NovelToon NovelToon
WIDARPA

WIDARPA

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Misteri / Horror Thriller-Horror / Anak Yatim Piatu / Pengasuh
Popularitas:740
Nilai: 5
Nama Author: Karangkuna

Renjana, seorang gadis muda yang baru saja pindah ke kota kecil Manarang, mulai bekerja di panti asuhan Widarpa, sebuah tempat yang tampaknya penuh dengan kebaikan dan harapan. Namun, tak lama setelah kedatangannya, ia merasakan ada yang tidak beres di tempat tersebut. Panti asuhan itu, meski terlihat tenang, menyimpan rahasia gelap yang tak terungkap. Dari mulai bungkusan biru tua yang mencurigakan hingga ruangan misterius dengan pintu hitam sebagai penghalangnya.

Keberanian Renjana akan diuji, dan ia harus memilih antara melarikan diri atau bertahan untuk menyelamatkan anak-anak yang masih terjebak dalam kegelapan itu.

Akankah Renjana berhasil mengungkap misteri yang terkubur di Widarpa, atau ia akan menjadi korban dari kekuatan jahat yang telah lama bersembunyi di balik pintu hitam itu?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Karangkuna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

WIDARPA 13

Renjana dan Naya menuruni tangga dengan langkah ringan, menuju lantai bawah yang tampak lebih suram daripada lantai lain, agak menyedihkan mengingat tempat ini adalah ruangan pertama yang akan dilihat tamu yang datang, namun tidak memberikan suasana hangat apapun. Mereka berdua berdiri membelakangi pintu utama. Naya menunjuk di sisi kirinya dan mulai menjelaskan dengan pelan, "Seperti yang kamu tahu, itu adalah ruangan Helena, ketua kita. Kurasa aku tidak usah menjelaskan lebih lanjut. Mari kita ke sisi satunya." Renjana mengangguk, mengingat pertemuan mereka dengan Helena yang penuh dengab pertanyaan penting.

Mereka melanjutkan langkah mereka ke sisi kanan gedung, dan Naya melirik ke kiri. "Di sini," katanya sambil menunjuk ke sebuah pintu tertutup, "adalah ruang penyimpanan. Di dalamnya ada seprai bersih, selimut, bahkan beberapa baju anak yang sudah tidak terpakai lagi. Semua barang ini berasal dari donatur yang baik hati." Renjana mengangguk memahami, meskipun dia bisa membayangkan betapa banyaknya barang yang ada di dalamnya—sebuah ruang yang penuh dengan barang-barang yang berfungsi untuk membantu mereka yang membutuhkan.

Mereka terus melangkah lebih jauh, sampai akhirnya mereka tiba di ujung koridor. Di sana ada sebuah pintu dengan plakat kecil bertuliskan "dr. Gio". Naya berhenti sejenak. "Di ruangan ini, dr. Gio biasa membantu para pengasuh memberi penangan medis, dia tidak setiap saat ada di sini, hanya hari-hari tertentu." Renjana memandangi pintu itu sebentar, membayangkan seperti apa rupa dokter itu, apa sudah tua dan botak?

Renjana dan Naya kembali berjalan hingha berdiri di depan meja Naya tepat di depan pintu masuk. Renjana yang agak ragu bersuara.

"Ruangan yang di ujung sana, kalau aku boleh tahu, ruangan apa ya?" tanya Renjana sambip menujuk ke sisi kiri tepat di ujung lorong, ruangan pintu hitam yang agak menjorok ke dalam.

Naya agak terdiam sejenak seperti menimbang sesuatu, hingga akhirnya menjawab, "Aku tidak tahu persis tempat apa itu, tidak ada yang diizinkan ke sana. Yang lain bilang itu adalah ruang isolasi, di mana setiap anak yang sakit dipindahkan ke sana dan di rawat agar tidak menjangkiti anak lain mereka harus dipisah. Hanya Ketua, Wakil Ketua dan Dokter Gio yang pernah masuk ke dalam sana." Renjana terdiam sejenak merasa ada aneh tentang ruangan itu namun dia tidak ingin memikirkannya semakin lama, dia lalu kembali naik ke kamarnya untuk berganti pakaian kerjanya.

