Hawa terdiam, Harrison berdiri dan berjalan menuju meja kecil di sudut ruangan. Ia menuangkan sparkling cider ke dalam dua gelas, lalu kembali ke sofa dan menyerahkan salah satu gelas kepada Hawa.
"Untuk kita," kata Harrison sambil mengangkat gelasnya sedikit.
Hawa tersenyum kecil, meski hatinya masih bergejolak. "Untuk kita," balasnya pelan, sebelum menyesap minuman di tangannya.
Keheningan kembali melingkupi mereka, tapi kali ini bukan keheningan yang canggung. Itu adalah keheningan yang penuh makna, seolah-olah tidak ada kata-kata yang cukup untuk menggambarkan apa yang mereka rasakan.
Setelah beberapa saat, Harrison berdiri dan mengulurkan tangannya pada Hawa. "Ayo, aku ingin menunjukkan sesuatu."
Hawa menatapnya dengan bingung. "Menunjukkan apa?"
Harrison hanya tersenyum misterius. "Percayalah padaku."
Dengan ragu, Hawa meletakkan gelasnya di atas meja dan menerima uluran tangan Harrison. Ia membimbingnya keluar ke balkon, di mana meja kecil dengan lilin dan kursi telah disiapkan. Langit malam yang cerah menjadi latar belakang yang sempurna.
Harrison menarik kursi untuk Hawa sebelum duduk di kursi di depannya. Ia menatap wanita itu dengan intens, membuat Hawa merasa wajahnya kembali memanas.
"Hawa," Harrison memulai, suaranya lembut tapi penuh keyakinan, "aku tahu aku bukan pria yang sempurna. Aku punya banyak kekurangan, dan aku tahu aku tidak bisa mengubah masa lalu. Tapi aku ingin mencoba, untuk masa depan."
Hawa merasa air matanya mulai mengalir. "Harrison, aku..."
Harrison mengangkat tangannya, memberi isyarat agar Hawa membiarkannya menyelesaikan kalimatnya. "Aku ingin kau tahu bahwa aku siap mencoba lagi. Aku siap untuk memberikan kesempatan pada cinta, dan aku ingin itu bersamamu."
Hawa terdiam, hatinya berdebar hebat. Ia tidak pernah merasa seperti ini sebelumnya.
"Hawa," Harrison melanjutkan, "aku tahu ini mungkin terlalu cepat, tapi aku ingin kau tahu betapa berharganya dirimu bagiku. Bukan hanya karena kau ada untuk Emma, tapi juga karena kau membuatku ingin menjadi pria yang lebih baik."
Hawa tidak bisa menahan air matanya lagi. "Harrison, aku tidak tahu harus berkata apa."
"Katakan saja apa yang ada di hatimu," jawab Harrison lembut.
Hawa menghapus air matanya dan tersenyum kecil. "Aku tidak tahu bagaimana perasaan ini bisa tumbuh begitu cepat, tapi aku tidak bisa menyangkalnya. Kau membuatku merasa begitu dihargai, begitu berarti. Rasanya aku tidak sopan denganmu hanya memanggil nama saja, bagaimana jika aku panggil Mas?"
Harrison tersenyum lebar, dan tanpa sadar, ia mengulurkan tangannya untuk menggenggam tangan Hawa di atas meja. "Aku suka dengan panggilan itu. Karena kau memang berarti, Hawa. Bukan hanya untukku, tapi juga untuk Emma. Dan aku tidak ingin kehilanganmu."
Di bawah langit Dubai yang bertabur bintang, Hawa dan Harrison saling membuka hati mereka. Itu adalah awal dari sesuatu yang baru, sesuatu yang indah, dan sesuatu yang mereka tahu akan membawa mereka pada kebahagiaan yang lebih besar.
"Hawa..." Harrison berbisik, suaranya penuh emosi.
"Ya?" jawab Hawa dengan suara yang hampir tidak terdengar.
"Aku ingin kau tahu, aku tidak hanya serius tentang perasaanku. Aku juga telah memastikan bahwa masa laluku tidak akan pernah memengaruhi masa depan kita."
Hawa mengerutkan kening. "Apa maksudmu?"
"Aku meminta Ares untuk menyelidiki keluargamu, dan aku akan membuka hubungan ini dengan kejujuran," Harrison mengakui. "Bukan karena aku meragukanmu, tapi karena aku tidak ingin kejadian masa laluku terulang lagi. Aku ingin memastikan bahwa tidak ada apa pun yang bisa menghalangi kita untuk bahagia."
Hawa terkejut, tetapi juga tersentuh oleh keseriusannya. "Dan... apa yang kau temukan?"
Harrison tersenyum lembut. "Keluargamu luar biasa. Mereka adalah orang-orang yang jujur dan pekerja keras. Aku tidak menemukan apa pun yang bisa membuatku ragu."
Air mata mengalir di pipi Hawa. Ia merasa tidak pernah dihargai seperti ini sebelumnya. "Terima kasih, Mas Harrison. Kau tidak tahu betapa banyak hal ini berarti bagiku."
Harrison menghapus air mata di pipi Hawa dengan ibu jarinya, lalu tersenyum lembut. "Malam ini adalah awal dari sesuatu yang baru untuk kita, Hawa. Sesuatu yang indah."
Mereka berdiri di sana, di tengah kamar yang penuh kehangatan, membiarkan perasaan mereka saling berbicara tanpa kata-kata. Untuk pertama kalinya, Hawa merasa bahwa ia benar-benar menemukan tempatnya di dunia ini.
Bersambung.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Hi semuanya, jangan lupa like dan komentarnya ya.
Terima kasih.