Setelah kehilangan kedua orang tuanya, Karina dipaksa menikah dengan pria bernama Victor Stuart. Anak dari sahabat kakeknya. Pria dingin yang selalu berusaha mengekangnya.
Selama pernikahan, Karina tidak pernah merasa jika Victor mencintainya. Pria itu seperti bersikap layaknya seseorang yang mendapat titipan agar selalu menjaganya, tanpa menyentuhnya. Karina merasa bosan, sehingga ia mengajukan perceraian secara berulang. Namun, Victor selalu menolak dengan tegas permintaannya.
"Sampai kapan pun, kita tidak akan bercerai, Karina. Hak untuk bercerai ada di tanganku, dan aku tidak akan pernah menjatuhkannya."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lilylovesss, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pintu Rahasia
****
"Jika kau marah, kenapa kau hanya diam saja dan tidak berkomentar apa pun?" Karina perlahan memutar balik tubuhnya. Entah mengapa perempuan itu kali ini tidak mau kalah dari Victor.
Entah ini mimpi atau bukan, tetapi Karina merasa jika jantungnya sekarang berdegup lebih kencang dari biasanya. Kedua tangannya bahkan perlahan mengeluarkan keringat. Selama bersama Edward, Karina bahkan tidak pernah merasakan perasaan aneh seperti ini.
"Kau membiarkanku seolah aku tidak masalah jika dekat dengan pria mana pun."
Alis Victor menaut. Ia sama sekali tidak merasa telah membiarkan Karina begitu saja. Victor melakukan hal tersebut hanya untuk berusaha menahan diri agar tidak menyerang Edward. Karena jika hal tersebut terjadi, maka bisa dipastikan semuanya akan kacau, termasuk status Victor sebagai suami Karina sesungguhnya.
"Aku hanya melakukan apa yang seharusnya aku lakukan. Sesuai perjanjian awal pernikahan kita, sampai batas yang ditentukan."
"Kau tahu? Kebebasan yang kau berikan padaku terkadang membuatku sedikit terluka."
Karina perlahan melangkah mendekat pada tubuh Victor dengan tatapan yang masih belum beralih dari pria tersebut. Napasnya sudah terasa sesak, tetapi Karina sudah tidak tahan lagi dengan Victor.
"Terluka?"
"Kebebasan yang kau berikan padaku seolah menjelaskan jika aku memang bukan istrimu, Victor."
"Aku memberikan kebebasan padamu agar kau bisa menikmati waktumu, sebelum benar-benar menjadi istriku."
"Tapi, aku sudah menjadi istrimu."
Victor membenarkan apa yang Karina katakan di hadapan wajahnya. Perempuan itu memang sudah resmi menjadi istrinya, meskipun mereka menikah melalui sebuah perjodohan. Ya, meskipun Karina mungkin tidak menyukai Victor di awal pertemuan mereka yang mendadak.
"Ya, kau memang istriku."
"Tapi, selama ini ... aku selalu merasa jika kau ... memperlakukanku seperti seorang adik perempuanmu. Bukan sebagai istrimu," ujar Karina, lagi.
Victor benar-benar merasa jika dirinya tengah dilempari banyak fakta. Padahal, alasan Victor melakukan semuanya adalah untuk menjaga perasaan Karina yang pada saat mereka menikah, perempuan itu belum bisa menerima keberadaan Victor di sampingnya.
"Aku minta maaf, Karina."
Tanpa sengaja, Karina menjatuhkan air matanya. Entah sejak kapan kedua matanya memanas, Karina tidak merasakannya. Segera perempuan itu menghapus jejak air matanya. Victor yang melihat hal tersebut sontak mendekat, hendak mengusap kedua pipi Karina, tetapi Karina dengan segera menepisnya.
Karina baru saja tersadar jika ia sudah melewati batas. Mendadak perasaannya menjadi gugup saat wajah Victor benar-benar dekat dengan wajahnya. Dalam hitungan detik, Karina dengan segera memundurkan langkahnya kemudian bergegas pergi meninggalkan kamar Victor dengan secepat mungkin.
Victor mengejarnya, tetapi Karina mengabaikan pria itu. Bahkan ketika Victor mencoba memanggil namanya. Karina masuk ke dalam kamar, kemudian menguncinya. Dalam hati perempuan itu ia berharap sangat dalam, semoga Victor tidak masuk melewati pintu rahasia di dalam kamar mereka.