Malam itu, Renjana duduk di kasurnya, menikmati ketenangan yang perlahan menyelimuti ruangannya. Lampu tidur yang temaram memberikan suasana hangat, dan di luar, suara angin malam terdengar halus. Ia memandang sekeliling ruangan yang sederhana, matanya melirik ke arah para pengasuh yang sibuk dengan urusan mereka masing-masing.

Di pojok ruangan, ada Lintang sedang membersihkan wajahnya dengan menggunakan kapas, gerakannya tenang dan teratur seakan melepaskan segala lelah setelah hari yang panjang. Di meja lain, Gita duduk dengan serius, membaca sebuah buku, tenggelam dalam kata-kata yang tercetak di halaman. Tidak jauh dari situ, Ayu duduk di kasurnya sambil menulis dengan hati-hati di buku laporan harian, mencatat setiap kejadian dan tugas yang sudah diselesaikan, mungkin sebagai catatan untuk pertemuan keesokan harinya. Renjana mengamati semuanya dengan rasa ingin tahu.

Tiba-tiba, terdengar suara langkah ringan, dan Renjana menoleh. Kiwi, pengasuh muda dengan senyum ceria, duduk di sampingnya. "Mau cokelat?" tanya Kiwi sambil menyodorkan sepotong cokelat kecil yang dibungkus rapat.

Renjana tersenyum sopan, lalu dengan lembut menolak, "Terima kasih, aku sudah gosok gigi."

Kiwi tertawa kecil, tampak tidak keberatan dengan penolakan itu. "Ah, iya, benar. Baiklah."

Kiwi lantas duduk dengan nyaman di samping Renjana, melepaskan penat setelah seharian beraktivitas. Mereka berdua duduk dalam keheningan sejenak, menikmati suasana malam yang tenang.

Kiwi yang duduk di samping Renjana akhirnya memecah keheningan dengan sebuah pertanyaan. "Renjana," katanya, suaranya lembut namun penuh rasa ingin tahu, "kamu kan pendatang baru di sini. Bagaimana kesan pertama kamu tentang kota Manarang?"

Renjana berpaling sedikit, melihat Kiwi yang memandangnya dengan penuh perhatian. Dia menarik napas, lalu mulai berbicara dengan nada yang santai, "Kota ini jauh lebih kecil dari yang akj bayangkan. Tapi ada sesuatu yang membuatku merasa nyaman di sini. Mungkin... kedamaian yang terasa begitu nyata di setiap sudut kota ini."

Kiwi tersenyum, tampaknya senang mendengar pendapat Renjana. "Ya, memang kota ini bisa dibilang tenang. Tidak seperti Kota Besar yang penuh dengan hiruk-pikuk. Di sini, orang-orang lebih saling mengenal satu sama lain. Mungkin itu yang bikin atmosfernya lebih hangat."

Renjana mengangguk setuju. "Iya, aku juga merasakannya. Apa kamu pernah ke Kota Besar? tanya Renjana penasaran.

Kiwi tersenyum lagi, sedikit bangga. "Aku lahir dan besar di sana, lalu kemari untuk mencari suasana baru, mungkin sama sepertimu. Aku mendapati kota ini menenangkan."

Renjana tersenyum dan menatapnya lagi. "Lalu tempat ini, apa kamu betah di sini?"

Kiwi mengangguk dengan senyum yang lebih lebar. "Lumayan, tidak buruk menurutku. Meski banyak rumor tentang tempat ini. Tenang saja, itu semua tidak benar," ucap Kiwi berbisik sambil memandang pengasuh lain yang sedang sibuk sendiri. Kiwi bangkit dari ranjang Renjana, "Tidurlah, besok kita harus bangun pagi."

Pagi itu, Renjana duduk di ruang makan, menikmati sarapan sederhana namun lezat. Semangkok bubur kacang hijau hangat berada di hadapannya, dan segelas teh panas mengeluarkan uap tipis di sampingnya. Suasana pagi yang tenang membuatnya merasa nyaman, sambil ia memeriksa buku catatannya, memastikan jadwal yang harus ia jalani hari itu.

Namun, saat matanya beralih ke halaman berikutnya, suara percakapan dua orang pengasuh menarik perhatiannya. Mereka duduk di meja dekat jendela, berbicara dengan suara rendah, tetapi cukup jelas terdengar di telinga Renjana.

"Anak itu... dia masih belum kembali, ya?" suara pengasuh yang satu terdengar cemas.