"Sialan! Sepertinya aku sudah benar-benar gila. Kenapa aku mengatakan semuanya? Kenapa, Karina?" ujar Karina pada dirinya sendiri dengan rasa kesal yang menggebu.
****
Victor berdiri tepat di hadapan pintu rahasia menuju kamar Karina. Tangannya sudah siap memasukkan password, tetapi pria itu beberapa kali mengulurkan niatnya. Ia takut, ia akan mengganggu Karina di dalam sana. Meskipun keinginannya untuk menemui Karina begitu menggebu.
Sementara itu, di dalam kamarnya Karina terduduk di samping ranjang yang menghadap pada pintu rahasia. Sejak tadi, ia terus-menerus memperhatikan pintu rahasia yang sering kali Victor pakai untuk masuk ke dalam kamarnya. Karina mengharapkan pria itu masuk, tetapi perasannya sedikit tidak sanggup. Ia juga sedikit sulit untuk memperlihatkan ekspresinya saat Victor masuk ke dalam kamarnya nanti.
"Dia tidak akan masuk, kan? Atau memang dia tidak berniat untuk merayuku?"
"Huh? Merayu?" Karina dengan segera memukul kepalanya.
Victor seharusnya masuk, tetapi ia sama sekali belum menampakkan wajahnya. Saking sibuknya memikirkan Victor, Karina harus dikejutkan dengan suara dering telepon di atas nakas. Sebelum meraih ponselnya, Karina mengusap terlebih dahulu dadanya.
"Siapa yang mencoba meng—" Perkataannya terhenti ketika nama seseorang di layar ponselnya berhasil membuat Karina terkejut untuk kali kedua.
Victor.
Jantung Karina kembali berpacu lebih cepat. Mulutnya menganga dalam hitungan detik, sampai akhirnya perempuan itu benar-benar memberanikan diri untuk menjawab telepon dari Victor yang entah sedang berada di mana saat itu, sampai-sampai memutuskan untuk menghubungi Karina.
"Kau di dalam? Apakah kau masih menangis?" tanya Victor tanpa basa-basi saat Karina sudah menjawab sambungan telepon darinya.
"Aku tidak menangis. Kau salah paham. Ada apa meneleponku? Bukankah kau sedang berada di rumah?" tanya Karina.
Karena ia sedang berbohong, Karina berharap jika Victor tidak mendengar suaranya yang sedikit berbeda karena terlalu sibuk menangis di setengah jam yang lalu, setelah meninggalkan kamar pria tersebut.
"Aku sudah berdiri di depan pintu rahasia sejak kau meninggalkan kamarku, sampai detik ini."
"Apa? Kau gila?"
"Aku ingin masuk ke dalam kamarmu sejak tadi, tapi aku takut jika aku akan mengganggumu, Karina."
Mendengar hal itu, Karina dengan segera menginjakkan kakinya ke atas lantai. Ia berjalan menuju pintu rahasia, kemudian berdiri tepat di hadapan pintu tersebut. Kemudian, dalam hitungan detik ia menarik napas dalamnya terlebih dahulu.
"Buka pintunya sekarang. Aku di depan pintu rahasia. Aku juga menunggumu, Victor."
****
Baca Cerita baruku, yuk!!
Anak Rahasia Sang Mantan
Moritz Edwards kehilangan Selena dalam waktu beberapa tahun. Setelah perempuan itu mengakhiri hubungan bersamanya, Selena seakan menghilang dalam kehidupan Moritz begitu saja.
Lima tahun kemudian, sekembalinya Moritz dari Paris, ia bertemu kembali dengan Selena di sebuah Restoran. Akan tetapi, ada hal yang membuat perempuan itu berbeda saat Moritz bertemu dengannya. Selena sudah memiliki seorang anak dengan seorang suami kasar yang kerap memukulinya.
Akankah Moritz memilih untuk tidak peduli dan melupakan Selena? Atau tetap memilih untuk memperjuangkan cinta lamanya tersebut?
Oh iya mampir yuk dikarya baruku judulnya ISTRI PENGGANTI TUAN ARSEN😁🙏.
💗