"Iya, sudah dua minggu sejak dia masuk ruang isolasi. Dokter Gio bilang dia butuh perawatan ekstra, tapi entah kenapa belum ada kabar," jawab pengasuh lainnya, nada suaranya mengandung keraguan.

Renjana menurunkan buku catatannya perlahan, seketika terfokus pada percakapan yang tidak sengaja ia dengar. Pikiran tentang anak yang masih di ruang isolasi membuat hatinya sedikit cemas. "Dua minggu..." gumamnya dalam hati. "Kenapa bisa lama sekali?"

Pengasuh pertama melanjutkan, "Mereka bilang kondisi anak itu cukup serius, tapi kita semua di sini khawatir. Semoga dia segera kembali, Ayu sibuk mencari tahu keadaannya kemarin."

Renjana menghela napas, merasa sedikit terganggu dengan kabar itu, namun juga tergerak untuk tahu lebih banyak. Apa yang sebenarnya terjadi dengan anak itu? Dan mengapa keadaannya bisa begitu lama tanpa ada kabar? Dia melanjutkan memeriksa jadwal hariannya, tetapi pikirannya masih terikat pada percakapan itu, bertanya-tanya tentang keadaan anak yang masih di ruang isolasi.

Renjana mendengar salah satu pengasuh melanjutkan percakapan mereka, suaranya sedikit lebih rendah dan penuh kehati-hatian. "Kamu kan tahu, ini bukan pertama kalinya," kata pengasuh itu, melirik temannya dengan ekspresi serius. "Sudah beberapa kali terjadi, anak-anak yang masuk ruang isolasi dan nggak pernah kembali. Ada yang bilang itu karena kondisi mereka yang parah, tapi siapa yang tahu pasti, kan?"

Pengasuh lainnya mengangguk pelan, wajahnya tampak sedikit khawatir. "Iya, aku juga dengar hal itu. Mbak Lintang bilang kita jangan terlalu memikirkan hal itu, tapi tetap saja aneh. Apalagi dengan anak yang satu ini, dia terlihat sehat sebelumnya, lalu tiba-tiba masuk isolasi dan lama sekali tidak kembali."

Renjana yang mendengarkan percakapan itu merasa ada beban yang berat di udara. Dia tidak tahu harus berkata apa, tetapi ada sesuatu yang tidak bisa dia abaikan. Mengapa anak-anak itu tidak pernah kembali dari ruang isolasi? Apa yang sebenarnya terjadi di balik pintu hitam itu?

Renjana menatap kedua pengasuh itu dengan seksama, matanya menunjukkan ketulusan ingin tahu. Dia bisa merasakan ada sesuatu yang disembunyikan, sesuatu yang lebih besar dari sekadar percakapan ringan. Namun, kedua wanita muda itu hanya saling berpandangan sebentar, lalu mereka menatap Renjana dengan senyum canggung, seolah-olah tidak tahu harus berkata apa lagi.

Setelah beberapa detik yang terasa lama, mereka akhirnya berdiri, beranjak dari tempat mereka duduk. "Ayo, kita sudah terlambat," kata salah satu dari mereka dengan suara agak terburu-buru, seakan ingin menghindari percakapan lebih lanjut.

Wanita satunya ikut berdiri, memberi senyum yang lebih dipaksakan. "Duluan ya, Renjana," katanya singkat, lalu keduanya segera meninggalkan ruang makan, berjalan cepat menuju koridor, meninggalkan Renjana dalam keheningan.

Renjana tetap duduk di tempatnya, rasa penasaran yang membuncah dalam dada. Perasaan aneh menyelimuti dirinya. Mengapa kedua pengasuh itu begitu canggung? Ada sesuatu yang pasti mereka tak ingin ungkapkan, dan itu semakin membuat Renjana merasa semakin penasaran.

Dia menghela napas dalam-dalam, berusaha menenangkan pikirannya. "Ada yang tidak beres di sini," gumamnya dalam hati. Rasa ingin tahu semakin menguat, dan ia tahu, kali ini dia harus mencari tahu lebih banyak tentang apa yang terjadi di balik ruang isolasi itu.

 

 

1
Nicky Firma
awal yang bagus, ditunggu part selanjutnya
Karangkuna: terima kasih /Smile/
total 1 replies
Senja
bagus. lanjut thor
Karangkuna: terima kasih /Smile/
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!